Di Suatu Sore Seusai Hujan

4,527 kali dibaca

Padahal sore tengah indah seindah indahnya; udara sejuk sesejuk sejuknya, karena hujan yang turun siang tadi telah berhenti, menyisakan kerling basah dedaunan di pekarangan depan rumah sampean tersapu pendar cahaya matahari. Akan tetapi, semua ini tidak menjadikan kemurungan di wajah sampean terkurangi. Benak sampean sedang mumet memikirkan persoalan yang tak kunjung teratasi. Entah mengapa, sekonyong-konyong sampean merindukan saat sampean belum seumur kini. Saat belasan tahun —saat di mana sampean rasanya bisa bahagia hanya dengan dolan tanpa tujuan ke sana ke mari. Atau dengan seorang teman mengobrolkan hal-hal yang sepertinya tidak penting sama sekali.

Tidak lama kemudian, pandangan sampean menangkap gerak seseorang keluar lewat pintu lalu mendekat ke tempat duduk sampean di risban pojok kanan teras rumah sampean. Yang cukup menjadikan sampean tercengang, itu adalah sosok yang sedang sampean rindukan. Sementara benak sampean bertanya-tanya bagaimana bisa seperti ini, sosok itu duduk tepat di sebelah sampean. Kemudian, tanpa sampean tanya, sekonyong-konyong ia mencurahkan apa yang sedang ia rasakan. Bahwa ia tengah gundah gulana, karena seseorang menjadikan cintanya bertepuk sebelah tangan; bahwa ia sekonyong-konyong merindukan saat ia masih bocah yang, menurutnya, hidup seakan tanpa beban. Rampung itu dengan penuh penghayatan ia menembangkan lagu sarat kesedihan.

Advertisements

Tidak lama kemudian, sampean dan sampean yang remaja itu sama-sama menoleh ke arah pintu yang sekonyong-konyong terbuka. Tidak sampean sangka, dengan gerak lincah tampaklah seorang bocah yang dirindukan oleh sampean yang remaja —berjalan menyangking mainannya. Sementara sampean lagi-lagi —dan tambah— terpana, sampean yang remaja menghentikan sampean yang belia itu dengan melempar tanya, “Mau pergi ke mana?” Sembari menghentikan langkah, sampean yang belia berpaling ke asal suara, lalu menyatakan bahwa ia akan bermain di pekarangan rumah —di bawah kerindangan pohon-pohon itu— sembari menunggu teman-temannya datang untuk kemudian bermain bersama.

Beberapa saat tadi, sembari menanti jawaban sampean yang belia, sampean yang remaja berjalan menghampirinya. Kini sampean yang remaja itu berada di hadapannya dan memintanya dengan menyatakan, “Sambil menunggu teman-temanmu datang, bagaimana kalau kita bermain bersama?” Tanpa menunggu lama sampean yang belia itu mengangguk setuju dengan wajah ceria. Kemudian ia duduk nglemprak di lantai teras bersiap menggelar mainannya. Sementara sampean yang remaja duduk mengikutinya.

Sembari membantu menata mainan itu sampean yang remaja sekonyong-konyong ngomong, “Senangnya yah menjadi seorang bocah…”

“Ada senangnya, ada susahnya…” sahut sampean yang belia tanpa berpaling dari mainannya.

“Oh ya, susahnya apa? Coba sebutkan…”

“Misal kalau ada teman yang merebut mainan saya, sementara saya tidak berani memintanya kembali…”

“Bukankah tinggal merengek pada ibu untuk memintakannya?”

“Ya, memang itulah yang sering saya lakukan, tapi apabila saya telah sebesar sampean, bukankah saya sanggup memintanya sendiri tanpa merepotkan orang tua?”

Sementara sampean yang remaja manggut-manggut —tampaknya sejenak melupakan kegundahannya, sampean yang belia menambahkan, “Kadang saya membayangkan, sepertinya malah lebih senang apabila kelak saya telah sebesar sampean…”

“Oh ya, kok bisa?”

“Ya karena apabila saya sebesar sampean, saya dapat mengurus diri sendiri, misalnya mandi, tidak lagi merepotkan ibu. Selain itu, saya bisa membantu meringankan pekerjaan ibu yang setiap hari cukup sibuk mulai dari memasak, membersihkan rumah, dan lain sebagainya atau membantu pekerjaan bapak yang mencari nafkah —demi mencukupi kebutuhan sekeluarga— dengan cara bertani di sawah…”

“Memang iya,” tanggap sampean yang remaja, “hal-hal seperti itu dapat saya lakukan dan rasanya senang dapat membantu orang tua. Tapi, tidak seperti sampean, apabila telah sebesar saya, bisa mengalami kesedihan karena cinta…”

“Wah, soal cinta…” sahut sampean yang belia sembari matanya melirik seekor capung yang menclok pada sebatang ranting yang terkapar di tanah depan rumah, “saya tidak tahu apa-apa. Saya masih bocah. Cobalah, sampean bercerita padanya…” telunjuknya mengarah pada sampean.

Sampean —yang sedari tadi, kendati awalnya heran, namun kemudian senang melihat sampean dalam beberapa fase usia itu bertemu-terlibat dalam suatu obrolan— rada kaget saat sekonyong-konyong ditunjuk oleh sampean yang belia. Namun demikian, sampean segera menyat, berjalan menghampiri mereka. Sayangnya, demikian benak sampean, sesampai sampean di hadapan mereka, sampean yang belia segera beranjak untuk kemudian tampak dengan hati-hati hendak menangkap capung yang loreng hijau motifnya. Padahal sampean ingin mengelus-elus kepalanya.

Kemudian, lagi-lagi tanpa sampean tanya, sampean yang remaja mencurahkan apa yang dipikir-rasakannya. Hanya, kali ini disertai permintaan saran pada sampean atas persoalannya. Kemudian, setelah hening untuk beberapa saat, sampean menanggapi dengan melempar tanya, “Berarti sampean tengah mencintai seseorang, sementara orang tersebut tidak mencintai sampean?”

“Ya,” jawabnya.

“Bagaimana rasanya?”

“Rasanya… rasanya, bagaimana ya…”

“Tidak usah sampean sebutkan, tidak mengapa, saya dapat mengerti karena saya pun pernah mengalaminya. Pertanyaannya sekarang, pernahkah sampean dicintai seseorang, sementara sampean tidak mencintai orang tersebut?”

“Pernah,”

“Bagaimana rasanya?”

“Rasanya… rasanya, bagaimana ya…”

“Tidak usah sampean sebutkan, tidak mengapa, saya dapat mengerti karena saya pun pernah mengalaminya…”

Setelah jeda sejenak sampean menambahkan, “Di situlah mungkin Gusti Allah Ta’ala sedang mengajari sampean lewat pengalaman untuk bersimpati—mengerti—baik terhadap perasaan sampean sendiri maupun perasaan orang lain dalam berhubungan dengan orang lain, khusunya dengan lawan jenis terkait hal cinta.”

Sementara sampean yang remaja tampak manggut-manggut, sampean menambahkan, “Di samping itu, selain cinta, masih banyak hal yang dapat membahagiakan di usia sampean. Seperti yang tadi sampean bilang: dapat membantu orang tua adalah hal yang membahagiakan. Atau lantaran ketulusan dan kesetiaan dalam pertemanan, seperti saat mengantar seorang teman dolan, saling mentraktir makanan, hingga bahkan saling meminjam apa yang dimiliki seperti pakaian. Bukankah hal itu membahagiakan sampean? Juga ketajaman menerima pelajaran di usia sampean, itu adalah hal yang membahagiakan. Karena mungkin belum banyak hal yang dipikirkan oleh sampean, setidaknya bila dibandingkan saat seumur saya. Karenanya manfaatkanlah sebaik-baiknya waktu sampean untuk belajar…”

Sampean berhenti memberi nasehat saat sampean yang belia menarik-narik tangan sampean yang remaja, kemudian memintanya menangkapkan capung untuknya.

Untuk beberapa saat seberkas kelegaan tampak berhasil menggusur kemurungan di wajah sampean. Kemudian, kendatipun melintas dalam benak keinginan untuk bergabung bersama mereka, hal ini sampean urungkan demi menyeduh kopi lebih dahulu untuk kemudian sampean nikmati sembari memandangi mereka asyik dalam permainan.

Sayangnya, sekembalinya sampean dari dalam rumah, sampean tidak lagi mendapati mereka di pekarangan. Sekarang yang tampak di mata sampean: pepohonan itu menyuguhkan sebidang keindahan alam seusai hujan. Subhanallah, demikian ucap sampean atas apa yang sedang sampean saksikan.

Alhamdulillah, puji sampean selanjutnya sebagai ungkapan terima kasih kepada Gusti Allah Ta’ala atas karunia yang diberikan pada sampean—yang jumlahnya, subhanallah, tidak ada yang sanggup menghitungnya kecuali Sang Pemberi, yakni Gusti Allah Ta’ala—di antaranya kemampuan dalam diri sampean mengaitkan peristiwa-peristiwa yang sampean alami di masa silam untuk mengatasi persoalan-persoalan yang sedang  sampean hadapi, juga kemampuan dalam diri sampean untuk membayangkan.

Sekarang, kendatipun sampean belum menemukan solusi atas persoalan sampean, sampean berpikir bahwa mungkin lewat persoalan demi persoalan dalam hidup sampean, Gusti Allah Ta’ala—Rabbul ‘alamin, Pemelihara, Pendidik seluruh alam—mengajari sampean untuk mengalami dahulu kesulitan atas persoalan yang sedang sampean hadapi untuk kemudian mengalami kemudahan setelah mengatasinya. Ibarat saat sampean mendapat pekerjaan yang baru—yang belum pernah sampean kerjakan—yang awalnya sepertinya sulit, namun, seiring memikirkan pekerjaan itu dan setahap demi setahap mengerjakannya, sampean dapat menyelesaikannya.

Akan tetapi, di lain sisi, pada beberapa kejadian, bahkan pada pekerjaan yang menurut sampean mudah—karena sering sampean kerjakan—sampean kadang mengalami kesulitan menyelesaikannya. Pada titik ini, sampean meyakini bahwa kemudahan menyelesaikan pekerjaan atau persoalan hidup hanya atas berkat rahmat Gusti Allah Ta’ala;

Sekarang, kendatipun sampean belum menemukan solusi atas persoalan sampean, ketimbang mumet memikirkannya, ada baiknya sampean menikmati keindahan yang hadir lewat pepohonan di pekarangan depan rumah sampean. Bukankah Gusti Allah Ta’ala menghadirkan itu untuk sampean nikmati—untuk sampean kagumi—sehingga terbit rasa syukur dalam hati sampean? Kemudian, siapa tahu dan mudah-mudahan seiring sampean mensyukurinya Gusti Allah Ta’ala—Zat yang Maha Pemurah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang senang dan memberi kemudahan atas persoalan sampean.

Doplangkarta, 10:32, 18 Mei 2022.

ilustrasi: IVAA

Multi-Page

Tinggalkan Balasan