Ida Ruwaida, Sosiolog Universitas Indonesia, mengatakan, “Mudik lebaran merupakan gabungan antara budaya, sosial, dan ekonomi.” Hal ini diungkapkan oleh Ida dalam sebuah kesempatan saat wawancara dengan salah satu TV Swasta. Sebagaimana biasanya, menjelang Hari Raya Idul Fitri, para perantau yang berada di negeri orang berupaya mudik dan merayakan lebaran di kampung halaman.
Mudik secara etimologi, sebagaimana dijelaskan di KBBI adalah (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman); pulang ke kampung halaman. Secara falsafah, mudik adalah suatu tindakan seseorang yang akan kembali pulang ke kampung halaman untuk suatu keperluan, khususnya saat menjelang lebaran. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan, terutama untuk merayakan hari raya setelah sekian lama merantau atau pergi dari lingkungan keluarga dan kampung halaman.

Bagi sebagian masyarakat, pergi ke negeri orang merupakan sebuah pilihan untuk mencari kehidupan. Demi mendapatkan “cuan” untuk biaya hidup, tidak jarang seseorang pergi merantau dan mengadu nasib di tanah asing. Kondisi ini akan menjadi sebuah keinginan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Dan tidak jarang pula, mereka yang pergi merantau mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Di dalam Islam, merantau untuk mencari pengalaman dan kehidupan yang lebih baik sangat dianjurkan. Dalam Al-Quran, Allah swt berfirman, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15). Ayat ini menjelaskan bahwa kita dianjurkan untuk menjelajah seluruh penjuru bumi karena di sana akan kita dapatkan makna kehidupan yang sesungguhnya.
Filosofi Mudik
Meskipun ada persyaratan yang harus dipenuhi terkait dengan pandemi Covid-19, mudik kali ini mendapatkan izin atau persetujuan dari pemerintah. Jika dua tahun sebelumnya, pemerintah melarang mudik lebaran, maka pada Hari Raya Idul Fitri 1443 H, pemerintah memberikan rekomendasi untuk pulang kampung. Tentu saja kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pemudik.
Seperti yang dikatakan oleh Ida Ruwaida di atas, bahwa mudik itu sendiri merupakan bagian dari budaya atau tradisi. Artinya para perantau yang telah sekian lama meninggalkan kampung halaman, berupaya sekuat tenaga untuk kembali pulang. Di samping sebagai obat rindu bagi keluarga, menunjukkan eksistensi diri juga bagian dari realitas keakuan. Bukan sebuah nilai kesombongan, akan tetapi bertemu dengan handai tolan dengan kondisi yang baik saja menjadi sebuah kebanggaan.
Budaya balik kampung di saat lebaran harus tetap menjadi prioritas. Karena saat demikian, perputaran perekonomian juga akan menjadi nilai lebih. Rupiah yang dibawa pulang oleh pemudik, sedikit banyak akan memberikan dampak kebaikan bagi kampung halaman. Apalagi, keluarga di rumah juga akan berharap adanya kelebihan rupiah yang bisa dinikmati secara bersama-sama. Meski demikian, bukan berarti keluarga bergantung sepenuhnya kepada para perantau.
Merantau dan Kehidupan
Di dalam Islam dikenal istilah “rihlah li thalabil ‘ilmi“, yaitu anjuran untuk merantau demi menuntut ilmu. Tentu ilmu yang dimaksud dalam makna luas, dalam pengertian meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang menginginkan dunia maka ia harus memiliki ilmu, barang siapa yang menginginkan akhirat maka ia harus memiliki ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka ia harus memiliki ilmu.” (al-Hadis).
Hadis di atas menjadi dasar yang jelas bahwa antara dunia dan akhirat harus saling bersinergi. Menjadi seorang muslim harus menggapai dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Bukan semata-mata dunia, juga bukan hanya akhirat saja. Tetapi keduanya menjadi pilihan untuk sama-sama mendaptkan kebaikan dan kebahagiaan.
Sentara itu, Islam tidak mewajibkan seorang perantau untuk kembali ke kampung halaman hanya untuk berlebaran bersama. Di dalam Islam tidak ada kewajiban untuk mudik. Berlebaran di tempat mana saja, di negeri apapun juga, tidak akan mengurangi pahala dalam melaksanakan ibadah di hari raya. Jadi agama, khususnya Islam, tidak mewajibkan seseorang untuk mudik.
Jadi mudik itu sendiri terbatas kepada tradisi dan budaya. Tidak ada kewajiban untuk melakukannya menurut suatu agama dan keyakinan. Namun, jika niat mudik untuk memberikan kebahagiaan bagi orang rumah, maka hal tersebut menjadi baik dan bernilai ibadah. Karena membahagiakan orang lain merupakan bagian dari makruf atau kebaikan.
Hal yang harus diperhatikan ketika mudik adalah kehati-hatian. Karena tidak jarang terjadi saat mudik adanya kecelakaan hingga menyebabkan kematian. Oleh karena itu, berhati-hati dan menjaga kondusifitas arus mudik harus menjadi perhatian utama agar pemudik menemukan keharmonisan berjumpa dengan sanak keluarga. Wallahu A’lam!