Langit Cipasung masih menyimpan sisa embun pagi ketika langkah-langkah para peziarah memenuhi halaman pesantren. Mereka datang bukan hanya membawa nama, tetapi kerinduan. Di antara lantunan doa dan gema selawat, terselip harapan: agar jejak para ulama tidak menguap ditelan waktu.
Haul Akbar Masyayikh Pondok Pesantren Cipasung tahun ini (12/6/2025) bukan hanya agenda tahunan. Ia menjelma menjadi semacam majlis zikir sejarah, tempat di mana generasi kini menautkan kembali tali batin dengan para pendahulu. Suasana begitu khidmat saat KH Muhammad An’am Nazili membaca manaqib almaghfurlah KH Ruhiyat, pendiri Pondok Pesantren Cipasung ini. Di setiap kisah tentang masa kecilnya di Cisaro—tentang layang-layang, bola, dan ketapel—hadirin seolah dibawa menyusuri kembali jalanan tanah Tasikmalaya tempo dulu.

Namun Kiai Ruhiyat bukan sekadar kisah nostalgia. Ia adalah simbol tentang bagaimana seorang santri kecil bisa tumbuh menjadi pembaru peradaban. Mendirikan Pondok Pesantren Cipasung di usia 20 tahun, mencetak ratusan ulama, dan membesarkan 27 anak bukanlah hal sepele.
“Beliau adalah orang besar yang hidup dengan cara sederhana, namun meninggalkan warisan yang kekal,” tutur KH Ahmad Ruhiyat Hasbi, dengan mata berkaca.
Kang Uyan (Panggilan Akrab KH Ahmad Ruhiyat Hasbi) , yang kini memimpin Forum Keluarga Alumni, tidak hanya mengenang, tapi juga menggugah. Ia bercerita tentang kedalaman ilmu dan ketinggian akhlak Kiai Ruhiyat, yang hafal Alfiyah di usia delapan tahun dan mampu mendidik keluarganya seperti mendidik umat.
“Cinta kepada guru itu syarat utama keberkahan ilmu,” ucapnya, mengutip kalam Mbah Hasyim Asy’ari.
Haul ini menjadi medan tafakur bagi alumni. Dr KH Tatang Astaruddin, dalam uraian hikmahnya, tak ragu menyentil: “Jika pulang dari haul ini hanya membawa foto dan nostalgia, tanpa komitmen, itu bukan haul. Itu pemakaman kedua bagi perjuangan para kiai.”
Tepuk tangan meledak, tapi juga banyak wajah yang menunduk: refleksi yang menampar dengan lembut namun dalam.
Dr Tatang mengajak para santri untuk tidak cengeng menghadapi zaman. “Cipasung bukan sekadar rumah,” katanya, “ia adalah tiang utama dari kapal layar yang menavigasi hidup kita.”
Dengan mengutip Khalil Gibran, ia menegaskan: tempat ini bukan untuk diam, tapi untuk mengakar dan bergerak. Dalam satu kalimat, ia menanamkan pesan yang akan lama membekas: “Kemuliaan tidak ada dalam gelar, tapi dalam pelayanan yang tulus kepada umat.”
Pondok Pesantren Cipasung hari ini bukan lagi hanya tempat ngaji kitab kuning. Ia telah berkembang menjadi lembaga besar dengan fasilitas pendidikan formal dari TK hingga Program Pascasarjana. Tapi yang tak berubah adalah ruhnya: keikhlasan. Dari zaman kolonial hingga kemerdekaan, dari lumbung-lumbung padi hingga gedung-gedung bertingkat, ruh perjuangan Kiai Ruhiyat tetap menjadi arah.
Sambutan KH Ubaidillah Ruhiyat, penerus kepemimpinan pesantren, menguatkan semua itu. “Haul ini adalah bentuk birrul walidain: membalas cinta orang tua dengan doa, dengan perjuangan, dan dengan menjaga silaturahmi,” ucapnya. Ia juga menekankan pentingnya regenerasi, dengan menyatukan kembali keluarga dan alumni dalam satu barisan perjuangan.
Momentum itu juga menjadi panggung konsolidasi antarwilayah. Hadirnya Bupati Tasikmalaya, H Cecep Nurul Yakin, menandakan bahwa Cipasung tidak hanya penting bagi dunia pendidikan, tetapi juga bagi arah kebijakan daerah. Ia berkomitmen menjadikan nilai-nilai religius sebagai fondasi pembangunan: dari salat berjamaah ASN hingga infrastruktur yang memudahkan umat.
Namun satu penanda kekuatan pesantren yang paling menyentuh datang bukan dari pejabat atau tokoh besar, melainkan dari peluncuran kitab berbahasa Arab karya Dr KH Muhammad Rizki Ramdan Ubaidillah Ruhiyat. Ia adalah cucu pendiri pesantren. Dan kitab itu adalah bukti bahwa warisan keilmuan tidak berhenti di pusara, tapi terus mengalir lewat pena.
Di pengujung acara, langit mulai teduh, dan hadirin bersiap pulang. Tapi dalam hati mereka, nyala itu belum padam. Cipasung, seperti kata Dr Tatang, bukan hanya alamat. Ia adalah kompas moral—yang menunjuk ke arah keberanian, kejujuran, dan keikhlasan.
Sebab haul sejatinya bukan untuk mengenang yang mati. Tapi untuk menghidupkan kembali yang hidup—dengan cara yang lebih jernih, lebih ikhlas, dan lebih berani. Dan pesan yang paling dalam dari Cipasung adalah ini: warisan ulama bukan untuk disimpan, tetapi untuk diperjuangkan kembali.