Haji Mabrur

4,431 kali dibaca

Alkisah, Abdullah bin Mubarak kaget tak kepalang tanggung. Sang sufi yang baru saja menunaikann ibadah haji ini terheran-heran. Betapa tidak, ia dengan jelas mendengarkan percakapan dua malaikat dalam tidurnya barusan. “Berapa yang datang ke Baitullah untuk berhaji tahun ini?” tanya yang satu. “Enam ratus ribu,” jawab yang lain. “Dan berapa yang hajinya diterima Allah?” lanjutnya. “Tak satu pun,” jawabnya tanpa ragu.

Terbayang dalam benak ibn Mubarak, betapa sia-sia keletihan menyusur padang pasir dan harta yang dikeluarkan selama menjalankan ibadah haji. Dan yang lebih membuatnya heran, lanjut sang malaikat: “Tetapi, ada satu yang diterima Allah, yaitu hajinya seorang tukang sepatu dari Damaskus, namanya Ali ibn Muwaffaq.”

Advertisements

Berhari-hari ibn Mubarak gelisah, penasaran ingin bertemu si tukang sepatu. Ia lalu bertandang ke Syuriah, menyisir kota Damaskus. Akhirnya bertemulah ia dengan si haji mabrur. Dan ibn Mubarak pun terheran-heran ketika ternyata Ali ibn Muwaffaq, si tukang sepatu itu tak pernah datang ke Makkah. Bagaimana mungkin tak berhaji ke Mekkah bisa menjadi haji mabrur, pikir ibn Mubarak.

“Saya memang berniat haji ke Mekkah sejak 30 tahun lalu, dan untuk itu saya telah menabung. Tetapi uang yang mestinya cukup untuk berangkat haji itu, belum lama ini, saya berikan kepada tetangga saya yang lebih membutuhkan, fakir-miskin, sakit-sakitan bahkan mustad’afin,” tutur Ali.

Dijemput Ka’bah

Lain lagi cerita yang satu ini. Seorang sufi masyhur naik haji. Setelah melewati perjalanan yang melelahkan sampailah ia di Mekkah. Alangkah kagetnya dan hampir ia tak percaya sesampainya di Masjidilharam, karena tak menjumpai Ka’bah. Baitullah itu tak ada di tempatnya. Ia pun bertambah kaget ketika ternyata, setelah bertanya ke sana kemari, Ka’bah sedang menjemput seseorang. “Hebat benar orang itu,” pikir si sufi. Dan selidik punya selidik, orang yang dijemput Ka’bah itu ternyata Rabiah al-Adawiyah, perempuan sufi yang sangat terkenal. Si sufi pun lalu menemui Rabi’ah dan bertanya: “Hebat benar Anda dijemput rumah Allah”. “Ya, karena saya hanya berpikir dan membatin pemiliknya, bukan rumahnya,” jawab Rabi’ah. Si sufi hanya duduk tertegun, merenung, mungkin sedang menyesali kekeliruannya.

Katakan kedua cerita di atas memang fiksi dan sulit diterima akal sehat (irasional). Tetapi keduanya sangat popular di pesantren dan cukup berpegaruh terhadap alam pikir para santri terutama bagi mereka yang suka membaca kisah-kisah dalam kitab kuning dan mondok sebelum tahun 1980. Kecuali itu, mungkin maksud terpentingnya bukanlah ceritanya itu sendiri, melainkan apa yang di baliknya. Haji tentu bukanlah sekadar datang ke Mekkah, Madinah, dan Arafah melakukan kemah, lari kecil, melempar, berdesak di sekeliling ka’bah, dan ini itu lainnya. Niat suci, ikhlas, khusyu, dan olah batin lainnya sangatlah penting dalam proses berhaji. Dan seperti dituliskan dalam cerita tersebut, kepergian fisik ke tanah Haramain itu sama sekali tak menentukan kemabruran.

Dalam al-Qur’an sendiri hanya disebut Hijjulbait man istatha’a ilaihi sabila (s.3, a.97). Dua suku kata al-Hij dan al-Bait yang tersambung (idlafat) merupakan kata kunci dalam mendefinisikan haji. Secara sederhana dua kata yang tergabung itu berarti perjalanan menuju bait (rumah) yang secara fisik berupa Ka’bah dan dirumuskan atau dikonnstruksi sebagai rumah Allah. Beberapa ayat lain dan sejumlah hadits Nabi dibuat dasar menyusun aturan-aturan dan mengisi ritual haji seperti yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh. Termasuk, bacaan-bacaan yang mesti dilafalkan ketika melakukan haji.

Haji rupanya bertumpu pada suatu tempat dan atau benda tertentu. Di situ jamaah melakukan ritual tertentu dan membaca doa, termasuk yang diucapkan bersama-sama. Sejarah ritual haji, seperti diungkap Abdul Karim, bukanlah tradisi baru setelah Islam datang. Jauh sebelum itu, di beberapa kota di Mesir seperti Munif, Aqshor, dan Theba berlangsung rutin upacara suci yang mirip haji sekarang. Di sana ada tempat sebagai pusat, ada thawaf, ada sesajii sembelihan hewan, ada doa dan nyanyian. Bukankah haji ke tanah Haramain juga berkisar pada Ka’bah sebagai pusat, thawaf, kurban, dan talbiyah (doa dan nyanyian).

Ini mengingatkan kita pada tradisi serupa di negeri kita, Bawa Karaeng (Sulawesi Selatan) dan Kaki Kerinci (Jambi), yang keduanya masih eksis hingga sekarang; dan di Jember (Jawa Timur) yang tidak berumur panjang karena dibubarkan oleh Kementerian Agama pada tahun 1963. Di tempat-tempat yang terakhir itu, terdapat “ka’bah, arafah, dan mina” untuk sebagian komunitas muslim melakukan “ibadah haji”.

Haji Sejak Pra-Islam

Di Jazirah Arab sendiri, sebelum Islam hadir, upacara serupa itu berlangsung cukup lama dan menyebar di beberapa tempat. Di sekitar Ka’bah, di masa jahiliyah, orang-orang Arab (pemeluk Hanifiyah, Yahudi, Nashrani, bahkan ash-Shabi’ah) melakukan haji dan umroh dengan berputar mengelilingi tampat tertentu, menyembelih qurban, dan melantunkan bacaan atau nyanyian tertentu. Ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan tempat mana yang akan dijadikan pusat, terutama di antara suku Quraisy, Kinanah, dan Kharraj, Hasyim ibn Qushayi (kakek nabi Muhammad) dari Quraisylah yang menang dengan pilihan Hijr al-Aswad atas dasar warisan Ibrahim. Sebuah batu yang kemudian dilapisi dengan emas atas biaya sendiri. Bangunan yang menempel mengelilingi hijr al-aswad itulah yang kemudian disebut Ka’bah, pusat ibadah haji.

Kehadiran Islam yang dikawal Nabi Muhammad kemudian melestarikan tradisi itu.Tentu dengan modifikasi dalam bagian-bagian tertentu untuk disesuaikan dengan substansi Islam itu sendiri. Di antaranya yang paling terlihat adalah talbiyah yang disucikan dari bentuk kemusyrikan. Ka’bah yang diputuskan sebagai pusat, sajian sembelihan, dan ritual memutari Ka’bah sebagai pusat sama sekali tak berubah.

Ketika perbedaan paham dan kepentingan politik tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, maka Ka’bah sebagai pusat ibadah haji yang ditetapkan oleh Quraisy dan dibenarkan oleh Nabi Muhammad itu tak mungkin mengelak dari sorotan dan kritik. Ambil contoh menarik ketika Iran, setelah peristiwa Mina di tahun 1991, memboikot untuk tidak berhaji ke Mekkah. Bagi muslim Syi’ah Iran, Mekkah bukanlah satu-satunya kota suci. Mereka yakin berhaji ke kota suci Qum (Iran) pun sama hukum dan pahalanya dengan berhaji ke Mekkah. Meski masalah politik menyangkut hubungan antara kedua negara itu tersangkut, tetapi keberanian bangsa Iran yang muslim militan untuk mengalihkan pusat ibadah haji itu bukan berarti tanpa pertimbangan ajaran Islam.

Ibadah Haji memang kontroversial, bukan soal hukum wajibnya yang memang telah benar-benar ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Itu belum kalau kita bicarakan mengenai kapan waktunya. Perdebatan mengenai fikulli al-sanah (ba’dhin atau aam) setahun sekali atau sepanjang tahun, masih terus berlangsung. Tafsir “al-Qurthubi” (juz 4. hal. 142-148) mengulas secara rinci berbagai pandangan mengenai itu. Bahkan, kitab tafsir terkenal ini, menggelar beberapa pendapat, di antaranya menyebut “beberapa tahun sekali”.

Mungkin hanya karena kita telanjur menerima keputusan politik bani Hasyim (menjadikan Mekkah dan Ka’bah sebagai pusat haji) yang dilegitimasi oleh Nabi Muhammad sebagai keputusan agama yang harus berlaku seluruh dunia. Apa jadinya, jika di berbagai tempat di luar Mekkah itu ternyata muncul Hasyim-Hasyim lain yang keputusan politiknya terkawinkan dengan agama bahkan kemudian diyakini sebagai agama itu sendiri. Pastilah banyak negeri yang berhasil mengeruk devisa dari upacara keagamaan yang satu ini, di samping setiap muslim di negeri tercinta ini tak perlu melego sawah-kebunnya agar bergelar haji.

Lupakanlah soal pengandaian itu, toh meskipun banyak Hasyim ternyata tak satu pun yang sekelas atau bernasib sama dengan Hasyim bin Qushay. Yang terpenting direnungkan adalah kemabruran yang konon memastikan menjadi penduduk surga yang ternyata sangat tergantung pada niat suci, ikhlas, dan olah batin. Tempat dan kapan bisa jadi tak sepenting yang serba fisik itu.Toh, tanpa datang ke Mekkah pun ternyata bisa jadi haji mabrur seperti yang dialami Ali ibn Muwaffaq, atau bahkan seperti yang dialami oleh Rabi’ah, Ka’bah berkenan menjemput kita. Siapa tahu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan