Evolusi Santri dan Pesantren

2,821 kali dibaca

Santri dan pesantren terus ber-evolusi, terus berkembang, sesuai dengan, atau menyesuaikan diri dengan, perkembangan zaman. Entah sampai kapan.

Yang paling gampang dilihat ada pada atribut yang disandang oleh istilah santri itu sendiri. Adanya sebutan santri mondok (mukim), santri kelana, santri kalong, dan mahasantri, misalnya, menunjukkan adanya evolusi pada diri santri, atau orang-orang yang belajar atau menuntut ilmu di pondok pesantren.

Advertisements

Pada mulanya, santri hanya menunjuk pada orang-orang yang belajar di pesantren dan tinggal di pondok-pondok atau bilik-bilik di lingkungan pesantren. Mereka menjadi satu kesatuan utuh dengan seluruh unsur yang ada di pesantren, seperti kiai dan para guru, masjid atau musala sebagai pusat kegiatan belajar dan beribadah, bilik-bilik sebagai tempat tinggal, unit-unit usaha untuk mendukung kegiatan pesantren, dan masyarakat sekitar —sehingga muncul apa yang disebut pesantren sebagai subkultur.

Tentu, pada mulanya pengertian itu menunjuk pada santri mukim atau santri mondok. Lalu muncul istilah turunannya, yaitu santri kelana dan santri kalong. Santri kelana menunjuk pada santri yang tidak hanya belajar di satu pesantren. Ia menunjuk pada santri yang belajar di lebih dari satu pesantren, dari satu pesantren ke pesantren lainnya dalam jangka waktu tertentu. Santri kelana ibarat seorang pengelana yang gandrung akan ilmu. Ia terus berkenala untuk berburu banyak ilmu, juga barokahnya, kepada sebanyak mungkin kiai.

Kemudian santri kalong, yang menunjuk pada orang-orang yang belajar di pesantren tapi tidak tinggal di lingkungan pondok. Biasanya, mereka adalah orang-orang yang tempat tinggalnya tidak jauh dari pesantren. Mereka datang ke pesantren saat jam belajar, dan pulang ke rumah masing-masing seusai ngaji. Lalu istilah yang belum lama kemunculannya adalah mahasantri. Istilah ini menunjuk pada santri yang belajar di pesantren dengan program pembelajaran setingkat perguruan tinggi, biasanya disebut mahad aly. Untuk menunjuk pada santri yang sudah lebih lama belajar di pesantren, sebelum ini lebih dikenal dengan sebutan santri senior.

***

Beragamnya atribusi pada istilah santri tersebut menunjukkan adanya evolusi, perubahan dan perkembangan, yang terjadi pada dunia santri. Dulu, di masa-masa awal kemunculan pesantren berabad-abad lampau, niat utama santri datang ke pondok adalah untuk mengaji, belajar dan mendalami ilmu agama. Maka santri disebut sebagai orang yang mondok.

Ketika merasa diri sudah cukup, atau oleh kiainya dianggap cukup, dalam mendalami bidang ilmu di satu pesantren, banyak santri di masa lalu yang melanjutkan nyantri di pesantren lain. Kalau tidak atas keinginan sendiri, biasanya juga karena perintah atau permintaan kiainya. Maka, di masa lalu, banyak santri yang belajar dari satu pesantren berpindah ke pesantrennya lainnya, dan tetap dituntun oleh niat utama yang sama: mencari ilmu. Dan mereka kemudian disebut santri kelana. Semakin banyak pondok yang dijelajah, semakin banyak kiai yang dicium tangannya dan berguru kepadanya, jati dirinya sebagai santri semakin kukuh. Dari sanalah kemudian lahir ulama-ulama besar. Nyaris tak ada kiai atau ulama besar yang sanad keilmuannya hanya berasal dari satu pesantren dan satu guru.

