“Celurit Emas” yang Mengasah Ketajaman Jiwa

7,720 kali dibaca

CELURIT EMAS

Roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu

Advertisements

Mengadu kehadapan celurit yang ditempa dari

Jiwa. Celurit itu hanya mampu berdiam, tapi

Ketika tercium bau tangan

Yang

Pura-pura mati dalam terang

Dan

Bergila dalam gelap

Ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang

Meski ia menyesal namun gelombang masih

Ditolak singgah ke dalam dirinya.

Nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena

Celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari

Akan mengasahnya pada halaman-halaman

Kitab suci.

Celurit itu punya siapa?

Amin!

(Dari buku kumpulan puisi D. Zawawi Imron, Kumpulan Puisi Celurit Emas, 2012, Said Abdullah Institute, Sumenep)

Secara sintaksis celurit adalah senjata tajam (sajam) orang Madura dengan berbagai kebutuhan. Umumya, celurit (are’) digunakan untuk menyabit rumput (sabit), meribas daun-daunan, atau memotong dahan dan ranting. Tersebab oleh alat yang bersifat tajam, maka kemudian celurit ini digunakan sebagai senjata, dan bahkan sebagai simbol kejantanan oleh sebagian masyarakat Madura.

Namun, seperti yang diungkapkan oleh pencipta puisi ini, D Zawawi Imron yang dijuluki Si Celurit Emas, di dalam sebuah “anjangsana“; Proses Kreatif D Zawawi Imron disampaikan pada pembacaan sajak-sajak Celurit Emas, pada tanggal 22 November 1984, di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di dalam anjangsana ini Zawawi mengatakan:

“Tetapi Celurit Emas bukan lambang kejantanan. Celurit senjata tradisional Madura itu sudah saya hancurkan, saya lebur dalam kawah religiusitas dan spiritual saya, lalu saya campurkan dengan tangis orang-orang terhina, saya luluhkan dengan jiwa dan darah para pahlawan dan berjuta kasus kemanusiaan lainnya sehingga menjelmalah dari celurit (itu) kebijaksanaan.”

Celurit dengan simbol kejantanan bagi masyarakat Madura telah hancur. Tepatnya dihancurkan oleh D Zawawi Imron. Sekarang, celurit itu telah bersatu padu dengan rakyat jelata, mencoba menangkis kemiskinan, dan berusaha untuk lebur bersama jiwa dan darah para pahlawan. Selanjutnya, Zawawi mengatakan:

“Kalau Celurit Emas itu dihantamkan kepada orang yang benar, jangankan terluka merasa sakit pun tidak. Tapi kalau terhadap pengkhianat, pemeras, penindas, penghisab, dan sebangsanya, maka Celurit Emas itu akan terbang tanpa disuruh, dan ia akan menyelesaikan persoalan sesuai dengan hakikat kebenaran. Ia dirindukan orang-orang sebagaimana orang-orang Kristen merindukan kembali Kristus.”

Jadi, Celurit Emas yang dimaksud adalah sebuah pelambang, simbol dari “hakikat kebenaran”. Benar saja, bahwa celurit —senjata orang Madura— ini telah hancur, lenyap, dan tiada membekas. Arti harfiah (mimesis), visual fisik dari celurit telah musnah, dalam arti sebagai lagak kejantanan, dan atau untuk melukai orang lain.

Memakna-tafsirkan sebuah puisi diperlukan imajinasi yang komprehensif, menyeluruh, dan referensif sekalipun hanya dengan cara membaca ulang puisi yang akan kita “bahasakan”. Hal ini akan membentuk sebuah kepaduan makna, sekaligus bentuk pemaparan asosiasi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sebuah nilai karya sastra.

Seperti yang dijelaskan oleh Prof Dr Suminto A Sayuti, di dalam bukunya Berkenalan dengan Puisi, terbitan Gema Media 2008, bahwa bahasa puisi digolongkan menjadi: 1) ekspresif, yaitu tepat (mampu) memberikan (mengungkapkan) gambaran, maksud, gagasan, perasaan; 2) asosiatif, yaitu tautan di dalam batang tubuh puisi, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik; 3) simbolik, yaitu sebagai pelambang atas makna konotatif yang relevan; 4) magis, yaitu adanya kekuatan makna puitika yang bersifat ghaib, di luar jangkauan logika ilmiah.

Pada puisi Celurit Emas, Zawawi telah merangkum formula bahasa puisi yang mencakup keseluruhan aspek tersebut. Maka, jabaran puisi ini akan erat terikat dengan makna pelambang, makna kias, makna metafor, dan makna personifikatif.

“Celurit” sebagai Sosok Mufti

Sebagai seseorang yang punya kharismatik tinggi, ini tercermin dari kalimat: “Roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu/ Mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari/ Jiwa. Celurit hanya mampu berdiam, tapi/ Ketika…”  Kalimat “mengadu ke hadapan celurit” secara mimesis begitu nampak bahwa “celurit” itu adalah sosok yang diharapkan mampu memberikan solusi. Sebuah pelambang atas orang yang didengar nasihatnya, bisa seorang ulama, ustadz (guru), pendeta, biksu, atau bahkan “orang pintar” sekalipun.

“Roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu”, kalimat ini mencerminkan orang-orang yang kalah, “layu sebelum semerbak.” Biasanya, bunga akan memancarkan harum yang semerbak, jika bunga itu sampai pada tujuan hidupnya. Namun, pada puisi ini bunga itu layu sebelum mampu memberikan harapan keindahan dan suasana yang mengesankan. Orang-orang yang tersingkirkan, terpinggirkan, orang-orang miskin, rakyat jelata, dan yang bersenandung dengan air mata.

Sebagai mufti, orang yang bisa memberikan harapan hidup yang lebih baik, “celurit yang ditempa dari/ Jiwa.” Sebuah bentuk kalimat puisi dengan formulasi enjajemen, yaitu kata/frase yang ditempatkan pada baris berikutnya, padahal masih ada kaitannya dengan kalimat sebelumnya. “Jiwa” adalah kelanjutan dari kalimat di atasnya, tetapi juga dapat dijadikan sebagai penjelas untuk kata berikutnya. “(Jiwa) Celurit itu hanya mampu berdiam.” Jiwa Celurit, atau celurit yang punya jiwa, berarti ada hakikat kehidupan yang menancap di sana. Sehingga celurit itu bukan sekadar celurit, tetapi Celurit Emas” sebagai hakikat kebijaksanaan.

Diamnya “celurit” bukan karena ia tidak bisa berbuat. Namun, diam dimaksudkan sebagai bentuk jiwa yang “mawas”, kerendahhatian, dan tidak congkak atau sombong. “Diam” juga dimaksudkan untuk meditasi, berpikir sebelum mengambil langkah. Dalam hal ini, saya teringat dengan kaidah Arab, tafakkar qabla an tatakallam, berpikir sebelum bercakap (bertindak).

Pada kalimat berikutnya, “celurit” sadar bahwa dirinya diperlukan untuk sebuah “perjuangan”. Kalimat: “Ketika tercium bau tangan/ Yang/ Pura-pura mati dalam terang/ Dan/ Bergila dalam gelap”, selanjutnya, di dalam kalimat ini celurit mengendus bau tangan. Yaitu tangan-tangan yang kotor. Tangan yang diliputi oleh kekejian, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini juga yang digambarkan oleh Zawawi, “yang pura-pura mati dalam terang,” yaitu orang yang mempunyai sikap hipokrit dan munafik. Ya, orang yang pura-pura lapar padahal kenyang. Orang yang pura-pura alim padahal pecundang. Na’udzu billah!

“Dan bergila dalam gelap,” jelas ini adalah perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kalau dalam bahasa K Zainuddin MZ, “menggunting dalam lipatan, sikut kanan sikat kiri,” untuk kepentingan diri sendiri.

Si “Celurit” tahu apa yang harus ia lakukan. Sadar bahwa di hadapannya ada banyak persoalan yang harus dihadapi. Maka: “Ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang/ Meski ia menyesal namun gelombang masih/ Ditolak singgah ke dalam dirinya.” bait ini menjadi penanda bahwa “celurit” tidak akan tinggal diam. Meski ia sedikit menyesal, karena tidak segera bertindak. Namun ia bangga untuk “wangi” yang menunggu.

“Wangi” adalah lambang kejayaan, kemakmuran, keindahan, dan lain sebagainya. Jika perjuangan terus ditegakkan, tanpa mengenal rasa putus asa, maka ia akan menjumpai jiwa-jiwa yang merdeka dari penjajahan bangsanya sendiri, atau bahagia berjumpa dengan Tuhan sebagai “syahid”.  Isy kariman au mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid.

Setelah terjadi perjuangan untuk kemerdekaan jiwa yang dibelenggu oleh air mata, maka terbitlah kejayaan itu meski harus ditebus dengan nyawa. “Nisan-nisan tak bernama bersenyuman, karena/ celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari/ Akan mengasahnya pada halaman-halaman/ Kitab suci.” Nisan tanpa ada nama biasa terjadi di desa-desa. Perjuangan yang tidak harus dirayakan dengan gempita. Mereka “nisan-nisan” itu berkorban tanpa pamrih. Tetapi mereka damai dalam senyum yang indah. Sebab “celurit” yang mengantarkan mereka ke tingkat Maha Cinta untuk berbuat yang terbaik. Celurit itu tetap berkibar sebagai “taring langit”, dan selalu awas terhadap persoalan rakyat jelata.

Celurit itu tetap ada dan selalu ada. Mati satu tumbuh seribu, ada generasi-generasi celurit yang akan menjadi penerus kejayaan dan kemenangan. Celurit tidak akan pernah mati, dan tidak akan pernah mati. Ia selalu jaga dalam setiap selewer waktu untuk memberantas kezaliman dan kelaliman.

“Celurit” adalah untuk siapa saja. Untuk orang-orang yang berada pada jalan kebenaran. Untuk orang-orang yang tersakiti. Untuk orang-orang yang cinta kedamaian. “Celurit itu punya siapa?” sebuah retorik D Zawawi Imron untuk mengatakan bahwa celurit itu milik semua orang. Semoga celurit tetap menjadi “taring langit” dan “terasah melalui kitab suci.”

Celurit sebagai Nilai Karakter

Sebenarnya “celurit” juga bisa diperlambangkan sebagai sebuah karakter. Karena, menurut Zawawi, Celurit Emas itu adalah hakikat kebenaran. Jika ia merupakan sebuah kebenaran, jiwa yang benar, karakter yang benar, maka celurit adalah sebuah karakter/sifat.

Sebagai karakter/siafat, “celurit” dapat dilambangkan sebagai sebuah ketegasan, tidak ada rasa takut (saja’ah) untuk sebuah kebenaran. Sifat, sikap, dan karakter ini akan menjadi milik siapa saja, mereka yang berkomitmen untuk membangun kemakmuran masyarakat. Dengan karakter “celurit”, siapa pun berhak untuk tampil membela yang benar, menuju kemenangan yang hakiki.

Penutup

Kumpulan Puisi Celurit Emas oleh D Zawawi Imron ini adalah buku puisi yang fenomenal. Tahun 1990, Celurit Emas dan Nenek Moyangku Air Mata mendapat penghargaan buku terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ini —mungkin— yang juga membuat saya bergairah dan bersemangat untuk menulis ulasan sekilas ini.

Meski sangat tidak mudah, akhirnya saya bisa menyelesaikan naskah ini dengan segala kenaifannya. Hal ini saya maksudkan sebagai pembelajar untuk belajar menjadi orang terpelajar dan suka belajar. Memerlukan waktu, pikiran, dan usaha yang tidak gampang untuk menyelami apa di balik puisi D Zawawi Imron. Puncaknya pun tidak berarti bahwa naskah ini mencapai nilai kesempurnaan.

Celurit Emas paling tidak telah membawa saya pada sebuah realita kehidupan di Madura. Tempat saya lahir dan besar, tampat saya menempa diri dengan celurit (bukan emas). Celurit secara makna hakiki telah menjadi keseharian hidup saya untuk mencari bekal hidup dan kehidupan.

Celurit Emas (benar-benar pakai emas) bagi saya adalah sebuah simbol untuk tetap memiliki jiwa ketegasan dalam menata kehidupan melalui jalur kebenaran. Semoga tulisan ini memberikan wacana kearifan untuk tetap berbuat yang benar dan menyingkirkan yang tidak benar. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan