Gus Dur dan Rethinking Indonesia

688 kali dibaca

Melalui sejumlah tulisan dan diskusi lisan, pada dasawarsa 1980-an hingga awal 1990-an, Gus Dur (selanjutnya disebut GD) melontarkan perdebatan baru tentang kebudayaan sebagai pertarungan antarkekuatan sosial dan kultural di tengah berlangsungnya kehidupan konkret-historis. Kebudayaan bukan sebagai onggokan nilai, norma, adat istiadat, atau benda-benda artefak sebagaimana yang dipandang masyarakat umum dan diperdebatkan budayawan dan akademisi ilmu sosial kala itu. Ia bukan pula sebagai persoalan “Barat dan Timur” atau modern-tradisional seperti yang diramaikan Takdir Alisyahbana-Sanusi Pane dan pengikutnya masing-masing tempo dulu.

Bukan hanya berbeda, lontaran GD itu mendahului dimulainya kajian budaya (cultural studies) kontemporer di Indonesia yang digulirkan sejumlah peneliti seperti Greg Acciaioli, J Pamberton, LJ Sears, M Zurbuchen, J Lindsay, P Yampolsky, dan Amrih Widodo. Karya-karya mereka yang berhasil memetakan bagaimana pertarungan antarkekuatan memperebutkan kesenian dan ritual (dan kebudayaan) baru yang dipublikasi pada 1995.

Advertisements

Dalam argumentasi perdebatan baru GD itu, bahwa kebudayaan, menurutnya, adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social life) yang terbangun atas dasar interaksi sosial sesama manusia, individu, maupun kelompok. Kebudayan, dengan begitu, adalah milik warga masyarakat, bukan milik kelompok dominan seperti negara, agama, atau modal.

Bahkan, dalam pengertian tertentu, kebudayaan, bisa sebagai representasi proses emansipasi seorang manusia atau masyarakat menuju ke arah kehidupan yang lebih survive. Sebuah pandangan (definisi) yang tampaknya dimaksudkan untuk menggeser landasan diskusi definisi budaya yang bersifat moral (primordial) literer ke definisi budaya yang bersifat etnografis-antropologis, di mana perhatian utamanya pada proses yang dengannya makna dan definisi dikonstruksi secara sosial dan ditransformasi secara historis.

Dari konsep itu, ada tiga hal penting yang patut dicatat di sini. Pertama, bahwa sebagai kehidupan sosial, kebudayaan menjadi ruang terbuka yang memungkinkan setiap kekuataan atau kekuasaan, termasuk kekuasaan warga msyarakat, masuk bersama untuk berebut, bahkan mengintervensi baik secara hegemonik maupun represif dengan seluruh alasan yang diciptakan oleh masing-masing.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan