Dilema Konsep Politik Islam dalam Negara Modern (1)

840 kali dibaca

Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan pengetahuan yang sampai saat ini masih mendominasi dan mengatur eksistensi kehidupan umat manusia. Agama dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dan mengatur dunia.

Karena itulah, negara sekuler sekalipun, tidak bisa menafikan peran dan fungsi agama. Negara-negara Barat yang berlandaskan pada prinsip sekulerisme, yang sering diartikan bahwa negara harus dipisahkan dari pengaruh agama, dalam kenyataan historisnya tidaklah demikian.

Advertisements

Pada titik ini dapat dimengerti apa yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, “Its purpose was not to establish and enforce religion as a new state doctrine, but rather to preclude the state from any involvement in doctrine and to prevent the upholders of any doctrine from using the coercive powers of the state”.

Bahwa sekulerisme memang tidak ditujukan untuk memapankan dan menguatkan agama sebagai sebuah doktrin kenegaraan baru, melainkan lebih untuk membatasi campur tangan negara dalam mengurusi doktrin keagamaan, dan menjaga para pemimpin agama dari penyalahgunaan kekuasaan negara.

Dengan demikian, nyata bahwa kaitan agama dengan negara memang sesuatu yang universal dan tak terelakkan. Pada satu sisi, agama adalah sistem nilai untuk kebahagiaan umat manusia berdasarkan keimanan kepada Tuhan. Di sisi lain, negara atau sistem politik pada umumnya juga diciptakan untuk mengatur pencapaian kesejahteraan rakyatnya. Di sinilah benang merah hubungan agama dan politik ditemukan.

Relasi Islam-Negara

Kenyataan ini menjadi sangat penting dalam masyarakat beragama, khususnya masyarakat muslim. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa Islam secara doktrin dan realitas kesejarahan merupakan agama dengan prinsip syumuliyah (paradigma holistik), yakni totalitas ajaran yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia.

Ajaran Islam tidak hanya menyangkut aspek transendental-ketuhanan saja (habl min Allah), melainkan juga mengurusi hal-hal yang menyangkut masalah kemasyarakatan dan tertib sosial (habl min al-nas). Dua sumber pokok umat Islam, kitab suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, selalu menyajikan tentang egalitarianisme, toleransi, supremasi hukum, hak dan kewajiban, al-amr bi al-ma’ruf dan nahy an al-munkar, juga yang lainnya.

Hassan Hanafi dengan sangat tepat mengilustrasikan Islam sebagai sebuah kesatuan yang utuh: “The unification of Law and Love, State and Religion, Kingdom of Earth and Kingdom of Heavens”.

Ditinjau dari segi makna holistik ini, tak terbantahkan lagi, Islam dari sejak zaman klasik pun selalu dikaitkan dengan politik dan ketatanegaraan. Tradisi politik pertama Nabi yang menyangkut prinsip-prinsip politik Islam yang sering dirujuk adalah al-Sahifah al-Madinah (Piagam Madinah), suatu piagam yang dibuat oleh Nabi untuk mengatur kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk terdiri dari beberapa suku bangsa (Aus, Khazraj, dsb) dan agama (Yahudi, Islam, dan sisa-sisa pemuja berhala).

Tentang bagaimana bentuk hubungan Islam dengan negara (sistem politik), maka para ahli hukum Islam pun dari sejak zaman klasik telah berusaha berijtihad merumuskannya. Inti dari filsafat politik Islam, yang selama ini terumuskan adalah konsep negara serta fungsinya untuk menjaga agama (baca: syari’ah).

Konsep Politik Islam Klasik

Patut digarisbawahi bahwa adanya ketegangan (sekaligus perpecahan) umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW bermula dari masalah politis, yaitu faktor siapa yang akan menjadi pengganti dan penerus Nabi Muhammad SAW sebagai pemegang otoritas dan kekuasaan atas umat Islam, dan faktor siapa pula yang berwenang menetapkan pemimpin pengganti Nabi tersebut. Muncullah berbagai kelompok politik dalam tubuh umat Islam dengan penafsiran dan sekaligus justifikasinya masing-masing.

Pada masa al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, suatu periode kekhilafahan yang biasa dijadikan rujukan masa keemasan saja, umat Islam setidak-tidaknya telah terbagi ke dalam tiga kelompok politik; Syiah, Khawarij, dan Sunni. Terutama Syiah dan Sunni, keduanya mempunyai signifikansi politik tertentu di dunia Islam, bahkan sampai era kontemporer.

Doktrin politik yang berkembang di dunia Sunni adalah Khilafah. Ini berbeda dengan di dunia Syiah yang mengenal konsep Imamah. Imam al-Mawardi (975-1059 M) merupakan teoretikus yang terkenal melalui tulisannya al-Ahkam al-Sultaniyyah (hukum tata negara) yang secara eksplisit menjelaskan tentang konsep Khilafah. Ia menegaskan bahwa mengangkat pemimpin politik bagi umat dengan peran sebagai khilafah al-nubuwwah fi khirasah al-din wa siyasah al-dunya (penggantian misi Nabi untuk menjaga agama dan mengatur masalah keduniaan) merupakan sebuah kewajiban.

Dalam bahasa politik yang berbeda, Ibnu Taymiyah (1263-1329 M) melihat hubungan agama (Islam) dengan politik ini secara fungsional. Keberadaan kepemimpinan politik dalam Islam semata-mata sebagai amanah an yahkum bi al-adl (amanah untuk menegakkan hukum dengan adil).

Ibnu Taymiyah menyebutkan tentang kewajiban adanya kepemimpinan politik ini disebabkan karena la qiyama li al-din ill biha (tidak akan tegak agama tanpa keberadaan negara). Untuk mengatur kemaslahatan dunia, maka mau tak mau sebuah negara diperlukan.

Untuk memilih pemimpin politik ini, menurut al-Mawardi, perlu adanya Ahlu al-Ikhtiyar. Yakni, semacam lembaga perwakilan yang bertugas untuk menyeleksi calon-calon pemimpin itu (Ahl Imamah) bagi umat. Dengan demikian, dalam paradigma politik Sunni sangat ditekankan proses musyawarah (syura) yang diharapkan bisa melahirkan suatu kesepakatan politik (ijma’). Dalam tradisi politik Sunni, lembaga syura ini lebih dikenal dengan nama Ahl al-Hall wa al-Aqd.

Tidak cukup dengan adanya ijma’ dalam proses syura, yakni kesepakatan-kesepakatan politik antara para wakil rakyat, tradisi politik Sunni juga menekankan kemestian adanya pengakuan dari umat Islam (rakyat) itu sendiri terhadap kepemimpinan seorang khalifah atau kepala negara. Pengakuan politis ini disebut al-bay’at’. Apabila seorang khalifah telah ditetapkan, maka ia pun mesti mem-bay’at umat. Kesediaan umat untuk di-bay’at oleh khalifah menunjukkan bentuk persetujuan politiknya untuk taat dan diperintah oleh yang bersangkutan.

Imamah Syiah

Di kalangan Syiah pun rumusan teori politik Islam tentang ketatanegaraan juga berlangsung. Kaum Muslim Syiah merumuskan teori Imamah, yang menunjukkan Islam sebagai din wa dawlah (agama sekaligus negara).

Kemestian bagi seorang imam adalah mendapat predikat (sampai pada tingkat ismah), yakni kesucian dari dosa. Dalam istilah yang lebih terkenal adalah ma’sum, terjaga dari dosa, suatu kategori yang dipercayai hanya bisa dimiliki oleh para keturunan Nabi (ahl bayt dari garis keturunan Ali). Justru konsep ismah inilah sumber legitimasi untuk menjadi imam, yang memimpin agama dan sekaligus negara.

Perumusan sistem politik Islam ini (baik Sunni maupun Syiah) terus dilakukan sampai kurun zaman modern. Walaupun demikian, segera tampak bahwa rumusan-rumusan yang telah ada belumlah memadai. Ini terlihat dengan adanya keterkejutan umat Islam menghadapi pengaruh konsep-konsep politik Barat yang sama sekali baru dan asing. Terjadi perdebatan di antara kalangan pemikir dan penguasa umat Islam untuk menyikapi konsep-konsep politik Barat semacam nation state, nasionalisme, souverenighty, republik, demokrasi, sosialisme, kapitalisme, dan sebagainya.

Pengaruh Barat

Berawal dari proses kolonialisasi dunia Islam oleh negara-negara Barat, pengaruh pemikiran Barat ini mau tak mau masuk dalam kehidupan politik umat Islam. Ilustrasi cantik tentang kenyataan itu disampaikan oleh Basam Tibi, “for the term Islamic Republic in either Sunni or shi’ite Muslim sources is a new invention documenting European influences on Islam” (istilah Republik Islam dalam literatur Sunni atau Syiah adalah sebuah inovasi baru bentuk pengaruh-pengaruh Eropa terhadap Islam).

Sebab, kata Tibi, konsep republik berasal dari Barat, bukan konsep Islam. Sebelum muncul pengaruh Barat, kaum Sunni hanya mengetahui sistem kekhalifahan, sementara kaum Syiah hanya mengetahui sistem Imamah. Masuknya konsep-konsep politik Barat melahirkan dilema bagi Muslim. Ketegangan itu tampak dari perdebatan yang hingga kini belum selesai.

Beberapa tema yang diperdebatkan adalah Nation States vs Khilafah dan Demokrasi vs Syari’ah. Pertama, Nation States vs Khilafah. Fenomena politik di atas juga memperlihatkan adanya pengaruh konsep nation-states (negara bangsa).

Sejak masa awal perkembangan Islam sampai setidak-tidaknya kurun pramodern, masyarakat muslim mengenal hanya dua konsep teritorial politik religius, yaitu, konsep dar al-Islam sebagai wilayah damai kaum muslim, dan dar al-Ḥarb sebagai wilayah perang non muslim. Karenanya, keberadaan konsep nation-states jelas menciptakan ketegangan historis dan konseptual bagi masyarakat Muslim ketika mereka memasuki zaman modern awal. Sebabnya, konsep Barat tersebut mengancam pertumbuhan dan keutuhan dunia Islam.

Meski konsep nation-states pada batas tertentu bukan tidak pernah dikenal oleh sementara kalangan muslim, tetapi konsep ini tidak pernah menjadi dasar pokok politik Islam. Menurut Khan, bahasa Arab tidak mempunyai padanan yang pasti untuk kosa-kata bangsa. Kata-kata ummah, su’b, dan qawm digunakan secara beragam, tetapi tak satu pun dari ketiganya yang secara penuh mengungkapkan gagasan tentang bangsa. Apalagi istilah ummah ini lebih mengacu kepada kelompok masyarakat sosio-religius, bukan pada suatu kelompok masyarakat politik.

Sementara pada pihak lain, konsep nation-states didasarkan pada kriteria-kriteria etnisitas, bahasa, budaya dan wilayah geografis. Konsekuensinya, politik yang tercakup dalam nation-states bersatu dengan mengabaikan garis-garis religius.

Pada tingkat institusional, konsep nation-states juga berbenturan dengan konsep kekhalifahan. Pada intinya, kekhalifahan adalah suatu institusi politik yang menegaskan bahwa semua wilayah dar al-Islam merupakan religiously based super-states. Yakni, negara yang terbentuk bukan atas dasar etnisitas, budaya dan wilayah geografis, melainkan atas dasar keimanan. Jelas, adanya pemikiran baru mengenai nation-states dirasakan oleh kalangan elit politik muslim sebagai suatu rongrongan terhadap institusi kekhalifahan.

Realitas sejarah pun membuktikan bahwa pada akhirnya sistem politik atau institusi kekhalifahan yang ada pada waktu itu kekhalifahan Utsmani (Ottoman) yang berpusat di Turki kemudian runtuh pada 1924. Fenomena dicopotnya kedudukan Sultan Abdul Majid sebagai Khalifah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924 oleh Dewan Nasional atas dorongan Mustafa Kemal Pasya itu sekaligus mengakhiri era (sistem) kekhalifahan Islam yang menggoncangkan dunia Islam. Demikian kata Soekarno yang sedikit banyak merasakan jiwa zaman (zeitgeist) saat itu, sekaligus menjadi pengagum pendukung Kemalisten Indonesia.

Kedua, Demokrasi vs Syari’ah. Apabila ide nation-state meresahkan lebih karena perbenturan institusional yakni bentuk negara maka terdapat masalah yang lebih mendalam dari itu yang lebih meresahkan umat Islam, terutama kaum ulama-intelektual. Yakni kemunculan terminologi demokrasi sebagai sebuah konsep Barat tentang kedaulatan.

Demokrasi sesungguhnya bermaksud positif, yakni untuk lebih meningkatkan partisipasi politik rakyat. Namun, persoalannya menjadi lain ketika demokrasi dihadapkan vis a vis agama. Sebabnya, menurut Hamid Enayat, If Islam comes into conflict with certain postulates of democracy, it is because of its general character as a religion.

Dalam agama (termasuk Islam), terdapat hal-hal sakral yang tidak bisa dipertanyakan dan mutlak diyakini kebenarannya (taken for granted), karena berasal dari Tuhan. Syari’ah, misalnya dalam Islam, banyak mengandung nilai-nilai sakral. Ini tentu berbeda dengan demokrasi. Apapun, termasuk hal yang sakral sekalipun, bisa diperdebatkan atas nama kepentingan rakyat, karena rakyat lah yang berdaulat. Tak pelak, timbul pertentangan diametral seolah-olah tidak terdamaikan antara kedaulatan Tuhan versus kedaulatan rakyat.

Ketika negara-negara Muslim mengadopsi model demokrasi Barat, agar menjadi dan dianggap sebagai negara bangsa modern, maka dengan sendirinya terjadi liberalisasi syariat. Contoh paling ektrem adalah Turki. Semula Dinasti Utsmani sangat berhati-hati dalam memperbaharui syariat. Sampai tahun 1840-an, supremasi syariat tidak pernah diungkit-ungkit. Namun, pada akhir abad ke-19, hukum pidana dan perdagangan model Barat mulai diperkenalkan, di mana fungsi syariat hanya menyentuh masalah hukum kekeluargaan (misalnya, perkawinan). Dengan kebangkitan Kemal Atarturk, pada 1926, supremasi syariat sama sekali dihapuskan dan diganti dengan hukum Swiss. Transisi menuju demokrasi pun, pelan tapi pasti, berjalan di Turki.

Permasalahan inilah yang terutama menghinggapi umat Islam di masa modern. Berhadapan vis a vis dengan Barat, respons umat Islam mengenai sistem politik Barat modern pun menjadi beragam. Muncul kelompok sekuler yang mengadopsi konsep dan teori-teori politik Barat secara mentah-mentah. Dengan diwakili tokoh-tokoh seperti Ali Abd Raziq atau Thaha Husein, politikus Kemal Ataturk yang menegaskan bahwa Nabi sesungguhnya tidak mensyariatkan untuk pembentukan tata pemerintahan Islam secara formalistik.

Di sisi lain yang mencoba mempertahankan tradisi politik Islam juga tidak tinggal diam. Muhammad Rasyid Ridha, misalnya, berusaha mempertahankan eksistensi kekhalifahan di Turki yang sudah terlihat jelas berada di ambang kehancuran, dengan kampanye tulisannya di majalah al-Manar yang kemudian dibukukan, berjudul al-Khilafah, pada tahun 1922. Rasyid Ridha dalam al-Khilafah itu sendiri, sudah mulai mencari alternatif dari kekhalifahan Islam, dengan berulangkali ia menyebutkan konsep dawlah Islamiyah atau al-Ḥukumat Islamiyah. Dengan demikian, introduksi konsep negara Islam sebagai padanan khilafah bisa dirujuk ke Rasyid Ridha.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan