Guru dan Cermin Moralitas Bangsa

1,768 kali dibaca

Termaktub dalam serat Ranggawarsito: bahwa kata “guru” merupakan kependekan dari frasa digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh). Karena itu tak lazim bagi siapa pun yang tidak hormat dan patuh kepada gurunya. Secara sosio-kultural, guru adalah profesi yang sangat dihormati dan dimuliakan.

Ini selaras dengan petuah ahli hikmah: Man qoola lisyaikhi lima, lam yuflih abada. Artinya kira-kira begini: barang siapa yang berkata kepada guru kenapa karena suatu alasan, maka hidupnya tidak akan beruntung. Betapa mulia dan agungnya kedudukan guru atas muridnya, sampai bertanya perihal alasan saja seharusnya dihindari.

Advertisements

Suatu waktu, Imam al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthos berkata, “Siapa saja yang bertawasul kepadaku, tapi tidak bertawasul kepada muridku, Ali Baros, maka tawasulnya akan aku tolak.” Hal ini menunjukkan bagaimana kedudukan seorang murid yang mampu membanggakan gurunya akan memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Suatu ketika, saat sedang mengajar, tiba-tiba al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthos berkata kepada semua murid yang hadir, bahwa Nabi Khidir As (Balya bin Malkan) telah datang dan menunggunya di depan pintu. Mendengar penuturan tersebut, para murid penasaran, sehingga mereka berebut keluar untuk memastikan perkataan guru dan ingin bersalaman dengan Nabi Khidir.

Ketika semua sedang keluar, ada satu murid masih tetap duduk di tempatnya, tanpa berubah sedikitpun. Al-Habib Umar bin Abdurrahman yang mengetahui hal itu, bertanya kepada si murid: “Gerangan apa yang membuatmu tetap duduk di posisi semula?” Si murid menjawab: “Mengapa aku menemuinya, sedangkan ia ke sini untuk bertemu denganku. Jika aku bersama denganmu, maka aku akan bertemu denganya.”

Mendengar penuturan si murid, al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthos berkata: “Karena berkat keyakinanmu kepada gurumu, mulai sekarang, siapa saja yang bertawasul kepadaku, maka harus melaluimu.”

Kisah tersebut menggambarkan bahwa hormat kepada guru adalah sebuah kewajiban bagi semua murid. Tak hanya di sekolah, melainkan di mana pun dan kapan pun, ajaran dari seorang guru harus senantiasa diimplementasikan dalam laku dan tutur kata.

Dikisahkan juga, suatu hari ada seorang yang ingin belajar ilmu agama. Ia berkelana dari desa ke desa, dari kota ke kota, hingga pada suatu hari, seseorang berkata kepadanya, bahwa di desa sana, ada seorang yang alim. Mendengar penuturan orang itu, ia sangat bersemangat menuju desa yang telah dipaparkan kepadanya.

Sesampainya di alamat yang dituju, betapa senang dan gembiranya ia, karena orang yang akan dijadikan gurunya itu adalah orang yang zuhud, tidak berhasrat akan dunia, pikirnya. Kemudian ia bersalaman kepada gurunya itu. Sejenak kemudian, sang guru berkata, “Tak usah kuajarkan kau ilmu agama, cukup kau gembalakan kambingku!”

Setelah itu, setiap waktunya ia selalu disibukkan oleh kambing-kambing gurunya. Ia lakukan hal itu tanpa pamrih, tak mengharap imbalan apa-apa, kecuali rida gurunya. Lambat laun, setelah kambing-kambing itu berkembang biak menjadi banyak, sang guru berkata: “Kambingku sudah menjadi banyak. Sekarang, kembalilah kamu dan mengajarlah di desamu!”

Tanpa berpikir panjang, si murid kembali dengan senang hati. Sesampainya di rumah, ia tertidur, kemudian didatangi oleh Nabi Khidir. Ia diajari oleh Nabi Khidir seputar ilmu-ilmu agama. Kebetulan, esok harinya, warga kampung menyuruhnya berkhutbah. Dan, tanpa disadari, ia telah menjadi seorang yang ahli dalam ilmu-ilmu agama.

Setelah hari raya, ia berniat mengunjungi gurunya, dengan membawakan ubi yang telah dipanenya dari ladang. Setiba di jalan yang dilaluinya dulu ketika ada seorang yang memberi tahunya tentang keberadaan sang guru, ia dicegat. Lalu satu orang di antara mereka meminta maaf, bahwa selama ini mereka telah membohonginya untuk datang dan belajar kepada orang yang mereka tunjukkan dulu.

“Orang itu adalah tukang kebun biasa,” selorohnya. Si murid tak menghiraukan. Setiba di rumah sang guru, justru sang guru merasa menyesal membohonginya. Namun, ilmu yang diajarkan oleh Nabi Khidir adalah perantara khidmatnya kepada sang guru, pikirnya.

Dari cerita di atas, bisa disimpulkan, bahwa guru memiliki pengaruh besar untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, dan memperbaiki moralitas penduduknya. Orang yang tidak mempunyai guru  bisa dipastikan; jika ia pintar, maka gurunya adalah setan. Man taallama bila syaikhin, fasyaikhuhu syaiton. Barang siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan.

Wallahu a’lam bisshowab…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan