Cinta Suci Rusli

949 kali dibaca

Hari ini ulang tahun Risa. Tapi Rusli membawakan dua kado. Walaupun Ana, Kakak Risa, tidak ulang tahun, ia tetap memberikan hadiah kepadanya. Rusli sangat menyayangi keduanya.

“Aku bersyukur telah menemukan Papa yang sangat mencintai anak-anakku,” puji Anisa kepada Rusli.

Advertisements

“Aku juga bersyukur menemukan Mama. Karena sejak menikah, usaha jasa boga kita bisa menjadi besar.”

*

Tujuh tahun lalu, Rusli mengantarkan Anisa pulang untuk menemani ibunya ke peristirahatan terakhirnya. Di tengah perjalanan, Rusli hatinya hancur setelah mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Anisa.

“Farhan kemarin melamarku. Sebenarnya aku berjanji hari ini akan menjawabnya, tetapi ibu sekarang telah berpulang.”

Hati Rusli seketika menjadi hancur. Cinta yang dipendamnya seketika kandas mendengar perkataan bahwa Anisa, gadis yang dicintainya, dilamar oleh sahabatnya sendiri.

“Seandainya aku yang melamar kamu kemarin, bagaimana jawabanmu, Cha?”

“Bercandamu tidak lucu, aku lagi berkabung, Rus.”

“Farhan itu orang baik, sebagai pimpinan EO kita ia tegas, disiplin, komunikatif.”

“Iya sih, tapi menurutku lebih terkesan kaku daripada ketegasan.”

“Kamu itu santun, kreatif, dan artistik. Sudah jadi pasangan yang klop kalau jadi pasangan suami-istri.”

“Bisa saja kamu Rus.” Anisa tersipu malu.

“Tapi serius aku tanya, seandainya aku yang melamarmu apa akan kamu terima?” Rusli berkata dengan cengar-cengir.

“Mungkin saja. Jika kamu lebih kaya daripada Farhan.”

“Iya aku sadar gajiku tidak akan kuat beli kosmetik untukmu.”

Sebenarnya dalam canda Rusli terungkap perasaan cintanya kepada Anisa, sahabatnya sejak kecil. Tetapi ia merasa minder terhadap Anisa, perempuan yang paling cantik di Event Organizer yang mereka dirikan. Semua karyawan sangat mengidolakan Anisa karena kesantunan, kecerdasan, dan tangan dinginnya dalam seni dekor.

*

Seminggu setelah Farhan dan Anisa menikah, Farhan, Rusli, dan Anisa semakin kompak sehingga Event Organizer mereka semakin berkembang. Yang dulu satu bulan paling banyak lima kali memperoleh kontrak pekerjaan, sekarang sudah lebih dari sepuluh kali.

Hari ini mereka  memboyong perlengkapan EO dari pelanggan. Usai semua perlengkapan EO direkap, mereka membuka kotak saran para tamu.

“Banyak tamu yang memuji masakanmu, Rus. Mereka menuliskan bahwa ‘masakanmu cocok dilidah para tamu’.”

“Jangan terlalu banyak membaca pujian, Han, nanti mematikan evaluasi kita. Apa ada kritikan dari para tamu?” tanya Rusli.

“Mayoritas mereka bilang harganya minta dimurahkan.”

“Wah, kalau itu pasti saran dari tuan rumah,” celetuk Anisa.

Tiba-tiba dering gawai Rusli menyela obrolan mereka. Terlihat Ilham, ayah Rusli, tertulis di layar gawainya.

“Assalamualaiku, Pak.”

Selang beberapa detik, raut wajah Rusli berubah. Ia menerima kabar bahwa ibunya sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari akibat terjatuh di teras rumah. Ayahnya berharap Rusli untuk segera pulang kampung menjenguk ibunya.

Entah bahagia atau sedih perasaan Rusli ketika diminta pulang. Sebenarnya Rusli telah lama patah hati sejak Anisa menerima lamaran Farhan. Di sisi lain, ia sangat menyayangi EO karena banyak cucuran keringat dan pikiran membesarkan usaha itu. Dilema besar melanda hatinya saat memilih antara bertahan sakit hati tetapi bangga dengan gaji besar atau lari dari kenyataan tetapi menganggur.

“Aku sepertinya harus pulang ke kampung, Han. Ibuku kritis sejak tiga hari lalu. Kata Bapak, sebelum Ibu sakit, ibu ingin menemuiku’.”

“Tidak mengapa jika kamu jenguk ibumu sampai sembuh dulu,” kata Anisa.

“Beberapa waktu lalu vc sama kamu sepertinya masih sehat. Sakit apa kok sampai mendadak kritis?” tanya Farhan.

“Ibu jatuh di teras tiga hari lalu. Waktu ingin naik ke tangga ruang tamu terpeleset air hujan.”

“Kami mohon maaf, Lusa baru bisa menjenguk insyaallah. Tenang saja, urusan even besok kami yang akan tangani. Sebentar aku ambilkan HR kamu untuk hari ini.”

*

Tepat tiga hari setelah Rusli berada di rumah ayahnya, Farhan datang sendiri.

“Mana Anisa?”

“Anisa sakit, ia tidak bisa ke sini. Ia hanya titip permohonan maaf karena tidak bisa ke sini.”

“Sakit apa?

“Hamil anak pertama kami.”

“Alhamdulillah. Aku turut berbahagia karena sebentar lagi akan jadi Om.”

“Bagaimana kabar ibumu?”

“Ibu menderita gejala stroke, ia harus menjalani beberapa terapi agar bisa pulih.”

“Semoga ibumu lekas sembuh, Rus.” Farhan terdiam sejenak.

“Anisa sekarang sedang istirahat total. Aku sedikit kerepontan meng-handle pekerjaan, kapan kamu rencana kembali bekerja?”

“Aku tidak tahu, Han. Sekarang, keadaan keluargaku suda tidak seperti dulu. Jadi, aku harus menjadi tulang punggung keluargaku dan membantu ayah merawat ibu.”

*

Rusli memulai wirausaha mandiri, ia membuka usaha jasa boga daring. Bermodalkan pengalamannya bekerja sebagai EO, ia merintis usahanya sejak setahun lalu. Walaupun uang yang didapatkan tidak sebanyak honor di EO dulu, ia tetap merasa bersyukur.

Tetapi terkadang rasa syukur itu dihantam bersalah kepada Farhan dan Anisa yang masih menghantuinya. Sebab, sejak ia memilih untuk meninggalkan EO-nya, Farhan tidak mau menerima teleponnya, begitu juga Anisa.

“Kamu jangan menelepon atau sms kepadaku, Rus. Tolong jangan perasaan Farhan,” kata Anisa ketika ditelepon Rusli.

“Apa maksudmu, Cha? Apa salah aku menanyakan kabar Farhan darimu?”

“Tidak salah, Rus. Tetapi ini menimbulkan fitnah. Farhan tidak suka jika kamu meneleponku. Ia cemburu.”

“Baiklah, sampaikan kepada Farhan untuk ‘mengangkat telepon dariku’ agar silaturahim kita bisa tetap terjaga.”

Tak disangka, itu adalah percakapan di telepon terakhir Rusli dengan kedua sahabatnya. Rusli semakin khawatir ketika kedua nomor sahabatnya tidak bisa dihubungi. Ia memutuskan untuk menelepon karyawan EO Farhan.

“Assalamualaikum, Pak Har.”

“Waalaikumsalam, Pak Rus.”

Betapa terkejut hatinya, ketika Pak Hari menceritakan bahwa EO Farhan bangkrut beberap bulan setelah pengunduran dirinya.  Sekarang, Farhan memutuskan menceraikan Anisa. Menurut gosip yang beredar di karyawan, Anisa berubah sejak kehamilannya, sering sakit sehingga kualitas dekorasi menurun. Selain itu para pelanggan juga mengeluh masalah kualitas masakannya juga menurun.

“Sekarang, Farhan dan Anisa tinggal di mana?” tanya Rusli.

“Anisa sekarang sedang depresi dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Kalau Farhan tidak tahu.”

Hati Rusli hancur mendengar kisah tragis keluarga sahabatnya itu. Setelah pembicaraan dengan Pak Hari, ia memutuskan pergi ke rumah sakit jiwa untuk menemui Anisa.

*

“Saudari Anisa keadaannya sudah membaik dari depresi berat akibat kekerasan yang dialaminya selama ini. Obat-obat yang kami berikan hanya sebagai faktor pendukung. Ia membutuhkan perhatian penuh dari orang-orang terdekatnya. Motivasi untuk melanjutkan kehidupannyalah yang menjadi faktor penentu kehidupannya,” kata Dokter Fendi kepada Rusli.

Usai mendengar penjelasan tersebut ia mengunjungi Anisa di kamarnya. Ia melihat Anisa sedang hamil. Terlihat juga bekas jerat tali di leher dan beberapa luka di tangan Anisa.

“Assalamuaikum, Cha.”

Anisa sama sekali tidak menjawab salam dari Rusli. Dengan agak canggung, ia berdiri di samping Anisa yang sedang memandang jendela dengan tatapan kosong. Dengan sabar, berbagai cara dilakukan Rusli agar Anisa meresponsnya.

“Hai Cha, aku membawakan nastar makanan kesukaanmu,” Rusli sangat bahagia ketika Anisa mulai meresponsnya.

“Kamu mau nastar?” Anisa tak berucap, tetapi ia membuka mulutnya.

“Semua orang pasti menghadapi cobaan dalam hidup, Nis. Allah tidak akan memberikan cobaan melampaui kemampuan seseorang. Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang bersabar mengahadapi ujian-Nya.”

Di setiap akhir pekan, Rusli menyempatkan diri untuk memotivasi Anisa. Hingga pada akhirnya, Anisa diizinkan untuk menjalani rawat jalan. Saat Rusli menjenguk Anisa di rumahnya, tiba-tiba terlontar kata, “Apakah kamu masih menginkan melamarku, Rus?”

Raut wajah Rusli seketika tertegun mendengar pertanyaan itu di depan keluarga Anisa. Rusli menengok ke orang tua Anisa, mereka mengisyaratkan kepada Rusli untuk mengangguk.

“Semua perlu proses, Cha. Kita bicarakan setelah buah hatimu lahir, ya?”

“Aku memang gila, Rus. Tapi aku tidak bodoh. Jangan membohongiku.”

“Iya kita bahas setelah kelahiran buah hatimu. Aku juga perlu meminta restu orang tuaku, keluargamu, dan…”

“Jangan pernah menemuiku, jika hanya untuk menjawab ‘tidak’ atau sekadar menghiburku dengan jawaban bohongmu.”

“Dalam Islam tidak boleh menikahi wanita hamil. Jadi izinkan aku dan keluargaku memikirkan jawaban atas pertanyaanmu,” sahut Rusli.

“Dalam Islam juga mengajarkan jangan pernah sering menemui wanita bukan muhrimnya. Jadi, jangan pernah temui aku lagi.”

*

Akhir pekan ini, Rusli berniat menjenguk Anisa, tetapi Anisa menolak menemuinya. Anisa mengancam akan bunuh diri jika Rusli masih nekat menemuinya.

Sejak kunjungan Rusli, Anisa berpura-pura meminum obat. Akibatnya, delusi mulai melanda pikirannya. Dalam delusinya, Anisa merasa Farhan datang kemudian menyiksanya seperti yang dialaminya dulu.

“Apa salahku, hingga kamu masih mendatangiku ke sini. Ceraikan saja aku, jangan lagi kamu menyakitiku,” Anisa berbicara dengan berteriak.

Mendengar teriakan itu, Topik, ayah Anisa, kemudian terbangun.

“Nak, apa kamu baik-baik saja?” tanya Topik sambil mengetuk pintu kamar Anisa.

Terdengar pecahan kaca dari kamar kamar Anisa. Topik menjadi semakin panik. Tanpa berpikir panjang, Topik mendobrak pintu kamar Anisa. Ia menemukan Anisa tergeletak tak sadarkan diri.

*

Usai mengantar ke rumah sakit, Sara menemui Rusli untuk membicarakan masalah Anisa. Dari balik pintu kamar, Ilham, Ayah Rusli, menguping pembicaraan mereka.

“Masih ingat kejadian dua tahun lalu, ketika kamu mengantar Kak Nisa untuk melihat ibunya terakhir kali?” tanya Topik kepada Rusli.

“Iya, Sar.”

“Ia bercerita sebenarnya kamu, kamu yang diharapkan melamarnya. Kak Nisa sebenarnya memendam rasa kepadamu.”

“Aku sebenarnya juga dulu mencintainya, tapi apa daya Farhan telah melamarnya terlebih dalu.”

“Lantas bagaimana perasaanmu terhadap Kak Nisa sekarang?”

Rusli terdiam. Melihat pembicaraan menjadi hening, Ilham menyeletuk.

“Kamu harus menerima permintaan keluarga Pak Topik. Rus, aku tahu kamu mencintai Anisa. Aku tahu kamu pulang ke rumah karena kamu tak mampu menahan rasa cemburumu kepada Farhan.”

Rusli hanya terdiam, membenarkan ucapan ayahnya.

“Berilah kesempatan Anisa untuk hidup. Biarkan cintamu juga tercurah untuk Anisa.”

Tiga bulan setelah kelahiran Ana, putri Anisa, Rusli meminang Anisa. Berkat kesucian cinta Rusli, kondisi Anisa berangsur pulih.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan