Ekologi Bahasa Puisi

915 kali dibaca

Di dalam sebuah buku Berkenalan dengan Puisi, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti mengemukakan sebuah tanya retoris, “Masih perlukah batasan puisi?” Hal ini dimaksudkan bahwa puisi itu dalam perkembangannya selalu mengalami dinamika perubahan yang semakin beragam. Batasan-batasan puisi pun yang dikemukakan oleh para tokoh perpuisian maupun dalam pemerhati ekologi bahasa tidak dapat merangkul keseluruhan makna puisi yang dinamis.

Dinamika perpuisian cenderung berubah dari waktu ke waktu. Tentu saja hal ini jika dikaitkan dengan puisi masa kini (puisi modern). Berbeda jika dihubungkan dengan puisi lama yang masih diikat oleh berbagai struktur bahasa, bentuk puisi seperti rima, irama, jumlah kata, jumlah baris, suku kata, dan lain sebagainya. Karena bentuk puisi ini dibangun di atas pondasi kemandirian yang statik. Semisal pantun, syair, gurindam, dan karmina, adalah bentuk-bentuk puisi yang diikat dengan berbagai aturan atau kaidah.

Advertisements

Masih menurut Suminto A. Sayuti, membatasi (mendefinisikan) puisi tidak akan pernah mencapai kata sepakat dan sepadan. Meski dicoba untuk dibuatkan sebuah batasan, hal ini dimaksudkan agar lebih fokus dalam perkenalan perkenalan puisi. Suminto A. Sayuti mengatakan, “Puisi adalah sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya; yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya.”

Batasan yang telah dikemukakan di atas, sebagaimana disadari oleh penulisnya, tidak akan mampu membatasi puisi secara keseluruhan. Karena hal tersebut didasarkan pada puisi-puisi konvensional dan tidak akan bisa mendefinisikan puisi yang saat ini berkembang dengan sangat signifikan ke arah model puisi yang semakin meluas. Jadi, puisi dari waktu ke waktu mengalami dinamika perkembangan dan tidak dapat didefinisikan dengan kerangka kalimat yang statis.

Bahasa Puisi

Puisi memiliki pilihan bahasa yang unik (rumit?). Dikatakan unik, disebabkan bahasa puisi memiliki kaidah kebahasaan yang dinamis. Tulisan ini lahir dikarenakan adanya diskusi kecil (santai) dalam grup WA kepenulisan. Sebuah pilihan diksi “amaraloka” menjadi perdebatan dan perbedaan persepsi. Ketika amaraloka dimaksudkan sebagai nama, maka sudah selesai diskusi dan tidak perlu lagi ada perbedaan dan perdebatan. Namun, di saat diksi ini dimaksudkan sebagai “asmaraloka” sebagaimana termaktub dalam KBBI dan yang diinginkan oleh penulis, maka penulisan amaraloka adalah sebuah typo dan harus dibetulkan.

Tidak perlu melebarkan persoalan dan apalagi memanjangkan perdebatan. Sebab setiap personal memiliki kemerdekaan untuk menafsirkan sebuah puisi. Yang terpenting dari setiap persoalan harus menjaga sinergitas sosial untuk saling menghargai dan menghormati. Karena sifat ekologi bahasa puisi berbeda dengan bahasa ilmiah, sehingga dapat menjadi khazanah penafsiran yang luas dan beragam.

Bahasa puisi, bagaimanapun bebasnya, tetap memiliki batasan-batasan kaidah yang tidak menyalahi bahasa baku. Artinya, sebuah kata yang sudah tertata sebagai suatu kebenaran tidak dapat dimanipulasi untuk sebuah kebenaran yang lain. Kecuali jika kebenaran lain itu sebagai maksud untuk sebuah kemauan atau keinginan. Seperti kata “aku” (dengan maksud saya) tidak dapat ditulis “aki” juga dengan makna yang sama. Karena aki sudah memiliki makna lain, yaitu kakek, datuk, atau peranti alat kelistrikan.

Bahasa puisi memiliki kaidah kebebasan yang beretika. Sewajarnya sebuah puisi, tetap memiliki unsur keterkaitan terhadap kaidah kebahasaan maupun sosial kemasyarakatan. Kata-kata yang diolah menjadi sebuah puisi harus dipertanggungjawabkan, baik di hadapan khalayak maupun di hadapan Tuhan kelak di kemudian hari.

Puisi Mbeling

Sitardji Cazoum Bachri (SCB) adalah pelopor (salah satu?) puisi mbeling. Puisi dengan bentuk yang tidak mengikuti pola kaidah kebahasaan. Ada banyak alasan, mengapa sebagian penyair mencipta puisi yang sedemikian rumit. Tentu yang paling mengatahui adalah Tuhan dan penyair itu sendiri. Puisi mbeling sengaja dibuat dan dimaksudkan untuk sebuah struktur puisi yang berbeda dengan puisi pada umumnya.

Dalam semua puisi berjudul “Tragedi Winka & Sihka” SCB membangun ujaran diksi yang tidak sebagaimana biasanya. “Winka” adalah pengewajantah dari kata “kawin”, sedangkan “sihka” adalah ekologi kata dari “kasih”. Nah, dari bentuk puisi ini kita dibawa kepada puncak kebebasan berpuisi. Kemerdekaan menyusun kata, mengubah diksi suku kata, serta bentuk penulisan puisi yang dikehendaki oleh penyair. Bentuk dan nilai estetik puisi pun menjadi “absurd” dengan pola yang keluar dari kaidah dan sistem kebahasaan.

Kesengajaan membuat puisi mbeling adalah sebuah keniscayaan bagi penyairnya. Artinya, penyair benar-benar sadar ingin membuat sebuah puisi dengan cara yang diinginkan. Bukan sebuah kebetulan dan apalagi ketidaksengajaan. Hal ini akan bernilai ilmiah dan logis, karena sebuah kesengajaan merupakan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan diksi yang dibangun di atas “kesalahan” karena tidak cermat dalam menekan key board (misalnya), maka hal demikian adalah kesalahan yang diperlukan perbaikan.

Kebebasan Bermartabat

Berpuisi akan memiliki nilai sesuai dengan niat, maksud, dan tujuannya. Begitu juga dengan sesuatu yang timbul dari rangkaian kata puisi, apakah dapat memberikan nilai kebaikan atau sebaliknya. Sebab kalimat-kalimat puitik, sebagaimana karya sastra dan literasi lainnya, memiliki nilai positif dan negatif. Ada puisi yang mendorong kepada kebaikan, dan ada juga puisi yang menimbulkan keburukan (jika tidak ada, berarti belum dibuat, dan jangan sampai dibuat).

Puisi bermartabat adalah rangkaian kata puitik yang memiliki keindahan sekaligus kebermaknaan. Indah yang tidak bermakna adalah puisi yang bernilai kurang. Demikian juga, bermakna tetapi tidak indah adalah puisi yang gersang, tidak memiliki nilai estetika yang seharusnya harus ada di dalam perpuisian. Bermartabat artinya memiliki tingkat kemanusiaan serta harga diri puisi yang dapat digunakan sebagai nilai-nilai sosial keadaban.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah justifikasi. Karena hakikat kebenaran dan kesempurnaan hanya milik Tuhan. Sementara kita, khususnya penulis sendiri, adalah kemajemukan dalam kebersamaan. Bersama-sama untuk membangun khazanah keilmuan demi kebenaran. Bukan kebenaran an sich, akan tetapi kebenaran yang ilmiah dengan logika kaidah ekologi kebahasaan.

Terbaik dari sebuah kebaikan adalah belajar sepanjang hayat. Artinya, dengan diskusi kecil (baca: santai, tanpa diiringi baper apalagi emosional) kita dapat mengambil hikmah sebagai sebuah pengetahuan. Kita akan semakin ditempa dengan pengalaman, diskusi, perdebatan yang baik, maupun dengan cara menulis sebuah naskah tulis. Puisi adalah bagian dari disiplin ilmu yang perlu dipelajari dan dikembangkan demi kemaslahatan. Artinya, puisi yang dicipta harus memiliki kebenaran, estetika, kemaslahatan, dan etika ekologi bahasa. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan