Fenomena Kepesantrenan (1): Konsekuensi Simbolisme Kiai

684 kali dibaca

Tajuk pesantren menjadi objek bahasan materil dalam tulisan kali ini. Meski akumulasi dari berbagai perspektif dan keilmuan tidak akan dapat memberikan suatru kepuasan ilmiah tentang makna kepesantrenan. Rajutan historis telah membuktikan bagaimana pesantren dengan segala kontribusi sosial dan sumbangsih keilmuannya menjadi tuntunan spritual di tengah hiruk-pikuk kehidupan umat.

Pesantren sebagai lembaga masyarakat yang mengemban amanah dan mempunyai legitimasi kultural di hati masyarakat, dengan segala rumpun peran di dalamnya menjadi patron sosial dari laku keseharian. Sehingga berbagai fenomena sosial yang melibatkan nama pesantren di dalamnya memiliki konsekuensinya sendiri dalam pampangan publik.

Advertisements

Pada putaran bumi di tahun 2021, fenomena sosial merundung pesantren dalam kemerosotan kultur etis keumatan. Atensi publik terhadap pesantren cukup memprihatinkan ketika nama pesantren menjadi tajuk pemberitaan dalam pampangan media. Masih belum lekang ingatan kita tentang seorang pengasuh pesantren yang menaja hubungan sensasional dengan santrinya atau ratusan pesantren yang terlibat dalam fantasi keagamaan radikalisme, yang melebihi cukup menarik ulur kepercayaan umat dalam satu hentakan periodik.

Pesantren adalah produk umat yang dimurnikan dari unsur kepentingan dan nilai pragmatistik. Pesantren selamanya dalam lingkaran fitrah itu. Geliat immoral yang tidak mengenakkan terjadi karena moralitas ketokohan (moral personality) yang merepresentasikan nilai keluhuran pesantren tidak mencukupi syarat kelayakan sosial, baik kemapanan paham keagamaan maupun kesiapan melakoni budaya lokal—ini diistilahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan “oknum pesantren” (Cholil Nafis, 2021).

Setidaknya, fenomenologi kemerosotan pesantren di putaran revolusi bumi kemarin telah mensolek kesalehan artifisial di tengah masyarakat, bagaimana pesantren berikut kiprah keumatan kembali diuji dalam sebuah catur permasalahan yang berkelindan silih ganti. Proses kognitif kita tentu akan melahirkan represantamen baru terhadap kultus pesantren, yakni konseskuensi sakralitas ketokohan (role consequence) dan dilema kultural umat dalam memberikan legitimasi terhadap lembaga keagamaan (culture education).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan