CATATAN 2th DUNIASANTRI: SETELAH HARI INI…

986 kali dibaca

Ini sebenarnya semacam catatan pribadi, benar-benar bersifat pribadi. Namun karena ada hubungannya dengan duniasantri, baik itu konteks jejaring duniasantri maupun duniasantri.co, maka tak ada salahnya diunggah di sini. Agar, kelak, ia bisa menjadi bagian dan melengkapi rekaman sejarah keduanya.

Tentu, sebagai catatan pribadi, ia berangkat dari sudut pandang saya. Teman-teman yang lain di duniasantri tentu punya sudut pandang yang berbeda, dan pasti akan saling melengkapi.

Advertisements

Yang pasti, saya merasa, ketika pada hari ini, 17 Agustus 2021, duniasantri genap berusia dua tahun dan berkembang demikian pesat, semata-mata karena campur tangan Tuhan. Sebab, hingga sebelum dua tahun lalu, tidak semua dari lima orang pendiri jejaring duniasantri saling mengenal secara langsung —begitu pula dengan para pengurus jejaring duniasantri lainnya. Tapi, ketika untuk kali pertama bertemu lalu berkumpul, saya merasa bahwa kami adalah orang-orang yang sudah sedemikian lama saling merindukan.

Begini ceritanya: saya punya kawan sangat dekat, bahkan sudah seperti saudara sendiri, Daniel namanya. Kami berdua tergolong orang yang “tak bisa diam”. Kami selalu punya apa yang disebut “proyek coba-coba” — selalu mencoba membuat “kesibukan” baru tanpa banyak menimbang seberapa jauh hasilnya nanti. Terutama yang berhubungan dengan teknologi informasi dan literasi.

Suatu hari, sekitar akhir Juni 2019, dia menembakkan ide gila. “Bro, kita bikin website untuk kalangan muslim yuk.” Saya tak lekas merespons ajakannya itu. Sebab, situs berbasis web yang seperti itu —bercorak atau berlatar Islam dan keagamaan—  memang sudah berjibun di Internet.

Rupanya dia tak patah semangat menembakkan ajakannya itu. Setelah tiga kali idenya ditembakkan, barulah saya bereaksi. Setelah melakukan riset kecil-kecilan, muncullah gagasan membuat situs web berita dengan konsep citizen journalism. Citizen dalam konsep ini rupanya mengarah ke komunitas santri. Kenapa? Sebab, basis terkuat Islam Nusantara adalah kaum santri, namun sampai dengan saat itu belum banyak yang memanfaatkan produk teknologi informasi sebagai media syiar.

Lima Pendiri

Setelah itu, kami melakukan pembelian beberapa domain web, salah satunya adalah www.duniasantri.co. Dengan latar belakang jurnalis, saya kemudian mengonsep rancangan isinya laiknya situs web berita namun dengan konsep citizen journalism. Tapi bagaimana merealisasikannya, itu persoalan lain lagi.

Suatu hari saya kongkow di kios buku Cak Tarno. Kawan dekat saya ini, juga sudah seperti saudara, punya kios buku di kampus Fakultas Ilmu dan Budaya Universitas Indonesia. Kios bukunya memang menjadi titik temu literasi dari berbagai kalangan. Maka, jika sedang luntang-lantung, ke sanalah saya menghabiskan waktu.

Hari itu Cak Tarno memuntahkan unek-uneknya tentang pesantren, salah satunya soal wisata pesantren. “Stop!” saya langsung menghentikan ucapannya. Cak Tarno ini tergolong orang yang susah berhenti kalau sudah ngomong. Lalu saya menyodorkan konsep duniasantri itu kepadanya.

Ia terbelalak. “Kita memerlukan orang yang memiliki jaringan kuat di pesantren,” katanya.

Cak Tarno kemudian menyodorkan dua nama: Bisri Effendy dan Ngatawi Al-Zastrouw. Cak Tarno akhirnya menjadi simpulnya. Sebab, saya dan Daniel secara pribadi belum pernah kenal keduanya secara langsung, secara fisik. Dan sudah pasti mereka juga tak mengenal saya.

Beberapa hari kemudian, tepatnya 18 Juli 2019, Cak Tarno mengajak saya ke rumah Pak Bisri —begitu kami biasa memanggilnya. Hari itu saya merasa baru bertemu kawan lama. Saya teringat beberapa kawan yang sering bertanya tentang sosok Pak Bisri ini. Beberapa kawan itu kaget karena saya tak mengenalnya secara langsung, secara pribadi. Padahal, di kampung halaman ternyata kami bertetangga. Di Depok pun kami juga bertetangga. Dunia yang digeluti pun tak jauh-jauh beda. Tapi begitulah kenyataannya.

Hari itu untuk kali pertama saya mengenalnya secara pribadi. Kami bertiga akhirnya mendiskusikan tentang rencana duniasantri. Saya melihat Pak Bisri cukup bungah dan bergairah akan ide ini.

Sekitar dua hari kemudian, Cak Tarno mengajak saya ke rumah Kang Zastrouw — begitu kami biasa memanggil budayawan nahdliyin ini. Saat itu, saya mengajak serta Daniel. Di tengah perjalanan, kami berhenti di pinggir jalan, membeli durian. Dua buah. Begitu masuk rumah Kang Zastrouw, durian itulah yang pertama kami sodorkan.

“Tidak dibungkus kardus kan? Aku tak mau kardusnya, loh.”

Celetukan Kang Zastrouw itu membuat kami berempat, yang sebelumnya tak saling mengenal, langsung terbahak-bahak. (Begitulah gaya santri menertawakan kasus korupsi dengan bumbu cerita “kardus durian”). Kami pun menikmati durian sambil ngobrol ngalur-ngidul.

Entah karena duriannya atau oleh spirit dan pemikiran yang sama, seperti halnya Pak Bisri, Kang Zastrouw juga sangat bungah dan bergairah menyambut ide duniasantri ini.

Setelah itu, pada 29 Juli 2019 kami berkumpul secara lengkap, berlima: Pak Bisri, Kang Zastrouw, Cak Tarno, Daniel, dan saya. Tempatnya di pinggiran kolam renang Hotel Margo Depok. Bukan untuk berenang, tentu. Di situlah, kami berlima bersepakat, ber-nawaitu, akan bertindak sebagai pendiri sebuah yayasan yang nantinya diberi nama jejaring duniasantri, yang salah satu agendanya adalah mengelola situs web www.duniasantri.co.

Gerakan Santri Menulis

Karena dirancang sebagai sebuah gerakan, para pendiri ini tidak mungkin menjalankan jejaring duniasantri hanya berlima. Paling tidak, kepengurusan yayasannya harus lengkap. Maka muncullah nama-nama yang disodorkan oleh Pak Bisri dan Cak Tarno, seperti Pak Wawan (M Leylana Hermawan), Atiqatul Fitriyah, Khanifah, dan Kheisya. Nanti, belakangan muncul nama-nama lagi seperti Dody Lesmana, Auniya Firza Fajry, Alfian S Siagian, Irfan Maullana, dan Syahid Salahuddin.

Di antara nama-nama itu sebelumnya juga tidak saling mengenal kecuali pengusulnya. Tapi, begitu berkumpul secara lengkap, seperti disebutkan di awal, kami serasa sebagai orang-orang yang sudah begitu lama saling merindukan. Langsung klop. Ngeklik. Kami langsung ngegas, seperti pelari maraton.

Maka, hari ini, dua tahun lalu, 17 Agustus 2019, untuk kali pertama kami memotong tumpeng sebagai tanda syukur atas lahirnya jabang bayi yang bernama jejaring duniasantri (JDS). Hari itu juga, untuk kali pertama, situs web www.duniasantri.co diluncurkan ke publik melalui jaringan Internet.

Banyak ragam agenda dan program yang kemudian akan dijalankan JDS, mulai dari pengembangan literasi santri, ekonomi pesantren, hingga tradisi dan budaya di lingkungan pesantren. Untuk menjalankan agenda-agenda JDS itu, situs web www.duniasantri.co memang sengaja dijadikan ujung tombak penggeraknya. Karena itu, gerakan JDS dimulai dari pengembangan situs web www.duniasantri.co ini.

Tapi saat itu belum ada yang mengenal situs web www.duniasantri.co ini. Dan tidak mudah untuk membujuk orang, apalagi santri, agar mau menulis atau membuat konten untuk duniasantri.co. Maka, kami sendirilah, di antara pengurus JDS, yang secara bergantian mengisinya dengan tulisan-tulisan seadanya. Dan belum bisa rutin tiap hari mengunggah tulisan baru.

Untuk mendorong minat santri mengisi konten duniasantri.co, akhirnya JDS mulai menggulirkan program yang disebut “Gerakan Santri Menulis”. Melalui gerakan ini, JDS mengadakan pendidikan dan pelatihan (diklat) jurnalistik dan penulisan kreatif khusus untuk kalangan santri.

Dilaksanakan di Rumah Suluk Darussalam Bogor pada 26-27 Oktober 2019, diklat yang pertama ini diikuti oleh sekitar 20-an santri dari beberapa pondok pesantren di wilayah Jabodetabek plus Sukabumi. Jangan dibayangkan para santri berbondong-bondong datang lalu diseleksi hingga tinggal 20-an orang itu. Justru, tidak mudah juga mengajak santri untuk mengikuti diklat ini. Maka, para pengurus JDS mencoba menghubungi pengurus pesantren-pesantren agar ada santrinya yang diutus untuk mengikuti diklat. Bahkan, para pengurus JDS juga menyiapkan kendaraan antar-jemput santri peserta diklat.

Kami semua merasa lega akhirnya kegiatan pertama JDS itu berjalan sukses. Saya bahkan surprised. Kang Zastrouw, yang saat itu sedang di Jombang, Jawa Timur, harus mempersingkat turnya dan terbang ke Jakarta demi santri-santri yang bersedia ikut diklat ini. Beberapa nara sumber, terutama wartawan-wartawan senior dari Harian Kompas, Hilmi Faiq dan Fikria Hidayat, rela berhujan-hujan dan berdingin-dingin di pedalaman Bogor demi berbagi ilmu dengan para santri ini.

Itulah yang membuat saya surprised. Sebagai babakan awal, hasilnya memang belum langsung terasa. Tapi diklat angkatan pertama ini menjadi standar kualitas kegiatan-kegiatan JDS berikutnya. Itulah yang terjadi ketika diklat angkatan kedua dilaksanakan di Lampung, persisnya di Pondok Pesantren Darussa’adah Mojoagung, Lampung Utara.

Ceritanya begini: Nyai Ifa, begitu kami biasa memanggil Khanifah, salah satu pengurus JDS, punya seorang sahabat yang merupakan keluarga pengasuh Pesantren Darussa’adah itu. Setelah dilakukan pembicaraan pendahuluan, pada November 2019 pengurus JDS berangkat ke Lampung untuk melakukan survei.

Sesungguhnya, jika santri mengunjungi pesantren, nomor satu adalah meminta restu kiai dan ngalap berkah. Survei tentu urusan nomor sekian. Itulah yang terjadi ketika rombongan pengurus JDS ke Lampung. Ada Nyai Ifa, Firza, Bang Pi (Alfian Siagian), Pak Wawan, Daniel, Dody, Adli Muaddib Aminan, dan saya.

Di Pondok Darussa’adah, pengurus JDS diterima dengan baik oleh pengasuhnya, KH Muhsin Abdillah dan Gus Hisyamuddin (Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama [RMI] NU Lampung). Kami diterima dan diperlakukan layaknya santri sendiri. Pintu pondok dibuka lebar untuk diklat jurnalistik dan penulisan kreatif duniasantri. Bahkan, Gus Hisyamuddin akan mengundang santri dari seluruh pesantren di Provinsi Lampung untuk menjadi peserta. Tentu saja ini membuat kami bungah dan makin bergairah.

Rupanya, diam-diam, tanpa sepengetahuan yang lain, Nyai Ifa dan Firza telah menyiapkan beberapa botol air mineral. Begitu saatnya pamit tiba, keduanya menyodorkan botol-botol air mineral itu ke hadapan Kiai Muhsin. Kiai Muhsin kemudian merapal doa-doa, dan meniupkannya ke botol-botol itu yang tutupnya telah dibuka.

“Ayolah… cepet diminum airnya. Biar nanti tak usah belajar kalian pasti lulus semua ujiannya.”

Begitulah Bang Pi mengawali guyonan dalam perjalanan pulang. Saat itu, Nyai Ifa dan Firza adalah mahasiswa program pasca sarjana di FIB UI. Sepanjang perjalanan pulang, kami semua banyak tertawa karena itu. Perjalanan yang menyenangkan.

Dan diklat jurnalistik dan penulisan kreatif angkatan kedua akhirnya dilaksanakan pada pada 18-19 Januari 2020. Mengejutkan, karena pesertanya terbilang banyak, lebih dari 60 orang, dan berasal dari berbagai pondok pesantren di Provinsi Lampung seperti yang dijanjikan Gus Hisyamuddin.

Yang menarik, jika pada diklat pertama Kang Zastrouw harus mempersingkat turnya di Jawa Timur, kali ini sebaliknya. Rupanya, beberapa hari sebelumnya, Kang Zastrouw sudah berada di Bandar Lampung untuk berbagai kegiatan, salah satunya memenuhi undangan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dua hari sebelum diklat dimulai baru saya mengontaknya. Saat itu, Kang Zastrouw ternyata sudah pegang tiket untuk pulang ke Jakarta.

“Bagaimana ini, Mas?” katanya kebingungan.

“Ya sampean nunggu di sana,” jawab saya setengah doa, setengah canda.

Yo wes, aku ngalah….”

Demi berbagi ilmu dengan para santri peserta diklat di Lampung itu, Kang Zastrouw menunda kepulangannya, membatalkan tiket pesawatnya, dan memperpanjang hotelnya. Luar biasa. Ini namanya mestakung. Termasuk, ketika teman-teman nara sumber dari Kompas rela berangkat belakangan dengan naik bus Damri dari Gambir ke Lampung, dan tidur di lantai di ndalem Kiai Muhsin berselimut nyamuk. Sudah seperti santri beneran.

Saya benar-benar surprised. Terharu. Mengingatnya, kadang saya harus menyembunyikan keharuan itu. Apalagi, ketika diklat di Lampung usai, kepulangan kami diiringi doa-doa para kiai Pesantren Darussa’adah. Ini membesarkan hati.

Dua angkatan diklat berjalan sama suksesnya. Tapi poinnya adalah, dari dua diklat ini akhirnya mulai terbentuk jejaring untuk duniasantri. Alumni dari dua angkatan diklat ini akhirnya dibuatkan grup khusus di Whatsapp, WAG “Gerakan Santri Menulis”. Mereka juga diminta membuat akun “warga duniasantri” di web duniasantri.co. Beberapa dari mereka akhirnya juga mulai menulis, mengisi konten di duniasantri.co. Bahkan, Muhammad al-Haddad dan Adli, alumni diklat Bogor, akhirnya menjadi bagian dari kepengurusan JDS.

Ditinggal Pak Bisri

Sepulang dari Lampung, JDS sudah bersiap untuk menularkan Gerakan Santri Menulis ke daerah-daerah lain, ke pesantren-pesantren lain. Tapi pandemi keburu mengadang. Maka digunakanlah strategi lain. Gerakan Santri Menulis digulirkan secara virtual dan tematik. Misalnya, ada workshop virtual penulisan cerpen, penulisan opini, penulisan berita, penulisan etnografi, dan lain-lain pada waktu-waktu terpisah.

Tak terbatas pada santri alumni diklat duniasantri, Gerakan Santri Menulis juga terus ditularkan kepada santri-santri di berbagai daerah di seluruh Indonesia melalui jaringan media sosial. Mulanya memang terasa lamban, tapi pada akhirnya strategi ini berhasil menarik minat para santri untuk bergabung dalam Gerakan Santri Menulis.

Hingga hari ini, misalnya, tercatat sudah hampir 500 santri dari berbagai pesantren di Indonesia yang membuat akun “warga duniasantri” di web sebagai kontributor-penulis —meskipun tak semuanya aktif menulis. Dari jumlah itu, karena tak semuanya memiliki aplikasi WA, yang tergabung dalam WAG plus grup Telegram “Gerakan Santri Menulis” sudah hampir 300 santri.

Pada akhirnya saya tahu, duniasantri memang bukan jalan ramai. Bukan jalan raya yang ingar bingar. Ia jalan sunyi. Malah lebih mirip seperti air, yang tak terdengar gemericiknya, tapi tahu-tahu sudah merembes ke mana-mana, ke tempat-tempat yang jauh. Tahu-tahu para santri begitu bergairah dalam menulis.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap gairah menulis di kalangan santri itulah, pada 17 Agustus 2020, JDS meluncurkan dua buku kumpulan tulisan para santri, masing-masing berjudul Dan Sepatu pun Menertawakanku dan Tuhan Maha Rasis?

Hari itu, bersamaan dengan acara potong tumpeng sebagai tanda syukur setahun kelahiran duniasantri, dua buku tersebut secara simbolis di-launching oleh Pak Bisri sebagai Ketua Dewan Pembina jejaring duniasantri. Yang tak kami sadari, ternyata hari itu juga momen terakhir kebersamaan kami dengan Pak Bisri. Sebab, beberapa jam setelah acara potong tumpeng itu, Pak Bisri berpulang ke rahmatullah.

Bagi saya, ini benar-benar setahun kebersamaan. Selama setahun itu, Pak Bisri benar-benar memberikan hampir segalanya buat duniasantri. Ketika baru berdiri dan belum memiliki alamat kantor, Pak Bisri menawarkan rumahnya untuk dijadikan kantor hingga kami menyebutnya “Rumah Merah”— karena catnya berwarna merah.

Pak Bisri pula, dalam usianya yang sudah sepuh, yang aktif memberi contoh dan memupuk gairah bagi yang lebih muda untuk terus menulis. Hampir tiap hari Pak Bisri menyodorkan tulisan baru untuk duniasantri, sambil meng-oprak-oprak yang lain untuk menulis.

“Ifaaaa… mana tulisanmu!” Itu salah satu gaya Pak Bisri mengingatkan kami untuk tak berhenti menulis.

Pak Bisri sepertinya lupa kalau usianya sudah sepuh. Selalu berusaha mengikuti langsung segala aktivitas duniasantri yang terbilang gaspol. Saya sendiri begitu intens berelasi dengan Pak Bisri. Minimal dua tiga kali dalam seminggu kami bertemu, ngobrol apa saja. Sering juga kami berkumpul di rumah Kang Zastrouw, pulang larut malam, saya menjadi sopirnya.

Tapi hari ini, setahun yang lalu, saya masih ingat dengan jelas seperti apa sorot matanya ketika menatap saya untuk yang terakhir kalinya saat saya pamit pulang setelah acara potong tumpeng dan launching buku usai. Serasa ingin menyampaikan sesuatu yang tak terkatakan. Tapi saya tahu hari itu Pak Bisri sedang bahagia. Sangat bahagia.

“Tugas saya sudah selesai, Ma…,” itu kalimat terakhir yang disampaikan ke Iyung, istrinya.

Rupanya kalimat itu tak hanya merujuk pada tugasnya me-launching buku, tapi lebih dari itu. Semua merasa kehilangan, lebih-lebih saya yang baru punya kesempatan setahun mengenalnya. Mengenang sosok Pak Bisri, saya mengalegorikannya ke dalam cerpen Taman Surga —mirip-mirip ketika hampir setahun kemudian saya harus menulis cerpen Surga Maya seusai mengantar Iyung, istrinya, ke pemakamannya.

Tak ubahnya duniasantri ini adalah taman surga terakhir yang dibuatnya, tinggal bagaimana para penerusnya untuk merawatnya. Dan taman surga itu kini telah menjadi milik bersama, tinggal bagaimana kita membuatnya makin berwarna. Makin bermakna.

Setelah Hari Ini

“Tak ada yang bisa menggantikan peran Pak Bisri di duniasantri. Yang ada adalah yang meneruskan perjuangannya, cita-citanya,” begitu kata Kang Zastrouw ketika JDS akan mulai menggulirkan agendanya di tahun kedua tanpa Pak Bisri.

Kemudian dilakukan perubahan struktur kepengurusan JDS. Kang Zastrouw bertindak sebagai Ketua Dewan Pembina JDS. Kemudian kami mengundang Pak Pohan, begitu biasa kami memanggil Halim Pohan, untuk memberikan tambahan energi baru di struktur Dewan Pembina JDS.

Sesungguhnya Pak Pohan ini bukan orang baru di duniasantri. Sebab, tanda tangannya tertera di salah satu dokumen persyaratan pendirian JDS. Dan, rumahnya pun persis berhadap-hadapan dengan Rumah Merah. Kami pun sudah agak lama melirik-liriknya. Sepertinya hal yang sama juga dirasakan Pak Pohan. Dan benar saja, ketika secara resmi kami mengundangnya untuk bergabung dengan duniasantri, Pak Pohan bungah dan merasa diberi kehormatan.

“Saya merasa terhormat diajak duniasantri. Ini merupakan kesempatan emas bagi saya untuk ikut membuat legacy,” demikian kalimat pertama yang diungkapkan Pak Pohan saat resmi bergabung dengan duniasantri.

Apakah setelah hari ini duniasantri akan membuat legacy? Saya tak pernah berani untuk sekadar membayang-bayangkannya. Sebab di duniasantri ini unik, dan untuk itu saya bersetuju dengan apa yang pernah diungkapkan Bang Pi dalam pertemuan rutin di Rumah Merah. Bahwa, kekuatan duniasantri itu adalah jejaringnya, bukan person orang-orangnya.

Itu memang benar adanya. Tak ada penokohan di duniasantri. Tak ada figur sentralnya. Jika ada yang bertanya, siapa tokoh sentral di balik duniasantri, sudah pasti tak ada nama atau alamat yang bisa ditunjuk. Sebab, semuanya semata-mata bagian dari jejaring ini. Saling mengisi, saling melengkapi, saling menggerakkan. Sumber gerakannya adalah setiap gerak dari tiap sel jejaringnya.

Dan itu pula yang saya lihat hari ini. Jejaringnya makin luas, lingkarnya makin jauh. Maka, untuk menjawab pertanyaan apakah setelah hari ini duniasantri akan membuat legacy, semua akan berpulang pada kekuatan dan elan vital jejaringnya. Ya, siapa lagi kalau bukan kalangan santri itu sendiri.

Multi-Page

One Reply to “CATATAN 2th DUNIASANTRI: SETELAH HARI INI…”

Tinggalkan Balasan