Di Mata Ikan Tuhan Memandang

1,207 kali dibaca

Kang Birin buru-buru ngajak mancing. Memang habis hujan semalam, dan biasanya bikin sungai banyak ikan. Di arus deras yang kecoklatan, di sana mereka berenang-renang. Di halaman sudah menunggu, dengan pancing di tangan dan ember bekas cat yang berwarna putih biru. Menggunakan celana pendek, dan pakai topi.

“Sudah siap belum, Kang?”

Advertisements

“Sabar, Kang, ini saya siapkan dulu alatnya. Dan istri saya katanya sedang menata bekal makan siang. Ramesan seperti biasanya. Duduk dulu saja, Kang Birin.”

Dengan langkah tak sabar ia bergegas masuk ke depan rumah Kang Sahril. Duduk di dipan bambu sambil ongkang-ongkang kaki.

“Masih lama apa, Kang?”

“Sabar. Sebentar lagi kok. Ikannya juga nggak bakalan lari, Kang.”

“Iya, tahu, Kang. Tapi kan saya ini sudah tak sabar ingin mancing. Ketemu sungai dan ketemu ikan gede-gede.”

Suaranya tidak terlalu keras seperti pada awalnya. Kang Birin dengan wajah yang masih resah. Bertanya-tanya, ‘kenapa Sahril lama sekali. Memangnya masak apa sih istrinya?’ Dengan penasaran ia memasuki rumah.

“Assalamu ‘alaikum.”

“Wa’alaikum salam, Kang Birin.” Suara istri Kang Sahril lembut mengalun.

“Kang Sahril kok lama sekali, saya sudah tungguin sampai beberapa menit. Katanya lagi nyiapin pancing sama bekal buat makan siang. Di mana ya, Mbak?”

“Oh, barusan keluar ke warung beli telur sebentar.”

“Wah, ini jadinya lama kalau begitu.”

“Sabar, Kang. Orang cuaca juga masih panas begini. Mau berangkat mancing tapi tidak sarapan nanti semaput di jalan atau di pinggir kali gimana? Malah dibawa sungai dan dimakan ikan. Hehe.”

“Duduk dulu, Kang. Nanti saya bikinkan wedhang. Mau kopi atau teh, Kang?”

“Wah, jangan repot-repot lah, Mbak. Kopi saja.”

Sambil senyum-senyum sendiri duduk dan menunggu. Akhirnya Sahril datang memberikan telur pada istrinya. Dan aroma telur goreng menyeruak di udara. Perut kang birin tiba-tiba bunyi, dan terdengar oleh Sahril.

“Kita makan dulu saja, Kang. Baru berangkat mancing.”

“Lah, katanya mau bawa bekal?”

“Ya, tetep bawa. Tapi kita makan dulu. Kayaknya Kang Birin lapar juga. Nemenin saya-lah.”

Wajahnya senang karena ditawari makan oleh Sahril. Sebenarnya memang Sahril dan istrinya selalu menjamu tamu begitu. Dengan makan bersama. Lauk seadanya. Kopi pasti asal tamunya suka kopi.

Sambil nyeruput kopinya Kang Birin terpikir dengan spot mancing yang minggu lalu membuatnya mendapat ikan lele segede paha. Dan dapat juga ikan bawal, banyak sekali. Rencana mengajak Sahril memang tepat, karena sekalian dia pamer bahwa tempat yang ia temukan memang benar-benar ampuh buat kail pancing mendarat.
Setelah makan dengan telur dadar, sayur pepaya, tempe goreng, dan teh manis mereka berangkat mancing. Melewati jalan-jalan sawah yang agak becek karena hujan semalam. Beberapa jalan di kebun ditumbuni guguran daun. Cahaya terlontar begitu oranye di udara dan tanah. Sungai yang dituju sudah dekat.

“Di sana, Kang, spotnya.” Kang Birin mengarahkan. Sambil melangkah diikuti oleh Sahril.

Sebenarnya usia mereka tidak terpaut jauh. Sahril lebih muda beberapa tahun. Dulu pernah mondok bareng di Yogyakarta. Tapi kebiasaannya mancing membuat mereka berdua lebih sering mancing daripada ngaji. Suatu hari Kiainya berbicara pada mereka, “Jadi mau ngaji atau mancing?”

“Dua-duanya, Pak Yai.” Suara mereka kompak menyahut.

Kiai hanya senyum-senyum saja mendengar jawaban mereka. Tidak pernah dilarang sama Kiai, hanya saja memang banyak santri lain yang mengeluh atau menceritakan soal kelakuan kami yang lebih sering ke sungai daripada jamaah ke masjid. Atau sering sekali kabur di saat-saat waktu ngaji. Mendengar Kiai tidak marah, santri lainnya jadi bingung. Dan kisah itu pun seperti tidak pernah berhenti hingga sekarang mereka pulang ke kampung.

Hanya istrinya yang bisa mengerti perasaan keduanya. Dan sama-sama maklum. Sebab sebelum menikah Kiai sudah mengatakan bahwa, ‘harus saling menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita.’

Santri-santri yang dulu lulus dan menjadi ustadz sering sekali memergoki mereka saat mau mancing. Tapi mereka hanya berkelakar saja.

“Mancing enggak eling waktu, Kang. Tidak berubah sejak di pondok,” kata santri yang dulu ikut mencibir kegiatan mereka mancing saat waktunya ngaji.

“Yo, ben. Kiai juga tidak pernah melarang kita mancing. Ini juga kan kewajiban suami bekerja. Memenuhi kebutuhan hidup di rumah,” jawab Kang Birin.

Di tepi sungai, Kang Birin dan Kang Sahril sudah melempar umpan ke badan sungai. Ditungguinya umpan itu dimakan ikan, disambar, dicaplok ikan besar. Berapa menit, berapa menit lagi. Umpan itu masih juga belum dimakan.

“Kang, kok sepi. Katanya ramai.”

“Hehe, sabar, Kang, Pemanasan dululah. Pengenalan.”

“Umpanmu juga masih sepi tuh.”

“Iya ini. Aneh juga. Kemarin jam segini ramai, Kang.”

“Wah, pindah saja bagaimana?”

“Oh, nanti dulu, Kang.”

Berjam-jam mereka di situ. Umpan mereka lambat laun dimakan habis, tapi ikannya tidak pernah ketangkap. Tidak nyaplok kail. Semakin penasaran karena airnya agak kecoklatan. Mereka berpikir itu ikan segede orang. Karena lihai, dan setiap kali umpan terlempar selalu ludes dengan cepat.

Hingga terdengar adzan Asar. Berkumandang bersama awan yang berarak dibawa angin ke utara lalu ke barat. Mereka masih berupaya memasang umpan. Melemparnya ke badan sungai. Dan habis. Terus begitu.

“Kang, ini kayaknya ada yang aneh. Kenapa setiap kali umpan kita lempar selalu habis. Tapi tidak pernah ikan itu kena?”

“Iya, saya merasa tarikannya besar. Seperti ikan besar itu, Kang. Apa kita akali saja. Tapi bagaimana?”

“Jangan-jangan bukan ikan itu, Kang. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Tapi buaya, Kang.”

“Hush. Jangan su’uzon. Masa di sungai begini ada buaya, ngawur kamu.”

“Loh, bisa saja. Ini termasuk sungai besar, Kang.”

“Hm. Terus gimana ini. Lanjut atau pindah?”

“Kalau feeling saya sih, kita salat dulu di masjid terdekat. Waktu Asar kan pendek.”

“Hm. Begitu ya. Tapi kita belum dapat ikan.”

“Justru itu. Cari petunjuk di dalam salat. Hehe.”

“Waduh, makin bagus ide kamu, Kang.”

Di musala terdekat mereka salat Asar. Dalam sujudnya. Sahril seakan melihat ikan. Ikan besar sekali. Matanya bersinar. Bersinar indah sekali. Seakan memancarkan Tuhan. Ia hampir saja tersedot pesona itu. Sujudnya begitu lama. Sampai orang-orang di sekitarnya heran. Air bawah sajadahnya mengalir cahaya halus. Seperti kunang-kunang yang keluar.

Birin menjadi makmum lantas heran kenapa sujudnya tidak rampung-rampung. Hatinya rusuh. Tidak biasanya Sahril begini khusyu. Tapi dengan takdim seorang kawan kepada kawan, ia sabar menunggu. Sekitar sepuluh menit sujud itu berlangsung. Birin khawatir jidatnya akan menjadi hitam. Tapi dia menunggu.

Sahril memang sering menjadi imam ketika salat berdua dengan Birin. Birin menganggap bahwa hati Sahril lebih jernih daripada hatinya. Lebih tulus daripada dirinya. Karena itulah urusan imam selalu diserahkan kepadanya.
Setelah habis sujud dan salam, wajah sahril seakan menyinar. Birin kaget. Mau bertanya tapi malu. Tapi penasaran begitu hebat mengamuk benaknya.

“Kang. Tadi itu namanya sujud apa? Kok durasinya lama sampai sekitar sepuluh menit.”

“Saya itu… saya itu tadi seperti ketemu Tuhan, Kang.”

“Maksudnya kamu ketemu Tuhan di sujud itu?”

“Oh, bukan. Aku lihat mata ikan, Kang, tapi bersinar terang. Menyihirku. Ketika sujud itu aku seolah hanyut.”

“Sebentar, Kang. Maksudmu itu tadi namanya sujud ikan?”

“A-ha-ha-ha. Bukan, Kang.”

“Lah terus. Dapat pencerahan tempat mancing ikan yang josh?”

“Hm.”

“Tuhan sudah menjawab kegelisahan kita, Kang?”

“Begini, Kang. Aku bingung. Lebih baik kita kembali ke tempat mancing ikan tadi. Perasaanku itu ikan besar, Kang.”

Di spot milik Kang Birin itu, mereka kembali melempar umpan. Dan entah mimpi apa. Mereka dapat banyak sekali ikan. Ikan-ikan bermata cahaya melompat dan menangkap umpan mereka.

“Wah, Kang. Ini lebih ramai dari kemarin. Luar biasa, doa sampeyan. Memang tidak salah sejak dulu saya meguru, berguru, sama sampeyan. Ampuh tenan.”

Malam beranjak dan hening. Ikan-ikan telah pulang ke rumah masing-masing bersama Kang Sahril dan Kang Birin. Di pintu istrinya menyambut senyum. Seperti rembulan yang ngapung di langit malam.

Yogyakarta, 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan