Diskursus Turunnya Al-Quran dalam 7 Huruf

3,528 kali dibaca

Ulumul Quran atau studi Al-Quran mengajarkan kita banyak pemahaman dan aplikasi dari pemahaman tersebut. Al-Quran perlu digali, dicari hikmah dan rahasia manfaatnya, agar semakin jelas bahwa kitab ini benar-benar wahyu dari Allah. Bukan sebuah karya atau karangan Muhammad yang notabenenya adalah ummy (tidak bisa membaca dan menulis). Jika Al-Quran sebagai karya Muhammad, sudah tertolak karena Nabi itu sendiri dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis.

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Quran), sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu).” (QS. Al-Ankabut: 48).

Advertisements

Ayat tersebut sebagai negasi (penyangkalan; penegas) dari Al-Quran bahwa Nabi Muhammad tidak pernah menulis dan membaca sebelumnya. Maka, Al-Quran yang diturunkan kepadanya benar-benar Kalamullah, diturunkan dari sisi Allah.

Salah satu pemahaman yang perlu kita diskusikan (diskurus) adalah bahwa Al-Quran diturunkan dalam 7 huruf. Sebuah topik bahasan yang perlu kita pahami apa yang dimaksud dengan 7 huruf. Tentu, akan terjadi interpretasi yang beragam dengan realitas ini. Keragaman ini akan melahirkan khazanah pengetahuan dan sebagai batu ujian atas segala hal yang melahirkan banyak pendapat.

Al-Quran diturunkan dengan 7 huruf, merupakan sebuah telaah tekstual sekaligus kontekstual akan eksistensi kitab Ilahi ini. Sebab, ada beberapa diskusi yang perlu dicarikan metode kesamaan untuk menentukan hakikat 7 huruf ini. Oleh karena itu, mendiskusikan topik ini akan melahirkan khazanah keilmuan yang akan dijadikan dasar untuk mengambil sebuah kesimpulan. Tentu saja kesimpulan akhir yang akan kita dapatkan tidak akan menyamaratakan pemahaman karena masing-masing individu punya alasan untuk menentukan pilihannya.

Turunnya Al-Quran dalam 7 huruf melahirkan banyak penafsiran. Ragam tafsir ini harus disikapi dengan karakter intelektual. Semacam jiwa akademisi yang akan menyadari bahwa perbedaan adalah sesuatu yang normal. Dalam sebuah permasalahan terdapat perbedaan adalah hal yang biasa. Yang tidak seharusnya adalah bilamana perbedaan dijadikan alasan untuk saling menghina dan bahkan terjadi gesekan fisik yang tidak kita inginkan. Hal ini harus kita hindari, sebab sudah menjadi kodrat, takdir Allah bahwa kita dilahirkan dengan perbedaan dan keragaman.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan