Gus Dur dan Klepon

1,850 kali dibaca

Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab. Bukan aku jadi ana, sampeyan jadi antum, dan sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya —Gus Dur.

Selama hampir sepekan terakhir, masih dalam situasi pandemi, jagat maya Tanah Air dihebohkan oleh klepon, penganan tradisional yang memang uenak tenan. Usut punya usut, klepon menjadi trending topic lantaran sebuah unggahan yang super konyol di media sosial (medsos).

Advertisements

Begini kutipan unggahan konyol itu yang disertai gambar klepon: “Kue klepon tidak Islami. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara membeli jajanan Islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami….” Pengunggahnya atas nama Abu Ikhwan Aziz.

Karuan saja, unggahan itu memantik perdebatan, dan juga olok-olok, di kalangan netizen. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut bersuara, dan meminta polisi mengusut dan menindak sang pengunggah. Alasannya memancing kegaduhan, dan bisa berpotensi membenturkan antarumat beragama.

Siapa sesungguhnya pengunggahnya, dan apa motifnya, tak penting-penting amat. Unggahan itu bisa datang dari kelompok mana saja, dan oleh siapa saja. Motifnya bisa apa saja. Yang jelas, tujuan si pengunggah sudah tercapai: memantik kegaduhan. Tapi, yang jauh lebih konyol dari tindakan si pengunggah adalah mereka yang termakan oleh unggahan tersebut: agar dibilang Islami, maka belanja dan makan kurma sebanyak-banyaknya. Mabuk kurma!

Padahal, ukuran Islami atau tidaknya suatu makanan hanya ditentukan oleh hukumnya: halal atau haram untuk dimakan, bukan dari mana diimpor. Bahkan status hukum makanan pun bisa berubah jika situasi dan kondisinya berubah. Makanan halal bisa menjadi haram bila diperoleh dengan cara nyolong; pun, makanan haram bisa menjadi halal dalam keadaan darurat. Klepon, yang seluruh bahan bakunya halal, tentu saja juga halal untuk dimakan. Artinya, klepon itu penganan Islami. Sungguh konyol jika menyebutnya tak Islami.

Yang harus ditelisik lebih dalam justru apa yang ada di balik unggahan konyol itu. Unggahan konyol itu harus ditangkap sebagai sinyal semakin kuatnya arus gerakan arabisasi —lebih spesifik wahabisasi —di bawah permukaan yang tampak. Sudah sejak lama, satu demi satu, perlahan-lahan, produk-produk budaya, tradisi, dan kearifan lokal dituding tak Islami. Sebelum soal klepon, misalnya, lagu anak-anak Balonku Ada Lima dan Naik-naik ke Puncak Gunung juga menjadi korban dari gerakan ini. Jauh sebelum itu, juga sudah banyak produk-produk budaya, tradisi, dan kearifan lokal Nusantara yang dicap bidah, musyrik, dan tak Islami.

Pendek kata, ultimate goal dari gerakan ini adalah segala nilai-nilai dan produk-produk dari kearifan lokal harus dikikis habis dan selanjutnya harus diganti dengan budaya dari mana agama Islam datang. Tak boleh dipertanyakan lagi apakah yang sedang diusung itu budaya Arab dan Timur Tengah atau budaya dan ajaran Islam. Dua hal yang sejatinya berbeda ini harus dianggap sama, identik.

Kenapa nilai-nilai dan produk-produk budaya, tradisi, dan kearifan lokal Nusantara ini harus digusur? Jawabannya hanya satu: gerakan mereka tak akan pernah sukses sepanjang masyarakat Indonesia masih bersetia dengan nilai-nilai dan produk-produk budaya, tradisi, dan kearifan lokalnya. Dan mereka tahu itu. Nilai-nilai dan produk-produk budaya, tradisi, dan kearifan Nusantara memang tidak pernah memberi tempat bagi tumbuh-kembangnya paham-paham radikal, seperti yang diusung oleh kelompok-kelompok radikalis dari agama mana pun, termasuk radikalisme Islam. Sementara, radikalisme Islam dapat tumbuh subur di kawasan Timur Tengah. Maka, jika budaya Indonesia bisa diubah menjadi mirip-mirip budaya Timur Tengah, paham mereka bisa tumbuh subur di sini.

Karena itu, kelompok-kelompok radikalis ini selalu menggaungkan perang opini. Mereka selalu menggiring dan membentuk opini bahwa yang bukan berasal dari sono (minhum) sebagai tidak Islami. Di sini, kaum santri selalu menjadi benteng pertahanan terakhir dan paling tangguh. Kita ingat, itulah kenapa sebagai cendekiawan muslim cemerlang, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada dekade 1980-1990an tak henti-hentinya menggulirkan isu pribumisasi Islam.

Kenapa Gus Dur menggulirkan gerakan pribumisasi Islam? Islam, sebagai agama universal dan rahmatan lil alamin, harus diakui tidak lahir di bumi Nusantara. Ia datang dari negeri Arab. Berkaca pada metode dakwah Wali Songo, yang diajarkan, yang didakwahkan, adalah ajaran agama Islamnya, yang kebetulan berasal dari negeri Arab. Bukan budaya Arabnya. Itulah yang mendorong Gus Dur menggulirkan pemikiran pribumisasi Islam. Kutipan Gus Dur di awal tulisan ini menggambarkan apa yang dimaksud dengan pribumisasi Islam.

Dengan demikian, menjadikan wayang sebagai media dakwah seperti yang dilakukan Wali Songo adalah bagian dari Islamisasi atau dalam istilah Gus Dur pribumisasi Islam. Membumikan Islam. Tapi, menyebut klepon yang jelas dibuat dari bahan-bahan yang memang halal sebagai tidak Islami dan diperhadapkan dengan kurma sebagai yang Islami, jelas itu bagian dari “Arabisasi”.

Bagi kaum santri sederhana rumusnya: Islamisasi, yes! Arabisasi, nanti dulu….

Multi-Page

Tinggalkan Balasan