Dialog

3,552 kali dibaca

“Aku sesungguhnya sudah tidak berselera mengucapkan keluhan-keluhan sebab hal-hal yang sudah Tuhan takdirkan untukku. Keluhan membuatku semakin payah, bahkan tidak menggembirakan sama sekali.”

Rembulan di langit yang terlihat hampir sabit seperti lamat-lamat menatap kami yang sedang bercengkrama di atap rumah. Selama tiga minggu ini aku sangat sering melukisnya, bahkan senang memotretnya usai tarawih dan memandanginya hingga menjelang tengah malam saat orang-orang baru turun dari masjid atau langgar untuk tadarus. Di tempatku, tadarus al-Quran pada bulan Ramadan akan berakhir sekitar jam setengah dua belas malam, menjelang dini hari.

Advertisements

Aku baru saja meletakkan mushaf di atas meja lipat di sebelahku. Pakaian salat masih lengkap kukenakan dengan sajadah yang sengaja kugelar kembali di atap rumah sekembali dari tarawih di masjid satu jam yang lalu. Beberapa hari ini aku sangat senang menyendiri di atap, entah untuk mendaras al-Quran atau kemudian mencoret-coret buku harian.

Aku kedatangan tamu malam ini. Rupanya ia sudah menunggu sejak tadi, tetapi ia memilih membiarkanku menyelesaikan bacaan al-Quranku terlebih dahulu. Aku memanggilnya dan memintanya duduk tepat di sampingku.
Kita baru saja bertemu dua puluh lima hari yang lalu, tapi rasanya sangat akrab sekali seperti sudah bertemu puluhan tahun lamanya.

Saat kutanya mengapa ia begitu baik padaku, ia selalu tersenyum dan menjawab dengan ketulusan di wajahnya. Katanya, kita memang sudah sangat akrab. Sebab setiap tahun ia selalu mengunjungiku, bahkan sejak usiaku masih duduk di bangku taman kanak kanak, tapi saat itu aku belum menyadari kehadirannya. Dia tidak pernah berubah sama sekali, tetapi perubahankulah yang seringkali menyebabkan kehadirannya menjadi kembali asing.

Aku dan dia pernah begitu akrab di tahun emasku –begitu dia menyebutnya, sangat dekat tak terpisahkan bak pinang dibelah dua. Ia bercerita penuh antusias dan binar di matanya. Aku hanya tersenyum mendengarkan dengan seksama. Tapi kemudian ekspresinya mendadak berubah, ada raut kecewa ketika bercerita tentangku beberapa tahun ke belakang. Hati hati betul aku bertanya dan berusaha memilah kata meskipun pada akhirnya yang keluar hanya pertanyaan standar “kenapa?”

Ia menatapku sungguh-sungguh dan mulai bercerita.

“Kamu tahu? Beberapa tahun belakangan kamu banyak berubah, entah kenapa banyak sekali yang kurang darimu, aku jujur saja. Belasan tahun lalu aku melihatmu sangat penuh cahaya ketika aku datang, saat itu kamu masih menetap di sebuah pesantren. Aku selalu mengamatimu dari jauh, kamu sangat sering memandangi rembulan malam sejak awal kedatanganku, berbinar menunggu hilal, kamu sangat kentara merinduiku.”

Aku hanya diam mendengarkan ungkapan hatinya. Aku tak ingin menyangkal hal-hal yang disebutnya “kesalahan” selama beberapa tahun belakangan, tepatnya sejak aku sudah tidak lagi tinggal di pesantren. Kami saling menatap ke depan, tapi telingaku jelas masih fokus menyimaknya.

Ia kembali menyambung ucapannya. “Ada banyak orang di dunia ini, ketika aku pergi mereka berubah, bahkan bisa jadi lebih buruk dari sebelumnya. Kepadamu, aku tak mau membicarakan yang lebih baik sebab aku ingin menegurmu. Aku sering hanya dijadikannya momentum untuk mengaduh pada Tuhan dan orang hanya berlomba ketika aku datang saja. Sepeninggalanku, mereka kembali sama.”

“Bukankah itu berarti kedatanganmu adalah istimewa?” tanyaku.

“Ya, kalian boleh menyebutnya begitu, tapi sesungguhnya aku amat menyenangi orang-orang yang tetap setia meskipun aku sudah beranjak pergi.” Aku menegakkan posisi dudukku, bersiap mendengarkan apa saja darinya. Sepertinya ini adalah hal serius dan aku merasa termasuk dalam bagian yang ia ceritakan. Aku sedang ditegur, bukan?

“Sepanjang perjalanan menuju kemari, aku selalu bertanya kepada teman-teman sebelumku yang sudah menemuimu. Bagaimana selama aku tak ada, bagaimana kamu hendak menyambutku dengan melewati mereka, Rajab dan Sya’ban. Bahkan usai kepergianku tahun lalu, saat yang berat bagimu karena kehilangan Abahmu, aku selalu menanyakanmu pada teman seperjalananku. Apakah kamu masih setabah dulu, saat ibumu juga pergi meninggalkanmu? Apakah kamu masih sesabar dulu saat ujian terberat sedang menimpamu? Ataukah kamu berubah menjadi semakin tidak peduli karena ujian ini kau anggap tak adil bagimu.”

Aku mafhum sekarang. “Aku benar benar tidak konsisten, bukan? Kamu pasti sudah mendengar banyak dari Syawal hingga Sya’ban. Aku orang yang kamu ceritakan, orang yang berubah setiap kali engkau beranjak pergi. Maafkan aku.” Aku merunduk malu, mengingat banyak sekali hal mubadzir yang mungkin kulakukan selama dia meninggalkanku.

“Malam ini aku melihatmu dengan secerca cahaya baru, itulah kenapa aku datang bertamu.” Mendengar penjelasannya aku sedikit terkejut, karena selama ini aku diam saja, tidak bercerita apa pun atau pada siapa pun.

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Ada yang memberitahuku, aku tidak bisa memberitahumu siapa.”

“Aku sesungguhnya sudah tidak berselera mengucapkan keluhan-keluhan sebab hal-hal yang sudah Tuhan takdirkan untukku. Keluhan membuatku semakin paya, bahkan tidak menggembirakan sama sekali,” aku mengawali cerita dengan tawa yang tertahan. Ia setia menyimak, tidak menyela sama sekali.

“Kau tahu? Bulan-bulan tanpamu adalah kerinduan yang kosong. Seperti sepanjang tahun menanti kekasih tanpa kepastian,” kali ini aku mencandainya dan disambut tawa riang hingga bahu kami terguncang.

“Aku bersyukur kamu datang dan tahun ini aku masih bisa menemuimu kembali. Aku ingin menjadi seperti harapanmu, tetap setia meski engkau beranjak pergi. Tapi, apa aku bisa?” aku menoleh padanya bertanya-tanya.

“Bukankah pertemuan ini membuat keyakinanmu semakin kuat? Kalau tidak seharusnya aku pergi saja sejak tadi.” Dia berbalik mencandaiku kali ini. Kulihat rembulan di atap rumah semakin terang pantulan cahayanya, seperti ikut bergembira mendengar candaan berbalas dari kami berdua.

“Setia tidak butuh resep,” kali ini aku sungguh terkejut. Dia seperti membaca pikiranku yang hendak bertanya bagaimana cara agar aku bisa setia padanya. Dia berbalik menatapku dengan pandangan senang karena bisa membaca pikiranku.

“Kalau kau merindukanku, jagalah hal-hal baik yang kamu lakukan seperti ketika aku ada meskipun nanti aku sudah pergi, itu sudah cukup menunjukkan kesetiaanmu. Nanti ketika aku datang kembali padamu, aku akan lebih baik lagi dalam membersamaimu.”

Aku mengangguk mengerti dan mencoba untuk tidak mengambil kesimpulan apa pun dari pembicaraan ini. Sebab dalam hidup, seringkali hal-hal manis datang di akhir untuk penghiburan bagi yang akan ditinggalkan. Aku sudah seringkali mengalaminya. Seperti sebelum ibu dan abah meninggalkan kami anak-anaknya, beliau berdua memberikan banyak kenangan manis sebelum akhirnya menuju jembatan pertemuan menemui kekasihnya, kematian.

“Sebenarnya aku kecewa, kenapa aku baru benar-benar bisa bertemu denganmu tepat beberapa hari sebelum kamu akan beranjak pergi. Aku sungguh payah, bukan?” aku mengutuk diri sendiri, kesal bercampur kesedihan jadi satu.

“Jaga secerca cahaya itu kalau kamu ingin kutemui kembali nanti. Jangan bersedih, habiskan sisa malam-malammu dengan lebih sedikit tidur atau kamu akan benar-benar menyesalinya ketika nanti kutinggalkan jua.”

“Besok kamu masih kembali menemuiku kan?”

“Kalau besok di sisa malam-malammu seperti ini, aku pasti kembali. Asal kamu tahu, aku benar benar pemilih. Hanya orang tertentu dari sekian puluhan juta jiwa di bumi ini yang kuajak berdialog seperti ini, dan kamu beruntung.”
Ia mulai beranjak dari posisinya. Memandangku bangga sembari menepuk kedua pundakku. Apakah perpisahan rasanya sesedih ini? Aku sudah banyak sekali mengalaminya, tapi memilih melupakan rasanya.

Ia sekali lagi tersenyum padaku untuk meyakinkan bahwa masih ada beberapa hari lagi. Jadi aku tidak perlu khawatir sama sekali. Terakhir, ia kembali berpamitan padaku kemudian beranjak menghilang di kegelapan malam. Aku merasakan embusan angin yang lembut menerpa wajahku. Sebentar lagi dia akan pergi, sebab kulihat Syawal sedang melambaikan tangannya dengan senyum penuh kebahagiakan dari arah yang berbeda. Jelas ia akan segera menghampiri kami.

Gresik, 17 Mei 2020

Multi-Page

4 Replies to “Dialog”

Tinggalkan Balasan