Mungki sekarang sudah mulai jarang ditemukan santri yang berjuluk santri kelana seperti itu. Seiring perkembangan zaman, yang terlihat lebih banyak adalah santri mukim, santri kalong, dan mahasantri yang datang ke pesantren niat dan tujuannya sudah lebih beragam. Tak lagi semata untuk belajar dan mendalami ilmu agama, dan mencari barokah dari kiainya, santri-santri masa kini punya niatan dan tujuan yang beragam.

Masuk pesantren, santri-santri masa kini juga berniat mempelajari dan menguasai bidang-bidang keilmuan non-agama, baik dalam program pendidikan umum maupun khusus/kejuruan. Tak sedikit pula santri yang masuk pesantren untuk menguasai ilmu-ilmu keterampilan khusus. Bahkan, bisa jadi, belajar agama di pesantren justru dijadikan “sambilan” karena tujuannya mendalami ilmu-ilmu non-agama yang ditawarkan pesantren. Sambil menyelam, bisa belajar agama.

Ini karena pesantrennya juga mengalami evolusi, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Pada mulanya kita hanya mengenal istilah pondok pesantren, tanpa atribusi apa pun. Lalu muncul istilah pesantran salaf dan khalaf, yang menunjukkan adanya perbedaan antara pesantren tradisional dan pesantren modern. Yang pertama menunjuk pada pesantren kuno, tradisional, yang belum tersentuh sistem pendidikan modern dengan sistem pembelajaran sorogan, bandongan, dan wetonan. Yang kedua menunjuk pada pesantren yang sudah mulai menggunakan sistem kelas (klasikal), dengan memasukkan unsur dari sistem pendidikan modern. Lazimnya juga dipahami sebagai pesantren yang telah memadukan sistem pendidikan tradisional dan modern.

Saat ini, sudah banyak pondok pesantren yang mirip, tidak berbeda, dengan lembaga pendidikan non-pesantren. Biasanya diatribusi dengan sebutan “pondok pesantren modern” atau kalau mau lebih keren digunakan bahasa internasional, Islamic Boarding School. Di dalam lingkungan pesantren, sudah banyak lembaga-lembaga pendidikan formal, baik yang keagamaan seperti madrasah maupun yang umum seperti SMP/SMA. Selain mahad aly, juga banyak pesantren yang juga memiliki perguruan tinggi umum. Berbagai disipilin ilmu juga diajarkan di dalamnya, dan di sanalah para mahasantri belajar.

Selain dalam hal sistem pendidikan, pondok pesantren juga sudah banyak mengadopsi kegiatan perekonomian modern. Jika di zaman dulu para santri diajak bercocok tanam, menggarap ladang dan sawah yang dimiliki pondok atau kiai untuk menopang kebutuhan menghidupi santri dan pesantrennya, kini banyak pesantren yang telah menjalankan sistem perekonomian modern. Pesantren sudah banyak yang memiliki unit usaha atau bisnis yang produknya pun beragam, mulai dari produk pertanian hingga produk industri. Beberapa produk dari pesantren bahkan sudah mampu menembus pasar global. Maka, para santri pun kini banyak yang tetep tinggal di pondok bukan lagi untuk mengaji, melainkan sudah bekerja secara profesional di lingkungan pesantrennya.

Sampai seberapa jauh santri dan pesantren akan terus ber-evolusi, menyesuaikan diri dengan dunia yang terus berubah dan berkembang semakin cepat, susah untuk mengukurnya. Namun, jika dilihat jauh ke belakang, bagaimana santri dan pondok pesantren mampu bergulat dengan arus perubahan, rasanya eksistensinya akan terjaga meskipun tetap akan mengalami perubahan di beberapa sisinya.

Misalnya, akan lebih sulit menemukan santri kelana, yang mendatangi banyak pesantren untuk berburu ilmu sekaligus barokah. Mungkin juga akan semakin langka pondok pesantren yang masih salaf, dan benar-benar mempertahankan ke-salaf-annya. Tapi apakah itu akan berarti makin sedikit pesantren yang mampu melahirkan ulama-ulama atau kiai-kiai besar? Wallahualam bishawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan