Catatan Bedah Buku Sastra Pesantren

895 kali dibaca

Bedah buku Sastrawan Santri (Etnografi Sastra Pesantren) yang ditulis oleh Raedu Basha, melahirkan sebuah pemahaman lebih luas tentang sastra pesantren, khususnya Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Bertempat di Kafe Tabularasa, Sumenep, Kamis, 3 Desember 2020, bedah buku ini dihadiri kalangan santri, alumni pesantren, pegiat pesantren, dan tokoh-tokoh sastra lainnya. Buku yang berasal dari tesis ini memang membincang tentang eksistensi sastra pesantren, atau santri yang menjadi sastrawan.

Sastrawan Santri termasuk buku yang ekseklusif fenomenal karena mendapat penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur. Sebuah penghargaan bergengsi untuk sebuah buku yang tidak banyak atau untuk mendapatkannya memerlukan penilaian yang transenden (luar biasa dan bermakna). Seperti yang diungkapkan oleh penulisnya sendiri, Raedhu Basha.

Advertisements

“Saya inginkan dari buku ini sebuah nilai pustaka yang tidak biasa, buku ekseklusif, imanen, dan transenden,” kata Raedu Basa ketika mengulas tendensi lahirnya buku ini.

Sebelum itu, seorang cerpenis, Juwairiyah Mawardi, sebagai pembedah buku pertama mengungkapkan bahwa dari buku ini dapat dipahami tentang keberadaan sastrawan yang lahir dari pondok pesantren. Khusus Pesantren Annuqayah, cerpenis dengan segudang karya ini menjelaskan, telah lahir sastrawan-sastrawan baik tingkat regional maupun nasional.

“Di pesantren Annuqayah sangat mudah sekali terjadi iklim sastra. Hal ini (mungkin) dikarenakan sejak awal di lingkungan pesantren ini sudah dibiasakan kegiatan yang bernilai sastra. Seperti pembacaan tahlil, dibak, barzanji, berbagai nadzaman, bahkan yang mengarah langsung kepada sastra; puisi, sudah sangat dekat dengan keseharian santri,” demikian menurut perempuan yang saat ini menjadi pengajar di PP Annuqayah dan PP Al-Amin, Prenduan, Sumenep, Madura.

Lebih jauh, Juwairiyah Mawardi mengatakan bahwa santri secara fisik memang seakan-akan “terpenjara”. Namun secara mental, imajinasi, mereka bebas menjelajah ke relung antah berantah kehidupan. “Secara fisik santri Annuqayah terkekang dan terpenjara. Namun imajinasi mereka bebas berkeliaran ke mana-mana, jelas Juhairiyah dengan semangat meskipun kegiatan ini ditimpa rintik hujan malam.

Tetapi, masih menurut perempuan yang banyak menjadi mentor kepenulisan di berbagai grup literasi, yang nampak terlihat dari buku Raedhu Basha ini adalah santri laki-laki. Sedangkan, santri perempuan yang nyastra belum terekspos, yang kemungkinan disebabkan sulitnya akses ke lingkungan pesantren putri.

Sementara itu, KM Faizi, pembedah buku kedua, yang merupakan Pengsuh PP Annuqayah daerah Alfurqan, memberikan beberapa pandangan terkait buku Sastrawan Santri ini. Dalam pemaparannya, kiai yang sastrawan ini menjelaskan bahwa ada beberapa catatan dari buku ilmiah ini. Ada catatan baik, meragukan, dan kesalahan.

“Setelah saya baca, ada beberapa catatan yang perlu saya berikan, baik berupa catatan shohih (baik), meragukan, dan kekeliruan,” kata kiai yang selalu tampil bersarung dan berkopyah ini. Ia juga memberikan beberapa contoh dari ketiga catatan yang dimaksud.

Selanjutnya, KM Faizi melihat dari aspek keilmiahan. Menurutnya, buku Sastrawan Santri ini masuk dalam kategori karya sastra ilmiah. Sebuah karya cipta buku yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Dan memang, buku ini lahir dari sebuah tesis, sehingga nilai akademik dan ilmiahnya benar-benar terlihat. Apalagi, buku ini ditulis dengan teknis penelitian dengan banyak lampiran untuk mendukung akurasi dan validitas sebuah karya.

“Buku ini termasuk karya sastra ilmiah, secara akademik dapat dipertanggung-jawabkan,” demikian menurut kiai yang juga sudah menerbitkan banyak buku, baik sastra mapun ilmiah.

Raedu Basha, sebagai penulis buku Etnografi Sastra Pesantren ini, mengatakan, bahwa untuk menerbitkannya memerlukan energi yang luar biasa. Ketika disinggung oleh Mas Anton WR, sastrawan Sumenep, Madura, yang sudah malang melintang di dunia literasi bahwa variable buku ini kurang jauh ke belakang.

“Seandainya buku ini mengambil data lebih jauh ke belakang, pastinya akan diperoleh nilai sastra yang lebih dahsyat,” begitu menurut Mas Anton ketika berkesempatan untuk menanggapi buku sastra ilmiah ini dalam sesi dialog.

Oleh karena sudah menghabiskan energi habis-habisan, penulis yang punya penerbit Ganding Pustaka ini mengharap, agar ada generasi berikutnya yang melanjutkan buku senada, tentang sastra pesantren. “Saya berharap ada yang melanjutkan buku ini, agar nilai sastra pesantren semakin terlihat dan teraktualisasi.”

Begitulah bedah buku kali ini, yang dikomandani oleh Iva Misbah, dihadiri oleh sekitar seratus peserta dari berbagai kalangan. Diskusi buku dikemas dengan bincang santai, tidak terjadi parsialis yang cukup kentara antara pembicara dan audiens. Sehingga, ketika terjadi tanya jawab, tanggapan-tanggapan, terjalin dengan sangat akrab dan familiar. Hingga malam berlarut, berakhir sekita jam 23.00 WIB, kami para peserta tetap antusias dan mengikuti acara yang dimulai dari pukul 19.30 ini dengan penuh semangat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan