Genealogi Puisi Santri Annuqayah

1,813 kali dibaca

Masih hangat terasa jejak perjalanan itu, saat kami menyusuri lorong berduri, menapaki tilas masyayikh di antara sekian koridor perjuangan. Memburu catatan literalasi dari para masyayikh Pondok Pesantren Annuqayah gampang-gampang susah. Atau lebih cenderung susah dan tidak mudah karena berbagai faktor dan alasan. Banyak suka dan duka ketika kami menelusuri jejak para masyayikh, teruma Beliau-Beliau yang sudah menghadap ke hadirat Allah.

Tetapi, dengan semangat pantang menyerah, semangat juang 45 mendera nurani kami untuk tidak surut dalam perjalanan ini. Dengan segenap upaya, daya dimaksimalkan untuk terus mencapai puncak kesuksesan demi sebuah target. Kolaborasi penyair masyayikh Pesantren Annuqayah berserta alumni dan santri aktif, merupakan tujuan utama dalam pencapaian yang dimaksud.

Advertisements

Puncaknya, Februari 2021, buku 1887 Antologi Puisi Isyarat Gelombang III dapat diterbitkan. Sebuah buku puisi yang tidak sekadar mengorbitkan diksi dan kata-kata, melainkan juga membangun ikatan jiwa antara pengasuh dan alumni, antara kiai dan para santri. Buku ini berkisah tentang kesantrian dari berbagai aspek. Tidak ada batas materi atau tema, yang pasti dari sudut-sudut irama puisi, syair, atau sajak dapat dipetik sari hikmah untuk menasbihkan identitas sebagai seorang santri.

Dalam sambutannya, Prof Dr KH A’la, M.Ag mengatakan, “Kekuatan antologi puisi ini, salah satunya, terletak pada para penulisnya yang terdiri dari mulai pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah hingga para santri. Indah dan luar biasanya, pengasuh yang mencoretkan puisi mulai dari generasi awal hingga pengasuh saat ini.”

Menjadi sebuah nilai lebih dan lebih bernilai bahwa tulisan para masyayikh memberikan kontribusi yang begitu berarti dalam membangun intuisi dan inspirasi bagi para pembaca.

Puisi yang termaktub dari pengasuh generasi awal, seperti yang ditulis oleh KH Abdullah Sajjad, pengasuh Pesantren Annuqayah daerah Latee (generasi pertama), sebuah puisi dengan bahasa Madura. Salah saru liriknya, “Pong-pong gi’ odhi’, gi’ dha-ngodha/Pabajeng ngaji elmo akidah/Bhila lon nyaba dhapa’ gan dhadha/Kadiya kasta pon padha badha.” (Selagi masih hidup dan masih muda/Rajinlah mencari ilmu akidah/Jika napas (nyawa) sudah sampai di dada (sakaratul maut)/Tentunya sesal yang pasti ada).

Ada banyak diksi dengan nilai perpuisian yang dapat kita ambil hikmahnya. Membaca puisi dalam buku ini akan dibawa kepada sebuah perjumpaan batin. Bershilaturrahmi dengan para masyayikh, handai tolan, serta ikatan ruhani yang begitu erat.

Dengan syair Arab, KH Muhammad Ilyas membangun sebuah larik puisi tentang kemerdekaan. Harapan-harapan dan doa, agar bangsa Indonesia mencapai kemakmuran dan kebahagiaan. Masih oleh generasi awal, dan masih dalam rangka Hari Kemerdekaan RI, KH Amir Ilyas bersenandung dengan ungkapan bahasa Arab, dan diterjemahkan oleh KH Muhsin Amir (putra KH Amir Ilyas), “Setiap penduduk (desa) merasa nyaman, senang, dan berbinar. Keberkatan, kemakmuran, dan keberuntungan (sebab merdeka) telah didapatnya.

Sementara dari masyayikh (pengasuh) generasi milenial (generasi saat sekarang), Muhammad Zamiel El Muttaqein (alm), menulis puisi dengan judul “Nota Bene Setiap Fatihah”, sebuah rangkaian doa teruntuk KH Abdullah Sajjad, “Doa Seorang Koruptor”, Beliau berharap para pecundang ini tersadar dari keserakahan.

aku berlindung kepada matamu yang tiada pernah terpejam/dari godaan rasa malu dan sesal yang mengancam.

Begitu di antara doa puisi Muhammad Zamiel El Muttaqien.

Rubaiyat Manakib Kiai Syarqawi dan Annuqayah” oleh KM Faizi menuangkan sebuah histografi tentang pendiri Pesantren Annuqayah, KH Syarqawi, berserta Pesantren Annuqayah itu sendiri. “Pada tahun 1887 tahun matahari/Datanglah seorang lelaki saleh ke tempat ini.”

Lelaki yang dimaksud dalam liris puisi ini adalah KH Syarqawi pendiri Pesantren Aanuqayah. Seperti yang ditulis dalam bait puisi berikutnya, “KH Syarqawi meneroka sebidang tanah.” Dan di atas sebidang tanah tersebut dibangun sebuah lembaga pesantren yang menjadi cikal bakal Pesantren Annuqayah sebagaimana kita saksikan saat ini.

Hazmi Bashir, seorang putra KH Bashir AS yang juga sebagai penulis esai yang aktif dan kreatif, membangun diksi puisi dengan judul “Secangkir Kopi Itu.” Sebuah larik puisi yang cukup berani karena mengisahkan seorang wanita penghibur. Secara tersurat, puisi ini menelanjangi sebuah nilai kepesantrenan untuk menasbihkan nilai kemanusiaan yang sebenarnya.

Hazmi Bashir juga menulis puisi dengan judul “The Twilight” (puisi berbahasa Inggris), dan “Kakekku Seorang Pahlawan.” Puisi Hazmi Bashir yang terakhir ini merupakan dedikasi terhadap KH Abdullah Sajjad, kakek Beliau dan merupakan seorang pahlawan yang meninggal karena kekejaman penjajah Belanda.

Moh Muhsin Amir salah seorang pengasuh saat ini menorehkan sebuah puisi dengan judul “Diam”, “Kemerdekaan”, dan “Berilah Aku Setetes Kasihmu.” Mohammad Shalahuddin atau yang biasa dipanggil Ra Mamak, menulis larik sajak dengan judul “Bukit”, “Berlibur”, “Perdebatan Submikroskopik”, dan “Rahim.”

Dan masih banyak lagi puisi-puisi dari generasi saat ini, seperti Mohammad Naqib Hasan, Luqmanul Hakim, Alfu Laila, Muhammad Affan, Raedu Basa, dan lain-lain. Mereka adalah para masyayikh baik dari generasi awal maupun masa kini yang mencoba membangun kolaborasi puisi sebagai bentuk pendidikan dalam literasi. Puisi-puisi yang dibangun dalam antologi puisi ini pantas untuk dijadikan inspirasi bahwa sebenarnya di dalam puisi itu terdapat nilai dakwah sekaligus nilai pendidikan dan pengajaran.

Aku hanyalah segumpal awan/yang akan menaungi dan menghujani benih-benih/yang bertabur dalam sulur-sulur nadimu,” adalah Asy’ari Khatib, seorang alumni Pesantren Annuqayah yang terus mengabdi menjadi tenaga pengajar di pesantren ini. Larik puisi di atas merupakan penggalan karya Beliau di bawah judul “Siluet.” Sebuah harapan agar menjadi bermanfaat kepada orang lain dengan segala keterbatasan yang dimiliki.

Alan Tiffanuri merupakan nama pena dari Abdul Latif Anwar dalam puisinya “Tanah Pusaka” menyitir kondisi tanah leluhur, tanah kelahiran yang semakin sesak dengan bangunan menjulang. Maka pada akhirnya kondisi geologi ini akan mengalami sebuah bencana jika tidak disikapi dengan bijak.

Masih banyak lagi para penyair santri yang, kalau dalam bahasa Raedu Basa, merupakan sastra pesantren, yang sangat perlu untuk kita baca, dijadikan renungan sebagai nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Tidak kurang dari 80 penyair dari Pesantren Annuqayah ini yang mencoba memberikan peran dalam kepenulisan sastra, baik dari masyayikh, alumni, maupun santri aktif.

Tidak ada gading yang tak retak. Sebagai terbitan pertama dari penerbit Jala (Jaring Literasi Alumni Annuqayah) Sumenep, bekerja sama dengan penerbit Ganding Pustaka Yogyakarta, masih terdapat bebera typo (salah ketik), serta format paragraf yang kurang enak dilihat. Terlepas dari kelemahan ini, buku antologi puisi ini sangat recomended untuk dibaca, direnungi, dan dijadikan inspirasi dalam literasi maupun nilai-nilai pengajaran hidup di dalamnya.

Akhirnya, saya sebagai peresensi memohon maaf jika kiranya dalam catatan ini terdapat kekeliruan, ada ungkapan-ungkapan yang kurang benar, mengharap saran dan pembenaran, sehingg ke depan dapat membuat resensi yang lebih baik. Berharap kepada Allah bahwa catatan kecil ini dapat bernilai ibadah serta memberikan manfaat untuk penulis khususnya dan untuk semua orang pada umumnya. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan