Gus Dur dan Sekolah Umum di Lingkungan Pesantren

811 kali dibaca

Di pondok pesantren tempat jasad Gus Dur dimakamkan, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, sejak tahun 1935 telah mendirikan Madrasah An-Nidzamiyah yang mengajarkan hampir 70% pendidikan umum dari berbagai kurikulum. Maka, mengenai sekolah umum yang berposisi di tengah kehidupan pesantren, bukanlah hal yang perlu diperdebatkan lagi secara terus-menerus.

Awalnya, ayahanda Gus Dur, KH Abdul Wahid Hasyim, mengajukan usul kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari untuk mendirikan sekolah umum agar para santri yang belajar tidak hanya menimba ilmu dari mempelajari kitab-kitab Islam klasik saja, namun juga mereka dapat mengantongi ilmu umum. Dalam pendapatnya, KH Abdul Wahid Hasyim mengemukakan bahwa memadukan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum perlu diselenggarakan, mengingat mayoritas santri yang belajar di pesantren tidak semua bercita-cita kelak ingin menjadi ulama. Para santri itu, selain dicekoki ilmu-ilmu agama, di pesantren mereka juga perlu dibekali dengan ilmu umum. Sebab, santri-santri tersebut mesti mempunyai bakat dan kemampuan lain agar dapat dengan leluasa mengembangkan potensi yang terdapat pada dirinya.

Advertisements

Sehubungan dengan sekolah umum yang masuk ke lingkungan pesantren, Gus Dur sependapat dengan pandangan dan argumen yang diajukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim, ayahandanya. Tetapi, sebagai seorang generalis, pandangan Gus Dur dalam soal ini lebih filosofis kenegarawanan dan kompleks.

Dalam tulisannya yang bertajuk Pesantren dan Sekolah Umum, Gus Dur menunjukkan dedikasi dan kepeduliannya terhadap realitas terkini pada kondisi dunia pendidikan Indonesia yang masih menyisakan beberapa persoalan yang dianggapnya belum tuntas. Terbukti dari jumlah anak yang putus sekolah (drop out), relevansi dan pergantian kurikulum, serta sisi birokrasi. Tetapi, yang perlu digarisbawahi ialah secara substansi Gus Dur memiliki keinginan besar akan terciptanya sebuah perubahan fundamental dalam dunia pendidikan Indonesia, yakni integrasi antara pendidikan umum dan pendidikan agama yang secara birokratik menyuguhkan praktik-praktik diskriminatif dalam pelaksanaannya.

Selain berkenaan dengan hal eksistensi dan esensi pendirian sekolah umum di lembaga pendidikan pesantren, Gus Dur juga menjelaskan beberapa argumen dasar untuk mengurangi jumlah angka anak putus sekolah dan agar mereka termotivasi untuk belajar di lingkungan pesantren.

Pertama, dengan adanya sekolah umum di pesantren, mayoritas warga pesantren yang tidak belajar di madrasah, akan dapat diserap oleh sekolah umum.

Kedua, mereka yang selama ini berada dalam ambang kebingungan antara mempelajari ilmu agama di pesantren atau belajar ilmu umum di sekolah, akan terdorong untuk memasuki pesantren. Sebab, di pesantren akan mereka temukan lembaga pendidikan yang lengkap. Lembaga pendidikan agama dan sekolah umum.

Sekalipun banyak pondok pesantren yang telah mendirikan sekolah umum, tetapi masih ada pula pondok pesantren yang enggan untuk menerima dan mendirikan sekolah umum. Pasalnya, mereka beranggapan bahwa pesantren hanya sebagai wadah pendidikan keagamaan yang bertugas utama untuk mencetak kader ulama atau ahli agama.

Menanggapi temuan ini, Gus Dur berpendapat, ada dua hal yang menjadi problem mereka. Pertama, ketidaksesuaian kriteria sekolah umum itu dengan visi misi yang dimiliki pondok pesantren tersebut. Kedua, ketidakmampuan pesantren dalam mengelola sekolah umum.

Akhirnya, solusi yang ditawarkan oleh Gus Dur adalah pihak pesantren harus menyadari dan mengakui bahwa dalam sistem pendidikan agama yang paling ekslusif sekalipun, tidak semua santrinya dapat dicetak menjadi ulama atau ahli agama. Apa salahnya jika pesantren memberi kesempatan luas kepada calon-calon ulama untuk mengejar cita-citanya, selain memperdalam ilmu agama, mereka diberi kesempatan untuk belajar di sekolah umum.

Wallahu a’lam bi shawab…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan