Catatan tentang Demokrasi Kita Kini

226 kali dibaca

Sebuah buku tipis karya Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita agaknya perlu kita buka-buka dan baca kembali untuk memahami situasi dan kondisi demokrasi Indonesia kini.

Buku Demokrasi Kita tersebut sepertinya lebih tepat disebut semacam “catatan” (karena tipis sekali) untuk demokrasi, yang ditulis Bung Hatta untuk “mengingatkan, menegur, menasihati” ketika demokrasi mulai terancam, ketika itu. Teks tersebut ditulis pada tahun 1960 dan dimuat di majalah Islam yang dipimpin oleh pengarang dan pemikir, Buya Hamka, yaitu Pandji Masjarakat.

Advertisements

Pandangan politik yang dikemukakan Bung Hatta dalam tulisannya itu segera mendapat sambutan dari peminat dari dalam maupun luar negeri (menurut kata pengantar buku yang ditulis oleh Hamka). Tetapi, terbitnya tulisan Bung Hatta tersebut membuat majalah Pandji Masjarakat dilarang terbit. Juga keluar larangan dari pemerintahan Soekarno untuk membaca, menyiarkan, bahkan menyimpan buku itu.

Sungguh mengherankan, pandangan Bung Hatta, salah seorang Proklamator Kemerdekaan Indonesia yang juga sahabat karib Bung Karno (presiden) sekaligus wakil presiden, yang dituangkan dalam tulisan, dilarang keras bahkan yang menyimpan buku tersebut diancam hukuman.

Aneh bin ajaib, jika kita hendak menalar apa yang terjadi dengan dua karib itu. Kita sulit membayangkan bagaimana kawan dekat menjadi lawan, tentu saja terasa di luar akal sehat. Walaupun dalam politik hal itu wajar saja, seperti potongan puisi WS Rendra; karena politik tidak punya kepala/tidak punya telinga/tidak punya hati/politik hanya mengenal kalah dan menang/kawan dan lawan/peradaban yang dangkal//.

Kejadian serupa sepertinya kembali terulang pada tiap pergantian kekuasaan, suatu keadaan yang saya sebut “kegamangan politik”, karena berbagai tekanan dari dalam maupun luar, tetapi tidak ada kesolidan untuk menghadapi itu bersama.

Kita tahu ketika membaca sejarah pasti akan menemukan jawaban atas pertanyaan, mengapa pemimpin melakukan sesuatu hal dan bukan lainnya. Tentu yang dilakukan seorang pemimpin  ada alasannya, bisa bermaksud baik bisa juga tidak, dan apa pun itu akan dinilai kemudian sebagai prestasi atau dosa. Penilaian tidak bisa tidak pasti ada, dan sebagaimana manusia tentu ada kelebihan dan kekurangan, begitu juga pemimpin.

Tetapi yang sering terjadi, seperti yang ditulis Bung Hatta dalam bagian awal bukunya, adalah pertentangan antara idealisme dan realita. Jadi, selalu ada jarak antara yang ideal dan kenyataan, tetapi bukan berarti yang ideal dan telah disepakati dihapus hanya karena kenyataan tidak memungkinkan.

Atau, malah masalahnya adalah karena yang ideal di kepala orang itu tidak pernah sama? Artinya, tidak ada yang tahu apa itu demokrasi dan bagaimana idealnya, sehingga tidak bisa dijalankan. Atau tahu, tetapi karena “keadaan darurat” atau “mendesak” sehingga perlu dikorbankan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat sulit dijawab. Karena tentu kenyataan yang dihadapi sangat mempengaruhi sikap dan cara-cara yang diambil oleh si subjek. Tetapi, tindakan apa pun yang diambil si subjek itu kemudian akan dinilai, pasti, tidak bisa tidak.

Kita bisa membaca situasi tentang demokrasi kita (bahkan dunia) lewat buku-buku sejarah yang kredibel (bukan bikinan penguasa, tetapi terutama hasil penelitian betulan dari kalangan peneliti dan sejarawan yang kompeten).

Dalam sejarah kita tahu, jika seorang pemimpin bertindak terlalu jauh atau keluar pakem, tentu saja menjadi perkara yang malah berdampak buruk. Dan hal itu dalam sejarah telah dicontohkan dalam kasus Bung Karno (Orde Lama), juga kemudian Soeharto (Orde Baru).

Selain persoalan etis (bukan aturan tertulis, tetapi sangat penting dalam menjalankan politik) dan normatif (tertulis, mengikuti aturan), tentu saja ada faktor lain yang lebih kuat sebagai pendorong dan penggerak sebuah perubahan, yaitu masalah sosial ekonomi (kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama, misalnya) dan “wong cilik” yang direpresentasikan oleh agen mahasiswa.

Kita telah melihatnya dalam sejarah Orde Lama dan Orde Baru ke era Reformasi, walaupun agen perubahan tidak bergerak sendiri, ada unsur lain, juga perubahan tidak selalu kualitatif, malah masih sebatas kuantitatif saja.

Balik ke Bung Hatta dan tulisannya tadi, baru pada tahun 1966 buku Demokrasi Kita kembali bisa diterbitkan, karena Angkatan 66 menuntut keadilan dan menentang kezaliman. Pemimpin majalah Pandji Masjarakat, Hamka, juga telah dibebaskan pada 26 Mei 1966, pasca Tragedi 65. Fitnah yang diumpan kekuasaan dimakan kelompok masyarakat tertentu. Ketika itu banyak peristiwa bergulir dan memakan korban. Banyak intelektual yang dipenjarakan pemerintah tanpa alasan. Banyak juga orang mati tanpa pengadilan.

Agaknya kebiasaan buruk fitnah-memfitnah itu masih saja berkembang hingga hari ini, dan itu tentu mengkhawatirkan. Sebab, seolah tidak ada logika yang benar dan hukum yang adil untuk memeriksa fakta dan kebenaran. Ketika logika yang benar dan hukum yang adil tidak bisa diterima berbagai kalangan, karena satu dan lain hal, maka akan lahir kekacauan.

Pertanyaannya, apa yang terjadi? Mengapa tiap kali kekuasaan hendak berganti selalu muncul problem yang nyaris serupa? Inilah soal besar yang sukar dijawab.

Saya akan mencoba membicarakan secara kecil-kecil untuk membaca keadaan sekarang, yang menurut saya tidak jauh berbeda inti masalahnya dengan apa yang telah diungkapkan Bung Hatta dalam catatan demokrasinya itu.

Padangan Bung Hatta bahwa pertentangan antara idealisme dan realita yang ketika itu menjadi topik pembuka tulisannya, bagi saya masih relevan hingga sekarang. Bung Hatta menulis begini dalam bagian awal bukunya (sub pembuka berjudul Demokrasi Kita):
“Sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme yang bertujuan menciptakan suatu pemerintahan yang adil, yang akan melaksanakan demokrasi sebaik-baiknya, dan kemakmuran sebesar-besarnya.
Sementara realita saat ini, pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.”

Artinya, Bung Hatta berdiri di posisi idealisme, dan yang sedang beliau kritik adalah realita pemerintah yang saat itu sedang bertindak menjauhi demokrasi.

Kita melihat kemiripan yang sama dengan kondisi hari ini, posisi idealisme ada pada para terpelajar, intelektual kampus (dosen dan mahasiswa), akademisi, peneliti, intelektual bebas, para tokoh demokrasi dari luar kampus, yang notebene adalah kelas menengah, yang merespon realita pemerintah yang semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi.

Apa indikasi yang jelas menurut Bung Hatta, bahwa telah terjadi kondisi “menjauhi demokrasi” (istilah yang digunakan Bung Hatta pun masih santun, jika dibandingkan kritik-kritik yang lain). Kita bisa lihat tulisan lanjutannya begini (sub Tindakan-Tindakan Presiden):

“Apalagi sejak dua-tiga tahun terakhir ini, terlihat benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Presiden yang menurut Undang-Undang Dasar 1950 adalah presiden konstitusional yang tidak bertanggung jawab atas pembentukan kabinet, dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatur cabinet. Dengan itu, dia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab tetapi tidak memikul tanggung jawabnya.

Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja oleh parlemen, dengan tidak menyatakan keberatan yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden dengan dalil “keadaan darurat.”

(Saya tidak akan mengutip teks-teks yang terlalu panjang, apalagi keseluruhan isi bukunya, jelas akan terlalu panjang. Silakan nanti bisa dibaca sendiri buku aslinya, bisa didownload di internet atau lebih bagus beli di toko buku online. Saya hanya akan membicarakan bagian awal buku tersebut, dan beberapa hal yang saya anggap penting saja.)

Ketika membaca potongan di atas, kita akan merasa ada kemiripan dengan apa yang terjadi hari-hari ini? Begitu, bukan? Jelas. Apalagi ketika disebutkan angka sepuluh tahun, dan dua-tiga tahun terakhir, bukankah sikap Presiden (Joko Widodo) dan pemerintahannya nyaris berubah dalam kurun waktu serupa?

Maksudnya, saya merasa angka-angka tersebut sebagai semacam “siklus” yang bisa terulang jika bangsa Indonesia tidak belajar untuk menghindar agar “tidak jatuh di lubang yang sama”.

Bangsa Indonesia harus mau belajar agar tidak mengalami kembali “krisis moral” yang sama, dan “krisis ekonomi” yang sama.

Kemudian ada frasa “dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja”, lalu frasa “dengan dalil “keadaan darurat””, dan seterusnya, sama dengan fenomena seputaran penyelanggaraan Pemilihan Umum 2924, terutama pada Pemilihan Presiden.

Walaupun tentu saja soalnya (konteksnya) lain dengan yang terjadi ketika masa Soekarno dulu, tetapi intinya toh sama, yaitu menjauh dari nilai-nilai demokrasi.

Malahan kalau mengikuti pandangan Gus Ulil, kita menemukan frasa “demokrasi dikorbankan”, artinya bukan hanya menjauh, tetapi demokrasi sudah “dilukai”, entah kalau kita pakai imajinasi, bisa muncul pertanyaan, seperti; apakah dicincang, disembelih, dan seterusnya.

Kalau kita baca lagi buku Bung Hatta; Demokrasi Kita, kita akan menemukan frasa “semua anggota ditunjuk oleh Presiden”. Bukankah menjadi terang bahwa sikap presiden yang berlebihan dan sampai melanggar undang-undang itu sudah menyalahi demokrasi? Itulah sebabnya, para dosen, terutama almamater Pak Jokowi, UGM, menegur dengan teguran yang lembut dan kemudian makin mengeras karena mereka (para dosen dan guru besar) menanggap bahwa Presiden telah “keluar jalur”, yaitu menjauh dari nilai-nilai demokrasi.

Bung Hatta juga menyinggung soal tugas DPR yang dianggapnya tidak berjalan sesuai dengan benar sesuai dengan fungsinya dalam demokrasi, mengakibatkan kondisi demokrasi semakin jatuh merosot dan terjerembab luka parah. Bahkan waktu itu, Bung Hatta telah menulis yang menggambarkan kondisi bagaimana respons orang-orang atas kemerosotan demokrasi itu, begini:

“… banyak orang menyangka demokrasi lenyap dari Indonesia. Tetapi itu tidak benar.”

Kemudian beliau melanjutkan;

“Demokrasi kita tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan.”

Bung Hatta berpandangan bahwa demokrasi telah mengalami krisis, tapi tidak mati. Demokrasi tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, kesalahan pemimpin yang berasal dari rakyat, atau kesalahan rakyat keseluruhan?

Frasa “kesalahannya sendiri” terasa sangat abstrak, tidak jelas, seolah Bung Hatta ingin mengatakan bahwa, Soekarno tidak salah (Bung Hatta mau membela sahabatnya itu), tetapi memang sistem demokrasi begitu, ada jatuh ada bangun.

Hal senada dengan Bung Hatta juga diucapkan oleh Gus Ulil dalam beberapa pernyataannya di kanal Youtube. Demokrasi tidak mati, hanya krisis. Jika tengah terjadi “krisis demokrasi”, mengapa justru demokrasi yang dikorbankan? Apakah tidak ada cara lain, misalnya, mengorbankan jabatan dan kekuasaan, mengembalikannya ke rakyat atau ke pengelolaan yang benar dan masuk akal?

Di situlah tidak ada jawaban. Hanya frasa “krisis demokrasi” dan “demokrasi dikorbankan”, keduanya (Bung Hatta dan Gus Ulil) sama-sama mengatakan “demokrasi belum mati”.

Frasa-frasa itulah yang kita temukan, tetapi tidak jelas apa sebenarnya yang terjadi, krisis itu terjadi karena apa, yang krisis demokrasi atau bangsa ini, tidak pasti. Jika krisis, yang dikorbankan itu demi apa, tidak jelas. Apakah lalu frasa lain yang dijadikan dalil, “keadaan darurat”, tapi darurat apa? Tidak pernah menjadi jelas soal itu, yang tersisa kini hanya pertanyaan besar, serumit itukah menjalankan demokrasi dengan benar?

Bagi saya, apa yang tengah terjadi sekarang, dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, intelektual, akademisi, mahasiswa, ulama, tokoh-tokoh lainnya, sudah memang itulah yang terjadi. Mereka menjalankan perannya masing-masing untuk saling “menjaga”, ada yang menjaga “masyarakat”, menjaga “nilai demokrasi”, menjaga “hati nurani”, tetapi di sisi lainnya ada juga yang tengah menjaga “kekuasaan”, “uang”, “kepentingan”, “jabatan”.

Lagi-lagi ada yang punya idealisme, ada yang takluk pada realita. Ada yang realitanya cuma oportunis dan mengikuti ambisi, ada yang menginginkan kedamaian, ada yang diam-diam mengambil keuntungan, ada yang masih berharap Indonesia baik-baik saja tanpa harus terlibat, dan sebagainya .

Ya, itulah yang sedang terjadi, dan nanti waktu yang akan berbicara selanjutnya, sampai di mana kebenaran perlu dikoreksi ulang. Apakah setelah pengalaman pahit, kita bangkit dengan penuh keinsyafan, seperti kata Bung Hatta, atau malah mengulang kesalahan yang sama di masa depan? Entahlah. Waktu juga yang akan menjawabnya.

Sebagai catatan kecil, tulisan ini tidak berniat menjawab apa-apa persoalan, tidak juga memihak atau menyalahkan pihak tertentu. Saya hanya ingin mengajak agar kita membaca kembali pemikiran Bung Hatta dan catatan kritisnya. Ya semuanya saja membaca, agar terlihat jelas apa yang penting dan harus dikerjakan ke depan.

Tetapi jika memang realita belum memungkinkan karena satu dan lain hal, atau belum ada kemauan, atau belum insyaf,  ya bagaimana menjembatani agar demokrasi berjalan dengan baik; idealisme jalan, tetapi realita juga seiring, bukan malah saling menegasi, karena “sesuatu yang disembunyikan”, misalnya, entah apa itu. Terbuka saja sekarang, pemerintah harus benar, rakyat harus dididik dengan matang, partai, DPR, juga berjalan di jalurnya, tentu akan ditemukan titik terang, dan demokrasi bukan lagi suatu ancaman, tetapi permainan yang dimainkan dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan sebanyak-banyaknya manusia. Wassalam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan