Maqom Raja Gelinding Wesi dan Mbah M. Arif

Gelinding Wesi dan Islamisasi Dusun Gondanrojo

1,520 kali dibaca

Sarang, salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, terkenal dengan sebutan kota santri. Di kota ini banyak pesantren yang berdiri di daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa (Pantura) ini. Meskipun Sarang dikenal sebagai kota santri, tetapi pada umumnya pesantren-pesantren berdiri di Desa Karangmangu seperti, Pondok Pesantren (PP) Al-Anwar, PP Ma’hadu Ulum Asy-Syariyah (MUS), PP Ma’hadul Ilmi Asy-Syarie (MIS), dan masih banyak lagi.

Melalui perjuangan ulama Sarang tersebarlah tokoh-tokoh Islam di seluruh Indonesia yang juga lahir dari pesantren-pesantren tersebut. Berawal dari situ pula, Sarang menjadi kota yang terkenal di kalangan ulama, umara, maupun masyarakat.

Advertisements

Selain banyak pesantren berdiri di Desa Karangmangu, seiring berjalannya waktu, terdapat pesantren yang didirikan di Dusun Gondanrojo, Desa Kalipang yang masih termasuk wilayah Kecamatan Sarang. Pesantren yang berdiri di Desa Kalipang adalah PP Al-Anwar 2,3, dan 4.

Banyaknya santri yang mondok di pesantren tersebut membuat Dusun Gondanrojo menjadi sering dikunjungi orang (wali santri maupun tamu-tamu kiai) dan menjadi salah satu pusat menimba ilmu agama. Di balik semua itu, sebenarnya di Dusun Gondanrojo, Kalipang, Sarang juga terdapat fragmen sejarah keislaman masyarakat sekitar yang jarang diketahui orang.

Memutar sejarah keislaman masyarakat Sarang, terutama yang berada di Dusun Gondanrojo, ternyata ditaburi dengan kisah Islamisasi antara Syekh dan seorang raja yang beragama Budha. Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat seorang yang bernama Gelinding Wesi dari Majapahit. Gelinding Wesi pindah ke Dusun Gondanrojo karena kalah perang dengan Batik Madrim. Saat itu Raja Gelinding Wesi memiliki pengaruh yang sangat besar di daerah tersebut karena dianggap sakti mandraguna.

Suatu ketika Raja Gelinding Wesi berniat untuk mengelilingi desa di sekitar pesisir. Saat itu Raja Gelinding Wesi melihat seseorang yang melakukan gerakan aneh. Rasa penasaran Raja membawanya untuk menghampiri orang asing itu. Raja bertanya, gerakan apa yang dilakukan oleh orang itu. Namun, orang itu tidak menjawab sama sekali dan terus melakukan gerakan aneh tersebut.

Raja yang terkenal sombong karena kesaktiannya tersebut merasa diremehkan. Raja dengan spontan unjuk kesaktiannya pada orang tersebut. Ditendanglah orang tersebut dengan kekuatan penuh. Alhasil, orang tersebut tidak goyah dan masih melanjutkan gerakannya. Raja berulangkali menunjukkan kesaktiannya pada orang itu, tetap saja orang tersebut tidak goyah dan terluka sedikitpun.

Raja Gelinding Wesi terheran-heran dengan orang tersebut. Kesaktian apa gerangan yang dimiliki orang tersebut? Pada akhirnya Raja menyerah dan menunggu orang itu menyelesaikan gerakannya tadi. Raja akan menanyakan tentang ilmu yang dimiliki orang tersebut. Padahal Raja Gelinding Wesi selama ini sudah sangat kuat ternyata masih ada juga orang yang lebih kuat.

Selepas orang asing tersebut selesai melakukan gerakan aneh, Raja Gelinding Wesi segera menghampirinya dan bertanya siapa sebenarnya orang itu. Kemudian, orang tersebut menjelaskan dengan pelan-pelan bahwa dia adalah Muhammad Arif, seorang musafir yang berasal dari Kerajaan Blambangan. Beliau berniat untuk menuntut ilmu kepada Sunan Kudus dan istirahat sejenak untuk melakukan salat Ashar di Dusun Gondanrojo (tempat yang digunakan salat Mbah Arif sekarang dijadikan masjid Dusun Gondanrojo).

Raja Gelinding Wesi yang sudah kalah sebelum diserang oleh Mbah Arif seketika meminta Mbah Arif untuk menjadi gurunya. Mbah Arif pun dengan senang hati menerima permintaan itu. Raja Gelinding Wesi yang semula masih beragama Buddha kemudian diislamkan oleh Mbah Arif.

Bertahun-tahun Raja Gelinding Wesi menimba ilmu kepada Mbah Arif hingga periode anaknya pun yang bernama Jiriksono juga masih sempat menimba ilmu dengan Mbah Arif. Mbah Arif yang sudah menetap di dusun tersebut juga dipanggil oleh Sang Kuasa di dusun tersebut. Begitupun dengan Raja Gelinding Wesi. Raja Gelinding Wesi yang sangat menghormati gurunya sampai berpesan, jika raja mati hendaknya kuburannya lebih direndahkan dari Mbah Arif. Hal ini mencerminkan ketakdiman Raja Gelinding Wesi kepada gurunya.

Sejak kejadian tersebut Mbah Arif tinggal di Gondanrojo, Kalipang, Sarang. Semenjak itu juga masyarakat yang tinggal di desa tersebut juga berangsur-angsur masuk Islam dan belajar agama Islam lebih dalam lagi.

Catatan: Kisah ini ditulis berdasarkan cerita dari sesepuh Dusun Gondanrojo pada 21 Januari 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan