Di Mata Ikan Tuhan Memandang

1,175 kali dibaca

Kang Birin buru-buru ngajak mancing. Memang habis hujan semalam, dan biasanya bikin sungai banyak ikan. Di arus deras yang kecoklatan, di sana mereka berenang-renang. Di halaman sudah menunggu, dengan pancing di tangan dan ember bekas cat yang berwarna putih biru. Menggunakan celana pendek, dan pakai topi.

“Sudah siap belum, Kang?”

Advertisements

“Sabar, Kang, ini saya siapkan dulu alatnya. Dan istri saya katanya sedang menata bekal makan siang. Ramesan seperti biasanya. Duduk dulu saja, Kang Birin.”

Dengan langkah tak sabar ia bergegas masuk ke depan rumah Kang Sahril. Duduk di dipan bambu sambil ongkang-ongkang kaki.

“Masih lama apa, Kang?”

“Sabar. Sebentar lagi kok. Ikannya juga nggak bakalan lari, Kang.”

“Iya, tahu, Kang. Tapi kan saya ini sudah tak sabar ingin mancing. Ketemu sungai dan ketemu ikan gede-gede.”

Suaranya tidak terlalu keras seperti pada awalnya. Kang Birin dengan wajah yang masih resah. Bertanya-tanya, ‘kenapa Sahril lama sekali. Memangnya masak apa sih istrinya?’ Dengan penasaran ia memasuki rumah.

“Assalamu ‘alaikum.”

“Wa’alaikum salam, Kang Birin.” Suara istri Kang Sahril lembut mengalun.

“Kang Sahril kok lama sekali, saya sudah tungguin sampai beberapa menit. Katanya lagi nyiapin pancing sama bekal buat makan siang. Di mana ya, Mbak?”

“Oh, barusan keluar ke warung beli telur sebentar.”

“Wah, ini jadinya lama kalau begitu.”

“Sabar, Kang. Orang cuaca juga masih panas begini. Mau berangkat mancing tapi tidak sarapan nanti semaput di jalan atau di pinggir kali gimana? Malah dibawa sungai dan dimakan ikan. Hehe.”

“Duduk dulu, Kang. Nanti saya bikinkan wedhang. Mau kopi atau teh, Kang?”

“Wah, jangan repot-repot lah, Mbak. Kopi saja.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan