Doa Orang Gila

3,255 kali dibaca

Jika terucap Slamet, pasti semua warga berasosiasi dengan anak tunggal Pak Agung, orang terkaya di Kecamatan Sonowangun. Sawahnya seluas 10 hektare, hampir separo dari Dusun Sonoroto —sebuah lahan emas pertanian. Semua tanaman bisa tumbuh dengan gemuk di bumi Sonoroto: padi, kedelai, jagung, tebu, jati, sengon, kacang panjang, sawi, dan sebagainnya.

Dulunya, Pak Agung hanya memiliki sebidang tanah. Karena keuletan dan kecerdasannya, Pak Agung akhirnya bisa membeli lahan-lahan yang luasnya 50 kali dari luas sawahnya. Biasanya, setelah subuh Pak Agung selalu menjenguk dan merawat tanaman yang berada di ladang. Setelah dirasa cukup, Pak Agung akan bekerja di Pak Haryo, tuan tanah di desa sebelah. Begitulah rutinitas Pak Agung setiap hari. Bagi Pak Agung, bekerja adalah jalan hidupnya.

Advertisements

Kini, semua harta Pak Agung jatuh kepada Slamet. Namun, karakter Slamet dan Pak Agung bak langit dan bumi. Slamet senang akan kehidupan santai, bahkan lebih ke berpangku tangan. Bahkan semakin menjadi. Ia tidak mau ke sawah. Semua pekerjaan diserahkan kepada para kulinya. Kehidupan Slamet semakin mentereng. Slamet sekarang bisa mengatur harta warisan menurut kata hatinya. Hidupnya seperti raja.

Ada satu hal unik, setiap kali panen ia selalu mencari orang gila yang hidup menggelandang untuk diberinya pakaian, makanan, bahkan kadang uang. Setelah memberi kepada orang gila, biasanya dia meminta doa.

“Pak, ini,” Slamet mengulurkan tangannya yang menggenggam sebungkus nasi bebek lengkap dengan es teh. “Jangan lupa doakan saya agar diberi rezeki dan keselamatan.”

“Hem…,” orang gila itu seolah mengamini doa Slamet.

Slamet pun melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan raya Sonowangu untuk mencari orang gila yang biasanya tidur di depan emperan toko sembako.

“Alhamdulillah, ketemu juga.” Hati Slamet pun girang seolah  bertemu dengan malaikat yang akan menyampaikan doanya kepada Sang Pencipta.

“Ini, Pakde, nasi bebek, dimakan ya?”

Orang gila yang disebut Pakde itu membuka bungkusan, kemudian dilahapnya nasi bebek pemberian Slamet.

“Pakde, jangan lupa-lupa mendoakanku agar selalu diberi banyak rezeki dan keselamatan.”

Si Pakde tak menggubris, ia terurus menjimpit makanannya dengan jari-jari yang legam menuju arah mulutnya.

“Ini ada rokok, Pakde, nanti habis makan bisa Pakde rokok.”

Slamet yakin, walaupun Pakde tidak menjawab tapi hati Pakde sudah berdoa untuknya. Ia percaya bahwa orang gila itu tidak punya dosa sehingga doanya pasti makbul. Perilaku itu terus dilakukan hingga menjadi sebuah kebiasaan.

***

Semua kerabatnya menasihati Slamet agar menghilangkan kebiasaan berfoya-foya. Ketika datang ke rumah Lik Rohmat, ia dinasihati.

“Met, kamu sudah dewasa sekarang, kamu harus berpikir jernih. Hilangkanlah kebiasaanmu tombok nomer, modifikasi motor, dan makan-makan di warung. Tidak ada ceritanya orang kaya itu dari tombok nomer,” ucapan  Lek Rohmat dengan nada halus. Tetapi nasihat itu membuat Slamet naik pitam.

“Siapa sih, Lik, yang bilang aku suka togel dan makan-makan di warung? Orang-orang itu memfitnah saya, mereka tidak suka kalau aku senang, jika aku kaya dari hasil warisan bapakku!”

Sejak dinasihati Lik Rohmat. Slamet tidak mau lagi menginjakkan kakinya di rumah pamannya itu. Selang beberapa lama, Slamet datang kepada Lik Topik yang rumahnya berjarak beberapa meter dari rumah Lik Rohmat. Karena melihat Slamet datang ke rumah, akhirnya Lik Rohmat pun bertanya kepada Lik Topik,

“Ada apa Slamet datang ke rumahmu, Pik?”

“Biasa, dia main, ngobrol ngalor-ngidul sambil mampir tidur siang,” jawab Lik Topik.

“Apa Slamet marah kepadaku ya, kok tumben nggak mau datang ke rumahku.”

“Marah kenapa, Kang Roh?”

“Aku dengar dari Lamidi, kalau Slamet itu sekarang makin nakal. Ia nggak mau ke sawah, sukanya hanya main togel, modifikasi motor, dan makan-makan di warung.”

“Iya mungkin, Kang. Orang yang hanya ditakuti Slamet cuma Kang Agung.”

***

Semua sawah Slamet sudah berpindah tangan kepada orang lain. Kebiasaannya main togel, modifikasi motor, dan jajan di warung melahap semua kekayaan peninggalan ayahnya. Kini ia tinggal di sebuah rumah kecil milik Lik Topik yang terletak di sawah. Ia masih malas bekerja, kehidupannya hanya meminta belas kasihan dari para kerabatnya.

“Kemarin sudah kuberi beras 15 kg, masa dua hari sudah habis? Apa setiap hari kamu makan delapan kilo?”

“Saya jual Lik, aku juga butuh membayar listrik, membeli bensin, dan lainnya,” jawab Slamet kepada Lik Topik.

“Kamu kerja gitu lho Met, jangan menggantungkan diri kepada orang lain. Aku juga punya tanggungan untuk mencukupi Bu Lik dan keponakanmu.”

Slamet pergi dengan tangan hampa. Ia mengayunkan langkah menuju motornya Suzuki RC. Karena pikirannya gelap, Slamet menstarter motornya dengan emosi. Kemudian menarik gas dengan keras. Pikiran Slamet kalut. Jalan satu-satunya sepertinya ia harus menggadaikan motornya untuk makan.

“Oh, Mas Slamet. Ada perlu apa?”

“Gini Mas Lamidi, aku lagi butuh uang.”

“Kalau pinjam tidak ada Mas Met, soalnya banyak orang yang sudah menggadaikan motor dan belum ditebus sampai sekarang. Utang mas bulan kemarin belum dibayar, kan?”

“Iya, rencanaku mau saya bayar. Tapi gini mas, aku mau menggadaikan motor RC ini untuk biaya berangkat bekerja ke Surabaya. Apa bisa Mas membantu saya?” ucap Slamet bernada memelas.

“Bisa Mas, tapi murah karena motor dua tak sekarang sulit menjualnya. Surat-suratnya bagaimana?” Lamidi berdiri menuju motor RC milik Slamet. Matanya memelototi motor butut milik Slamet.

“BPKP ada tapi STNK dan pajak mati.”

Tangan Slamet menyodorkan surat-surat motor. Mata Lamidi memeriksa dengan tajam huruf demi huruf di surat itu. Ia tidak ingin kecolongan kesalahan. Jika salah, ia akan merugi.

“Kondisi motormu tak ada yang cacat dan istimewa. Aku hargai Rp 500 ribu, tapi dipotong utangmu bulan lalu. Bagaimana Mas?”

“Jangan segitu mas, Rp 500 ribu sudah dipotong hutang gitu lho. Lagian motor ini nggak pernah mogok.”

Lamidi mengembalikan surat-surat kepada Slamet. Gestur tubuhnya menunjukkan bahwa ia tidak menerima penawaran Slamet.

“Sulit mas menjual motor RC seharga lebih dari Rp 700 ribu. Coba tawarkan saja ke pegadaian yang lain.”

Kebuntuan pikiran memaksa Slamet menerima penawaran Lamidi. Uang itu dipakai untuk menyambung hidupnya dalam beberapa hari depan. Ia berjalan menemui Pakde, orang gila yang mangkal di emperan toko. Seolah ingin menumpahkan isi hatinya, ia kini meminta doa agar nasibnya kembali seperti dulu.

***

Kelaparan membuatnya gelap mata. Rencana buruk pun mengepung di otak Slamet. Ia melihat ada motor matik mewah yang terpakir di depan kompleks pertokoan Sonowangun. Tatapannya terfokus pada motor matik dengan kunci yang masih tergantung. Tak ada orang yang melintas di jalan. Malam yang menyamarkan keadaan membuat bisikan setan semakin logis berseliweran di telinganya. Ia mendekati motor matik mewah dengan rasa ragu. Tapi keraguan itu tak sehebat kelaparan dan kekelaman pikirannya. Ketika hendak mengarahkan tangan kanannya ke motor itu, teriakan menghancurkan kelamnya malam.

“Maling… maling… maling…!!!”

Seketika, semua orang yang berada di sekitar seperti lebah yang keluar dari sarang yang terjatuh. Slamet lari dengan instingnya.

“Itu dia lari ke arah gang!!!” teriak para warga yang memburu Slamet.

“Maling… maling…!!!”

Entah mau ke mana lagi Slamet akan menyelamatkan jiwanya. Saat napasnya hampir habis, terlihat Pakde yang melambaikan tangan. Ia menuju arah Pakde. Napas Slamet serasa berhenti, kelaparan diperutnya bertambah hebat. Sementara, warga yang memburu Slamet terus mengejar puluhan langkah di belakangnya. Saat sampai di hadapan Pakde, Slamet memohon dengan ucapan penuh napas.

“Doakan aku…… agar mene…..mukan jalan….. keselamatan.”

Pakde tidak mengiyakan, tetapi menunjuk ke sebuah musala yang terletak di belakang kompleks pertokoan. Tak bisa berpikir lagi, akhirnya Slamet melarikan kakinya ke musala itu. Dilihatnya kumpulan karpet yang terletak di sudut bilik yang dihapit bangku-bangku TPA. Dikuburlah tubuhnya dengan karpet-karpet di sudut musala.

“Ya Allah, aku berdosa, ampunillah hamba. Bimbinglah ke jalan yang Engkau ridloi.”

Para pemburu Slamet menyapu musala untuk mencarinya. Tapi mereka dibutakan matanya oleh doa Pakde.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan