“Dahsyatullah”, Artikulasi Islami di Tengah Kepengapan Arabisasi

1,599 kali dibaca

“Dahsyatullah”, begitu fasih meluncur dari mulut sebagian anak muda NU beberapa tahun silam. Secara harfiah kata idhafah itu tak berbunyi, meski masing-masing terdiri atas “dahsyat” dan “Allah” yang, sebagai kata, mempunyai arti sendiri-sendiri. Melihat konteks di mana kata itu diluncurkan, ia sepertinya untuk menyatakan sesuatu yang mengagumkan, menakjubkan, dan, dengan demikian, menunjuk pada sesuatu yang hebat atau dihebatkan.

Kaum puritan bisa mengajukan protes: itu mengotori atau mendistorsi nama Tuhan, menisbatkan “yang tidak semestinya” kepada Allah yang Agung. Bukankah ungkapan-ungkapan seperti subhana Allah, ajiebul Allah, masya Allah (semua dengan ekspresi kekaguman) sangat familier dan diakui sebagai ekspresi hamba mengagumi setiap ayat-ayat Allah. Bukan hanya karena sempurna dari bahasa Arab, ungkapan-ungkapan itu berasal dan dikutip dari tebaran teks suci, al-Quran. Bukankah “dahsyat” berasal dari ungkapan non-Arab yang biasa diperkarakan ketika dikaitkan dengan asma Allah atau dianggap kurang sah dikaitkan dengan berbagai idiom dan simbol Islam.

Advertisements

“Dahsyatullah” memang tidak lazim dan tentu tidak melekat di lidah kebanyakan muslim, meski tidak berarti haram diucapkan. Pasalnya, karena kebanyakan kaum muslim telanjur biasa, merasa srek, dan meyakini bahwa kalau bukan Arab tidak afdhal bahkan mungkin tidak sah. Tuhan begitu lengket dengan Arab, dan meng-Arab-kan nama Tuhan itu seolah legitimed secara teologis.

Pengakuan Mbah Gani di Ponorogo,“Kulo niki mboten shalat, kranten mboten saget Arab lho, Mas” (saya ini tidak salat karena tidak bisa bahasa Arab, Mas) menunjukkan Arabisme Islam sangat dominan. Demikian pula keluhan Pak Kromo dari Wonogiri yang mengaku tak bisa berdoa hanya lantaran tak pandai mengucapkan kalimat Arab.

Haruskah semua itu serba Arab, dan kalau tidak, menjadi tak sah, menjadi tak legitimed? Boleh jadi, muncul dan tersebarnya “Dahsyatullah” itu justru karena kepengapan di tengah Arabisasi. Arabisasi dan Arabisme nama-nama Tuhan dan setiap aspek ajaran Islam oleh kaum puritan, kaum salafi, dan kaum modernis Islam seperti yang kita saksikan selama ini justru menjadikan penyapaan Tuhan dan artikulasi religius memasuki ruang sempit dan menyudut. Jika salat dan berdoa (sebenarnya keduanya berarti sama) adalah perjumpaan dan persapaan seorang hamba dengan Tuhannya yang terakui, maka baik Mbah Gani maupun Pak Kromo menjadi tak mungkin melakukan kontak religius.

Soal berikutnya: tidak mungkinkah (secara teologis) penduduk bumi ajam (non-Arab) mempergunakan bahasa ibunya untuk menyapa dan mengartikulasikan semangat dan perilaku religiusnya? Apakah sebutan-sebutan Tuhan maupun ritual yang selama ini berserak di setiap pelosok bumi non-Arab menjadi mulgha, sia-sia, dan tak ditimbang bersama amal baik lain kelak di akhirat hanya lantaran semua itu tidak bervokal Arab? Apakah praktik-praktik ritual yang tidak secara persis mengikuti petuah Nabi, misalnya, shallu kama raaitakumu ushalli menjadi tidak sah, atau bahkan harus dituding sebagai “menyembah berhala”?

Tuhan tentu tak hendak meng-Arab-kan seluruh makhluk-Nya di muka bumi, karena itu hanya akan mendistorsi ke-Maha-an-Nya. Kita pasti tidak tahu apakah planet lain dan penduduknya serba Arab. Yang sering dikabarkan kepada kita bahwa Jibril disuruh menyalin wahyu kepada Muhammad ke dalam bahasa Arab, semata karena Muhammad adalah orang dan berada di tengah-tengah bangsa Arab. Kita juga dikabari, ini karena kita terima dari bangsa Arab, bahwa Mungkar dan Nakir akan bertanya dengan bahasa Arab kepada setiap manusia yang baru dikubur: man rabbuka, waman nabiyuka? Siapa tahu, kedua malaikat itu bertanya: sopo Pengeranmu lan sopo nabimu kepada seorang mayit dari Jawa? Kita tak tahu, karena kita belum pernah mati.  

Meski ke-Ada-nya Tuhan tak boleh terjadi karena kita yang merumuskannya, soal penyapaan dan cara-cara kita menghambakan diri kepada Tuhan sepenuhnya diserahkan kepada kita. Walaupun dalam konteks ini, kita harus mengakui dan meyakini (sebagai makhluk) bahwa ke-Esa-an Tuhan dan ke-Maha-an-Nya adalah dasar paling penting untuk semua itu. Bukankah beragama, di luar ketauhidan, adalah soal kearifan kreativitas (pemaknaan) sesuai cita awal agama itu sendiri “diturunkan untuk manusia dengan seluruh kandungan kemanusiaannya”. Dan ini berarti bahwa keragaman dan pluralitas dalam merumuskan dan pilihan cara semestinya mendapatkan tempat yang memadai.

Problemnya bahwa kemungkinan kreativitas pemaknaan itu ternyata tak juga terbuka bahkan makin tertutup bersamaan dengan terus menguatnya klaim otoritas penafsiran hanya pada sekelompok orang, ar Rasyihuna fil ilmi (yang juga ditafsirkan sepihak), dan semangat kerinduan masa Nabi Muhammad yang sepenuhnya Arab sebagai kebenaran tunggal yang otentik. Celakanya, ketika ternyata, seperti yang kita renungkan dari sejarah Islam selama ini, bahwa otoritas penafsiran maupun kerinduan masa Nabi itu nyaris selalu berpeluk-mesra dengan kekuasaan politik sekuler yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan agama atau jaminan teologis yang bisa dipakai sebagai “kartu pas” masuk surga.

Itulah sebabnya sejarah Islam, di mana pun, nyaris seperti lukisan panjang dengan patahan-patahan lokal yang makin buram. Atau bagaikan pentas seni pertunjukan yang menempatkan Islam dan tradisi lokal seperti cerita panji yang antogonistis; pertemuan benar-salah, halal-haram, dan surga-neraka. Tak jelas, siapa yang kalah dan siapa pula yang menang, karena sebegitu jauh sebenarnya pertunjukan antagonis itu belum selesai dan masih terus berlangsung.

Di negeri ini, misalnya, kita menyaksikan bahwa di tengah-tengah tak putusnya semangat gerakan puritan justru terlihat kreativitas resistensi semakin menguat dan dipertahankan. Tak usahlah melirik contoh-contoh kasus dari berbagai daerah di Indonesia yang memang hampir tak terbilang dan tak terhingga jumlahnya. “Dahsyatullah” yang dikutip di awal tulisan ini pun menjadi salah satu ilustrasi yang menarik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan