Dakwah: Ilmu atau Pseudo-Ilmu?

1,224 kali dibaca

Apakah dakwah termasuk ilmu atau bukan adalah perdebatan lama yang hingga kini belum berkesimpulan. Tetapi, seiring dengan berkembangnya kehidupan dan kemajuan ilmu sosial, baik secara teoretik ataupun metodologis, dakwah mendapat interogasi yang lebih tajam dibanding masa-masa sebelumnya.

Ilmu dakwah diyakini sebagai turunan saintifik dari hadis Nabi tentang anjuran menyebarkan Islam secara lisan (bil lisan), perbuatan (bil hal), dan tulisan (bil qalam). Namun keyakinan ini memiliki masalah mendasar bila dijadikan fondasi utama sebuah ilmu karena, pengembangan sebuah hadis Nabi sebagai sebuah ilmu akan menciptakan unsur primordialisme dalam praktik saintifik.

Advertisements

Hadis Nabi tadi pada dasarnya adalah sebuah penerapan sains, atau praktik untuk tujuan tertentu. Dan tujuan tidak pernah tidak memuat nilai. Dengan kata lain, ilmu dakwah adalah praktik yang memuat serangkaian nilai-nilai tertentu (keislaman) yang kemudian dirasionalisasi sedemikian rupa untuk dikukuhkan sebagai sebuah disiplin ilmu oleh komunitas berbasis keagamaan.

Di ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi dan sejenisnya, proses pembangunan disiplin bermula dari abstraksi dan refleksi. Orang kemudian baru bisa berdebat soal nilai, keberpihakan, dan politik pengetahuan setelah ilmu-ilmu itu turun menjadi terapan, atau applied science. Sementara itu, dakwah dibangun dari proses yang terbalik. Praktiknya dulu (tanpa debat nilai, keberpihakan, dan politik pengetahuan), baru kemudian diklaim sebagai disiplin ilmu.

Prosedur tersebut hakikatnya telah melangkahi prinsip dasar ilmu, yakni: universalisme, atau keterbukaan terhadap semua orang. Artinya, benar atau tidaknya, valid atau tidaknya sebuah prejudis atau hasil penelitian ditentukan oleh kedisiplinan metodologis dan keterbukaan untuk didebat. Bukan berdasarkan nilai-nilai normatif yang diyakini atau dijunjung oleh komunitas dengan identitas tertentu (Islam).

Dalam sebuah sidang seminar proposal tesis di jenjang pascasarjana di salah satu fakultas dakwah misalnya, seorang penguji mengatakan: “Anda hendak menggunakan teori dakwah transformatif, tapi ada satu variabel yang tidak disertakan. Lah, itu bagaimana? Oke pesan yang disampaikan si komunikator itu Islami, tapi kalau ternyata misalnya dia bukan Islam? Ya bukan transformatif namanya.” Ungkapan tersebut menyiratkan bagaimana keberpihakan identitas sangat menentukan sebuah bangunan teori.

Desain yang demikian tentu dapat dikatakan reduktif. Identitas aktor hanyalah salah satu dari banyak faktor lain yang memengaruhi bagaimana perilaku seseorang berubah. Orang tentu dapat menyuguhkan paradigma behavioral, naturalis, dan struktural sebagai opsi penjelasan alternatif. Jika poin intinya adalah perubahan perilaku, lalu apa signifikansinya variabel identitas keagamaan?

Akan tetapi, ilmu dakwah biasa melarikan penjelasannya pada kekuatan ilahiyah yang diklaim oleh pelakunya. Memang, walaupun kini dakwah juga sering memberikan penjelasan-penjelasan bernuansa sosiologis ataupun komunikasi, tapi pemberian ini disertai dengan islamisasi ilmu ―sekalipun harus menyertakan argumen-argumen yang tautologis dan tak ada ketertataan premis teoretik yang bisa dipertanggungjawabkan.

Di Indonesia, Islamisasi ilmu ini mengalami mutasi berkat kooptasi politik Orde Baru terhadap ilmu sosial di era 1970 sampai 1990-an, yang menyebabkan corak ilmu sosial ―khususnya penelitian-penelitian kualitatif― Indonesia cenderung: (1) positivistik; (2) terpengaruh oleh nalar kuantitatif; (3) bersifat teknokrasis; (4) kental paradigma struktural-fungsionalis, dan (5) tidak imajinatif.

Pada masa 1970-1990, karena sudah tidak ada lagi ancaman ideologis (komunisme) bagi rezim Soeharto, Soeharto mensinyalir bahwa satu-satunya yang punya potensi menjadi ancaman ideologis adalah Islam. Soeharto perlu memastikan bahwa program pembangunan neoliberalnya berlangsung.

Soeharto menginstrumentalisasi ilmu sosial dengan kecenderungan-kecenderungan di atas, sambil menjinakkan narasi keagamaan dan pendidikan keagamaan (khususnya di pendidikan tinggi Islam) agar berpihak pada program pembangunan neoliberal. Implikasinya, seseorang bisa menjadi simpatisan agenda neoliberal sambil memperkuatnya dengan dalil-dalil keagamaan dan alasan-alasan etis-religius berlanggam ilmiah.

Ilmu dakwah, karena substansinya yang menyangkut penyebaran paham dan cara beragama, adalah lokus keislaman yang paling terdampak atas penjinakan ilmu sosial oleh Soeharto. Pengaruhnya berasal dari penggunaan teori-teori ilmu komunikasi dengan mazhab struktural-fungsionalis ala Amerika, yang mengandaikan: pertama, kohesi sosial dapat tercipta bila individu berperan sesuai dengan peran semestinya; kedua, bila ada yang tidak beres dengan situasi sosial, maka yang diubah atau yang direkayasa adalah individunya, bukan strukturnya.

Karakter keilmuan tersebut cenderung menghindari analisa-analisa konfliktual seperti analisis kelas, analisis elite, dan masalah-masalah struktural lain yang menjadi perhatian paradigma kritis yang umumnya berasal dari tradisi Marxis. Pada satu sisi, kecenderungan ini memang dikehendaki rezim Orde Baru untuk menghindari instabilitas politik.

Di lain sisi, kecenderungan ini mendorong banyak kajian ilmu dakwah terperangkap pada konservatisme-deskriptif, yakni komitmen terhadap pelestarian nilai-nilai Islam namun terbatas pada uraian-uraian deskriptif dengan judul “pola komunikasi”, “peran”, “dampak”, dan “pesan dakwah”. Komitmen ini agaknya berkebalikan dengan arah gerak ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu komunikasi khususnya.

Walaupun kini keinsyafan atas pengaruh Orde Baru terhadap ilmu-ilmu sosial mulai tumbuh, tapi pertumbuhannya cenderung tidak merata di berbagai insitusi sebab keterbelahan antara ilmuwan yang membuka diri pada perubahan dan ilmuwan yang konservatif terhadap status-quo.

Mereka yang progresif berani mengevaluasi dan mengubah asumsi dasar mereka. Sedangkan, mereka yang konservatif percaya bahwa perubahan, khususnya perubahan teknologis, dapat digunakan sebagai ‘penguat’ nilai-nilai yang dijunjung tanpa memberikan evaluasi ataupun pengujian epistemik atas hakikat nilai-nilai tadi di situasi sosial yang berbeda.

Ketika keyakinan itu berpadu dengan semangat teknokratis, ilmu dakwah pada gilirannya menginstrumentalisasi diri sebagai pemecah masalah sosial berbasis agama yang daya ramal dan perhitungan implikasi atas tawaran solusinya pendek sekaligus keteteran dalam berpacu dengan probabilitas sosial yang melampaui norma agama.

Misalnya, banyak karya ilmiah dakwah yang memandang sakralitas penceramah atau pemimpin agama adalah sesuatu yang apa adanya (given) dan tak terpengaruh oleh variasi ruang (digital khususnya) dan waktu.

Sementara sosiologi, khususnya analisa aktor dan elite, menunjukkan sesuatu yang lain: relasi dan otonomi aktor religius tak pernah tidak terikat dengan perubahan kekuatan kekuasaan politik, pasar, dan struktur komunikasi ―yang sebagaimana terjadi dari mulai era feodal, modern, postmodern, hingga era digital.

Sementara itu, dengan adanya digitalisasi yang bersifat telepresen dan serba-data, ilmu komunikasi telah sampai pada pengandaian proses komunikasi tanpa tubuh. Beberapa analis mengidentifikasi bahwa, selain ada restrukturasi sosial oleh perusahaan teknologi dan data, juga terjadi penihilan otonomi individu berkat posisinya yang ditempatkan semata sebagai produsen data (informasi) yang bersifat bisa digunakan berulang-ulang (reusable).

Ketika menyangkut proses diseminasi agama, maka bayangan soal sakralitas absolut yang menempel pada penceramah, dipertanyakan. Pertanyaan lain juga muncul: masihkah diperlukan seorang ustaz bila mengubah perilaku seseorang adalah perkara soal penyesuaian algoritma berdasarkan karakter penduduk regional tertentu?

Dan, dapatkah sebuah iman dikatakan otentik bila ia merupakan hasil kustomisasi perusahaan data tertentu? Masihkah sakral seorang penceramah bila posisinya terbatas pada ‘produsen informasi’ dalam hierarki besar bernama industri konten? Di mana letak otonomi penceramah bila pengertian keberadaan (existence) didefinisikan oleh substansi maya (esse est computari)?

Bagi Islam, dan sebagaimana agama Abrahamik lainnya, eksistensi korporeal, baik itu otonomi tubuh ataupun komunikasi analog, memegang titik sentral dalam menentukan kualitas transenden. Ketika titik tersebut mengalami disrupsi, maka perlu ada tinjauan ulang soal asumsi-asumsi dasar yang selama ini mapan diyakini dalam ilmu dakwah. Hal ini belum termasuk dengan tinjauan peluang ekonomi politik dari disrupsi tersebut.

Akan tetapi, sepertinya tinjauan ulang yang mendasar itu sulit untuk dilakukan mengingat adanya dua filter yang telah lama mengakar: filter semangat struktural-fungsionalis dan filter normatif. Filter yang pertama, menyaring isu apa yang boleh dan tidak untuk diteliti. Filter yang kedua, lebih tentang menyeleksi asumsi atau argumentasi penelitian mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan Islam. Dua filter tersebut mencegah ilmu dakwah memiliki keberanian mempertanyakan asumsi mendasar dalam dirinya sendiri.

Dibandingkan dengan ushuluddin atau ilmu adab, dakwah adalah yang paling terkooptasi oleh penyesuaian ilmu sosial ala Orde Baru dan lemah dalam berspekulasi. Gestur otoritarianisme dan semangat doktrin didaktik Islamisme berpadu dalam praktik akademik dakwah dengan menoleransi penggunaan kata “harus/seharusnya”, “tidak boleh”, “jangan”, dan frase glorifikasi ideal tanpa ketelitian dalam melihat kenyataan empiris, khususnya dari segi periode dan perspektif.

Prinsip utama sains adalah keterbukaan, verifikasi, dan falsifikasi: “Saya bisa salah dan Anda mungkin benar, maka ayo berdiskusi.” Prinsip dakwah adalah engineering dan persuasi: “Aaya benar, Anda keliru, maka dengarkan saya.” Perbandingan dua prinsip ini sepertinya perlu diklarifikasi oleh ‘ilmu dakwah’ soal bagaimana prosedur operasinya tanpa menihilkan salah satu prinsip dalam kerja akademik yang diklaimnya.

Ketika sebuah ilmu fokus menglorifikasi diri, maka ia kehilangan keinsyafan terhadap sejarah sosial kelahirannya di suatu masyarakat, dan kehilangan kesempatan dalam mempertanyakan sekaligus mengevaluasi inventaris ilmiahnya, seperti teori, asumsi, tradisi akademik, dan tujuan beserta prosedur operasi hubungan kesemuanya. Jika demikian, bukankah ilmu tersebut neglected by default?

Memang tidak semua institusi, penelitian, ataupun ilmuwan dakwah melestarikan hal-hal tersebut, tetapi biasanya mereka lebih berasal dari alam Islamic Studies yang ramah terhadap perdebatan terbuka dan pertanyaan spekulatif, dibanding dakwah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan