Gus Mark

2,626 kali dibaca

Pada kesekian purnama Khoid kembali hanya menatap langit yang gelap. Bintang-bintang terlihat samar, dan rembulan sesekali di selimuti awan yang sedang lewat. Lalu di beberapa menit kemudian kembali memantulkan cahaya mentari yang dititipkan padanya saat malam hari. Pikiran Khoid hanya kembali mengawang di angkasa yang luas ciptaan sang penguasa. Dia kembali mengingat semua penyesalan dan waktunya atas apa yang tak lagi dapat diulang kembali.

Di lantai paling atas pondoknya dia hanya menikmati langit Surabaya yang seolah berkabut, tapi nyatanya hanya tertutup polusi dari knalpot kendaraan yang hilir mudik di tengah kota. Dengan bermodal sebungkus kopi yang di tuang di bekas gelas air mineral. Dalam pengembaraannya di masa perkuliahannya dia seakan menyimpan segudang pertanyaan. Bahwa seakan ada rongga di dadanya yang masih belum bisa dia tuntaskan.

Advertisements

Di salah satu pesantren mahasiswa yang ada di Surabaya Khoid menyantrikan dirinya. Atas harapan mendiang ayahnya dulu, berharap bukan hanya keilmuan akademis yang akan dituai di kota besar ini. Namun juga dengan berbagai pengalaman dan teman baru, serta tak pernah lepas dari sang pencipta. Sehingga dia bisa menggunakan ilmunya untuk mencapai barokah. Setidaknya itu pesan yang masih bisa diingat Khoid sampai sekarang.

Namun, di pertengahan semester genap ini ada suatu hal yang membuat dadanya tak lega. Tapi ketika dia kembali memikirkan apa itu, Khoid tetap tak bisa mendapatkan jawabannya. Sembari menatap langit Surabaya dengan bintang yang samar, dan rembulan yang sesekali diselimuti awan yang lewat, Khoid dengan perlahan mengangkat gelas plastik bekas air mineral itu. Dan terdengarlah suara sruputan dari bibirnya yang bersentuhan dengan ujung sang gelas.

Dalam lamunannya, telepon genggam Khoid bergetar, memecah lamunannya yang sangat syahdu dengan menatap angkasa. Dia ingin sekali mengabaikannya, mungkin itu hanya panggilan dari teman-temannya yang ingin menanyakan soal pelajaran, atau beberapa teori yang tak mereka pahami untuk melengkapi tugas. Tapi ternyata itu dari sang ibu.

Nggih, Assalamualaikum,” ucapnya lirih

“Waalaikumsalam, gimana kabarmu, Nak?” suara lirih itu terdengar dari seberang panggilan.

“Ini, besok ada haul di pondok. Mungkin barangkali mau pulang. Toh, kamu juga belum pulang sama sekali, kan?”

Ada rasa sesak yang tak dimengerti Khoid datang dari mana. Tapi  berhubung pondok juga libur pada saat itu, dan uang sakunya juga mulai menipis meskipun sudah berhari-hari dia puasa, ada perasaan bahwa mungkin dia dapat menemukan jawaban atas lubang yang ada di dadanya.

Nggih, saya akan pulang.”

Dengan sisa uang dan juga perasaan aneh yang masih menggelantung di dalam dada, akhirnya Khoid pulang. Malam itu juga dia menuju kamar Bonang. Begitulah, tiap kamar di pondok ini dinamai dengan nama para wali. Ada juga dengan beberapa kamar yang dinamai oleh para pengampu terdahulu. Mungkin itu adalah salah satu bentuk penghormatan yang dapat diberikan kepada para leluhur pondok.

“Assalamualaikum!” teriak Khoid keras sampai mengagetkan Bigo, salah satu temannya yang tengah bermain laptop.

“Asyem, mbok ya jangan ngagetin!”

Mbok ya dijawab dulu salamku.”

“Iya, waalaikumsalam,” jawab remaja tanggung dengan perut buncit itu.

Khoid mengatakan maksudnya kepada teman sekelasnya tersebut untuk mengantarkannya ke Terminal Bungurasih. Awalnya Bigo menolak karena mepet dengan jadwalnya manggung. Yah, dia adalah pengampu dan juga anggota dari salah satu grup banjari Riqul Habib. Nama grup itu jelas suadah tak asing lagi bagi para penikmat musik banjari di Jawa Timur. Dengan sedikit memelas Khoid berusaha meyakinkannya.

“Balik ke sini harus bawa jajan yang banyak ya.”

“Deal,” kata Khoid mantab.

Selama dua jam perjalanan harus ditempuh Khoid dengan bus P6. Itu pun harus turun di kecamatan seberang, lalu harus diteruskan dengan ojek selama setengah jam. Alhasil, uangnya habis hanya untuk perjalanan.

Setelah istirahat di rumah selam sehari, Koid menyambagi pondok pesantrennya dulu. Berada di pojok desa dengan sawah di setiap sisinya membuat pondok itu jauh dari kehidupan luar. Bahkan mungkin juga jauh dari kata terkenal. Namun bagi Khoid, itu adalah catatan sejarah yang menghidupkan kenangannya.

“Loh, Khoid. Kapan datag?”

Sapaan dari seseorang itu membuyarkan lamunannya. Ternyata dia adalah Gus Mark. Salah seorang anak pak kiai yang dulu mondok di Kediri. Khoid menghaturkan salamnya dengan wajah sumringah. Meskipun juga dengan sedikit rasa kaget karena penampilan Gus Mark yang sedikit berubah. Dulu dia memang dikenal suka dengan gaya penampilan yang sedikit urakan dan juga menyukai musik metal.

Namun sekarang tampak jauh berubah. Sekarang dia sedikit rapi dengan memakai sarung dan peci. Meskipun masih ada saja yang unik darinya. Rambutnya yang menjuntai sampai pertengahan punggung menimbulkan sedikit tanda tanya di hati Khoid. Namun hal itu segera ditepisnya sendiri dari dalam benaknya.

“Ayo Id, kita ke warkop.”

Ajakan Gus-nya itu lagi-lagi membentuk sedikit tanda tanya di benak pemuda itu. Namun dirinya tak kuasa untuk menolak itikad baik dari orang yang telah lama tak ditemui. Mungkin itu hanya salah satu caranya untuk menyapa tamu yang datang dari perantauan.

Sesampainya di warung mereka duduk di sebuah dipan yang menghadap langsung ke sawah. Dua gelas kopi disuguhkan oleh sang penjaga  warung di hadapan.

“Kamu lagi banyak pikiran ya Id?’”

Baru saja seteguk kopi melintasi tenggorokannya. Bahkan mungkin belum sampai di lambung. Dan pahit bercampur manis itu sedikit bersarang di lidahnya. Juga di dadanya. Dan tetap saja, selalu ada tanda tanya di antara percakapan mereka. Mau tak mau dan malu tak malu, dengan sedikit pancingan akhirnya Khoid berani untuk cerita. Masalah lubang di dadanya.

Semua cerita telah dituang habis oleh Khoid di depan sang Gus. Layaknya cangkir yang telah kosong. Taka ada lagi yang bisa dia curahkan. Gus Mark akhirnya mengangkat gelasnya untuk yang terakhir kali di waktu itu. Seakan mengingiatkan Khoid akan malam yang dia habiskan di lantai paling atas pondoknya di Surabaya. Entah sampai berapa purnama.

“Bernapaslah.”

Kalimat itu membuat Khoid tak tahan lagi akan simpul tanya yang sudah ada di kepalanya sejak awal pertemuan dengan Gus Mark. Dan akhirnya dia melontarkan tanya, untuk yang terkahir kali juga di waktu itu.

“Id, ada hal yang memang harus dipertanyakan. Dan ada hal yang hanya harus dilakukan. Kebanyakan orang zaman sekarang membaliknya. Sehingga mereka tidak menemukan apa yang mereka cari. Mereka tak tahu mana tujuan, dan mana alat untuk mencapainya.”

Kalimat terakhir yang diberikan Gus Mark seakan menampar pemuda yang merasakan lubang di dalam dadanya. Khoid kembali ke perantauan dengan bekal kalimat tersebut. Kadang, saat semua urusan yang ada di depannya tampak seperti benang layangan yang kusut, dia lalu menarik napas sedalam-dalamnya, lalu mengembuskannya perlahan.

Dulu dia lupa bahwa tidak ada permasalahan yang terbentuk tanpa penyelesaiannya. Dan kita diberi napas untuk mengambil jeda, menjernihkan nalar, dan melonggarkan rongga dada. Khoid kembali dengan semua hiruk pikuknya. Pada kesekian purnama Khoid kembali hanya menatap langit yang gelap. Bintang-bintang terlihat samar, dan rembulan sesekali diselimuti awan yang sedang lewat. Lalu di beberapa menit kemudian kembali memantulkan cahaya mentari yang dititipkan padanya saat malam hari. Tapi sekarang Khoid menerimanya denga dada yang lapang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan