Diskursus Turunnya Al-Quran dalam 7 Huruf

3,561 kali dibaca

Ulumul Quran atau studi Al-Quran mengajarkan kita banyak pemahaman dan aplikasi dari pemahaman tersebut. Al-Quran perlu digali, dicari hikmah dan rahasia manfaatnya, agar semakin jelas bahwa kitab ini benar-benar wahyu dari Allah. Bukan sebuah karya atau karangan Muhammad yang notabenenya adalah ummy (tidak bisa membaca dan menulis). Jika Al-Quran sebagai karya Muhammad, sudah tertolak karena Nabi itu sendiri dalam keadaan tidak bisa membaca dan menulis.

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Quran), sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu).” (QS. Al-Ankabut: 48).

Advertisements

Ayat tersebut sebagai negasi (penyangkalan; penegas) dari Al-Quran bahwa Nabi Muhammad tidak pernah menulis dan membaca sebelumnya. Maka, Al-Quran yang diturunkan kepadanya benar-benar Kalamullah, diturunkan dari sisi Allah.

Salah satu pemahaman yang perlu kita diskusikan (diskurus) adalah bahwa Al-Quran diturunkan dalam 7 huruf. Sebuah topik bahasan yang perlu kita pahami apa yang dimaksud dengan 7 huruf. Tentu, akan terjadi interpretasi yang beragam dengan realitas ini. Keragaman ini akan melahirkan khazanah pengetahuan dan sebagai batu ujian atas segala hal yang melahirkan banyak pendapat.

Al-Quran diturunkan dengan 7 huruf, merupakan sebuah telaah tekstual sekaligus kontekstual akan eksistensi kitab Ilahi ini. Sebab, ada beberapa diskusi yang perlu dicarikan metode kesamaan untuk menentukan hakikat 7 huruf ini. Oleh karena itu, mendiskusikan topik ini akan melahirkan khazanah keilmuan yang akan dijadikan dasar untuk mengambil sebuah kesimpulan. Tentu saja kesimpulan akhir yang akan kita dapatkan tidak akan menyamaratakan pemahaman karena masing-masing individu punya alasan untuk menentukan pilihannya.

Turunnya Al-Quran dalam 7 huruf melahirkan banyak penafsiran. Ragam tafsir ini harus disikapi dengan karakter intelektual. Semacam jiwa akademisi yang akan menyadari bahwa perbedaan adalah sesuatu yang normal. Dalam sebuah permasalahan terdapat perbedaan adalah hal yang biasa. Yang tidak seharusnya adalah bilamana perbedaan dijadikan alasan untuk saling menghina dan bahkan terjadi gesekan fisik yang tidak kita inginkan. Hal ini harus kita hindari, sebab sudah menjadi kodrat, takdir Allah bahwa kita dilahirkan dengan perbedaan dan keragaman.

Perihal 7 huruf yang dibawa oleh Al-Quran membawa manfaat yang perlu kita pahami. Sebab, setiap materi yang lahir dari eksistensi Al-Quran akan memberikan kebaikan. Mengangkat nilai kebaikan ke dalam kehidupan kita merupakan sebuah keniscayaan. Keharusan untuk membangun nuansa keilmuan demi kemaslahatan orang banyak. Mencari pemahaman yang lebih komprehensif terhadap “tujuh huruf” akan melahirkan nilai-nilai kebersamaan. Saling menghargai atas perbedaan, dan saling menghormati atas keragaman.

Membahas 7 huruf yang lahir dari sebuah hadis sahih akan memberikan pengalaman yang membanggakan. Sebab, dari diskusi tersebut akan mendapatkan banyak pemahaman terhadap topik ini. Sehingga, pada akhirnya kita tidak perlu lagi mendaku-aku sebagai yang paling benar. Sebab kebenaran mutlak hanya milik Allah. Sedangkan, kita mencari kebenaran hakiki yang pada puncaknya bisa benar dan bisa salah. Tetapi perlu dipahami, bahwa kebenaran itu tidak nisbi. Kebenaran itu mutlak atas dasar logika yang dapat dipertanggungjawabkan.

Membahas kodifikasi sab’atu ahruf —sebagai bagian dari dimensi prerogatif Tuhan dalam menurunkan Al-Quran— bukan perkara mudah. Tidak banyak referensi yang mengangkat topik ini untuk dijadikan rujukan. Namun demikian bukan berarti tidak ada sama sekali, masih ada beberapa ulama dan intelektual yang berupaya mengungkap khazanah pemahaman di balik misteri kata ini. Sehingga, sekecil apapun bahasan yang ada, masih dapat kita jadikan rujukan penjelasan dan pembahasan dalam aspek ini.

Berikut ini adalah pembahasan terkait sab’atu ahruf dengan segala keterbatasan penulis. Dalam hal ini penulis berusaha mencari literatur yang memungkinkan untuk dijadikan sandaran dan dasar dalam mengetengahkan persoalan yang perlu pemahaman lebih. Oleh sebab itu, keterbatasan penulis akan menjadi alasan utama dalam ranah penjelasan yang kurang berkualitas.

Pengertian Sab’atu Ahruf

Secara literlek, frasa sab’atu ahruf memiliki arti tujuh (7) huruf. Berkenaan dengan frasa ini, Rasulullah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf. Penggalan kalimat ini menjadi diskusi intens dan perbedaan di kalangan ulama studi Quran. Hadis yang dimaksud adalah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, bahwa Jibril membacakan (Quran) kepada Beliau dengan satu huruf. Kemudian berulang kali Beliau mendesak dan meminta agar satu huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepada Beliau sampai dengan tujuh huruf.

Masih terkait dengan sab’atu ahruf, dari Umar bin Khattab, ia berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al‐Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba‐tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia salat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik selendangnya dan bertanya, ‘Siapakah yang membacakan (mengajarkan membaca) surah itu kepadamu?‘ ia menjawab: ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku.’ Lalu aku katakan kepadanya, ‘Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).’ Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa, ‘Aku telah mendengar orang ini membaca surah al‐Furqan dengan huruf‐huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al‐Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata, ‘Lepaskan dia wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam!’ Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah, ‘Begitulah surah itu diturunkan.’ Beliau berkata lagi, ‘Bacalah, wahai Umar!’ Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasululah kepadaku. Maka kata Rasullulah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ Dan katanya lagi, ‘Sesungguhnya Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.’”

Secara arti umum yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah adanya ragam dialek (lahjah, aksentuasi) dari pemakai bahasa (Arab) sehingga didapat pengucapan kata yang berbeda-beda. Selanjutnya, banyak interpretasi ulama terhadap maksud dan tujuan dari sab’atu ahruf  (7 huruf) ini.

Makna kata sab’atu ahruf, sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah 7 huruf atau 7 dialek (lahjah, aksentuasi). Tetapi, ada pula ulama studi Quran yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan frasa itu adalah sesuatu yang banyak. Kata tujuh tidak dimaksudkan sebagai batas hitung dari 1 sampai 7, tetapi sebuah kuantitas yang tidak sedikit bahkan tidak berbatas. Ulama lain berpendapat bahwa itu adalah yang dimaksud dengan qira’ah sab’ah. Dan masih banyak lagi interpretasi lainnya yang akan penulis jabarkan pada pembahasan berikutnya.

Ikhtilaf Ulama

Ulama studi Quran berbeda pandangan terkait tafsir sab’atu ahruf. Perbedaan ini didasarkan pada logisitas keilmuan masing-masing, didorong oleh prinsip dasar untuk mendapatkan keakuratan semantik, makna kata, atau tafsir. Berikut adalah beberapa pandangan yang dapat dijadikan sarana pemahaman agar lebih memiliki keluasan pengetahuan. Diharapkan, dengan mengetahui ragam perbandingan pendapat, agar kita semakin sadar bahwa ragam opini itu dapat terjadi dalam setiap aspek kehidupan dan dunia pemikiran.

Ibnu Hayyan menjelaskan bahwa perbedaan interpretasi makna tujuh huruf mencapai 35 macam perbedaan pendapat. Tetapi, di sini penulis hanya akan memberikan sebagian saja contoh dari perbedaan pendapat tersebut.

Pertama, tujuh huruf sebagai tujuh macam bahasa dalam satu makna. Di Arab terdapat banyak kabilah dengan dialek bahasa yang berbeda meskipun maknanya sama. Maka jika terdapat perbedaan bahasa dalam satu makna, Al-Quran diturunkan dengan ragam bahasa tersebut. Jika tidak memiliki perbedaan arti, Al-Quran hanya mendatangkan satu kalimat saja.

Terkait pendapat ini, Abu Hatim As-Sidjistani mengatakan bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Asad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d bin Bakar. Dari ketujuh kabilah ini yang paling banyak digunakan adalah suku Quraisy, karen suku atau kabilah ini menguasai perniagaan pada saat itu.

Pendapat ini dipandang sebagai pendapat yang paling kuat. Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab, dan yang lainnya. Dan Ibnu Abdil Barr menyandarkan pendapat ini kepada kebanyakan ulama.

Kedua, tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa yang ada di Arab. Di dalam Al-Quran bertebaran bahasa Arab (dari berbagai suku) yang dengannya Al-Quran diturunkan. Jadi, di dalam Al-Quran terdapat bahasa Quraisy, yang paling umum, sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Al-Quran mencakup ketujuh bahasa tersebut.

 

Pendapat ini mendapat kritikan bahwa jika hal itu terjadi, berarti tidak akan terjadi selisih pendapat antara Umar bin Khattab dengan Hisyam bin Hakim. Karena keduanya berasal dari Quraisy yang tentu saja memiliki pemahaman yang sama terhadap dialek bahasa. Kenyataannya mereka berselisih, karena Rasulullah saw memberikan contoh bacaan Alquran kepada keduanya dengan “huruf/dialek” yang berbeda.

Ketiga, dimaknai sebagai tujuh macam aspek dari ragam topik Al-Quran. Ketujuh macam aspek yang dimaksud adalah amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita) dan matsal ( perumpaman), Atau amr (perintah), nahyu (larangan), halal (baik), haram (jelek), muhkam (jelas hukumnya), mutasyabih (meragukan), dan amtsal (perumpamaan).

Pendapat ini mendapat sanggahan bahwa dalam hadis yang dimaksud adalah perbedaan bacaan dengan makna yang sama. Membaca Al-Quran dengan dialek yang berbeda tetapi maknanya sama dengan tujuan untuk memudahkan. Bukan perbedaan dalam hal halal atau haram, atau menghalalkan yang haram dan sebaliknya. Maka dengan demikian pendapat ini tidak kuat dan perlu dikritisi sebagai pendapat yang lemah.

Keempat, tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi perbedaan (ikhtilaf). Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan kata benda, perbedaan segi i’rob, perbedaan dalam tashrif, perbedaan dalam taqdim dan takhir, Perbedaan dalam segi ibdal (pergantian), perbedaan dengan adanya penambahan dan pengurangan, dan perbedaan lahjah dengan pembacaan tafkhim dan tarqiq.

Pendapat ini mendapat kritikan bahwa perbedaan dari segi i’rab, tashrif, tafkhim, dan tarqiq hanya dalam pengucapan saja. Tidak pada perbedaan pengucapan kata dengan satu makna. Maka, sesuai dengan makna hadis, pendapat ini tertolak. Sebab dalam perbedaan tersebut hanya terjadi pada pengucapan, tidak pada pelafalan.

Kelima, tujuh macam bacaan Alquran yang disebut Qiraah Sab’ah. Pendapat ini biasanya ditujukan kepada orang awam saja. Karena tidak ada satupun ulama yang memegangnya. Qiraah Sab’ah yang dihimpun oleh Ibnu Mujahid tidak punya dasar yang kuat untuk dijadikan pegangan sebagai interpretasi dari “tujuh huruf.”

Keenam, tujuh diartikan sebagai jumlah banyak dan sempurna. Pendapat ini mengungkapkan bahwa tujuh huruf adalah ungkapan kuantitas yang terbilang banyak. Jadi, kata tujuh bukan batas hitungan bilangan dari satu. Tetapi menunjukkan bahwa angka tersebut ditafsir sebagai jumlah yang banyak.

Sebagian ulama yang berpegang pada pendapat ini, misalnya, Sufyan ibn Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab, dan Mana’ Al-Qahthan. Mereka berpendapat bahwa tujuh dimaksudkan sebagai jumlah yang banyak. Namun pendapat ini mendapat sanggahan, bahwa kalau Al-Quran dibaca dengan cara tersendiri, maka ke-mukjizatan-nya akan hilang. Sebab Al-Quran terbentuk dari wahyu Ilahi yang sudah pakem sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah.

Itulah beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait tujuh huruf yang dimaksud dalam hadits. Tentu saja kita harus menghormati terhadap perbedaan tersebut, karena berbeda itu tidak harus saling menghina apalagi saling menjatuhkan. Kita dapat menelaah berbagai pendapat yang paling logis menurut pikiran kita sendiri. Kita tetap dalam kebersamaan, meski terjadi perbedaan interpretasi. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan