Bunglon dan Pohon Wali

1,588 kali dibaca

Bukan karena kepadatan lalu lintas kendaraan yang membuat para sopir enggan memberi ruang seorang kakek yang tampak grogi hendak menyeberang jalan raya itu. Bukan pula karena ketidakpedulian orang-orang yang berjalan di sekitar situ untuk membantu si kakek —karena mereka kelihatan lebih memperhatikan benda di tangan ketimbang keadaan sekitar.

Bukan itu yang menjadikannya terpana; semua itu urusan manusia, bukan urusannya. Terlebih terkait dengan manusia, ia punya pengalaman yang cukup menjengkelkan. Pada satu kejadian, seseorang menangkapnya, menaruhnya di sebuah kotak kaca yang beralas motif abstrak dengan sapuan warna amat banyak—menjadikannya sebentar-sebentar kelimpungan karena harus mengganti sebagian warna kulitnya sesuai warna alas itu.

Advertisements

Sementara, orang itu tampak senang memotretinya dengan gawainya. Untunglah, itu tidak berlangsung lama, entah karena apa, ujuk-ujuk orang itu melepaskannya.

Nah, yang menjadikannya terpana di ujung pagi ini adalah sebatang pohon mahoni yang berdiri di hadapannya itu. Sementara pohon-pohon mahoni yang lain—di kiri-kanan jalan raya itu—tampak subur makmur ijo royo-royo, pohon itu tampak mengenaskan: kering kerontang. Apakah sudah tidak ada kepedulian di antara sesama pohon? Demikian benaknya bertanya-tanya sembari cepat-cepat merangkak, menghindari injakan kaki seseorang yang berjalan di dekatnya.

Si pohon yang ujuk-ujuk mengerti apa yang tengah dirisaukan oleh bunglon itu, tidak dapat menahan tawa. Ini menjadikan bunglon itu sewot, lalu berkata, “Sampean senang ya, melihat saya hampir-hampir gepeng?”

“Bukan karena itu,” jawab si pohon sembari berusaha menghentikan tawanya, “melainkan apa yang tadi sampean pikirkan tentang kami, utamanya tentang saya…”

“Lho, sampean bisa mengerti pikiran saya?”

Ndilallah, ujuk-ujuk saya tahu.”

“Apakah sampean pohon wali?”

“Saya tidak tahu. Bukankah hanya wali yang dapat mengetahui wali? Lagi pula saya hanya sebatang pohon mahoni. Hanya, sekarang saya jadi ingin memberitahu sampean tentang keadaan saya ini, agar sampean tidak berpikir yang bukan-bukan tentang kami…”

“Kalau begitu, beritahu saya…”

“Baiklah. Sebetulnya saya sengaja merontokkan semua dedaunan saya…”

Astaghfirullah! Apa sampean telah edan, bukankah itu bisa membunuh sampean?”

“Dengarkan dulu penjelasan saya. Ini saya lakukan karena pola hidup yang telah saya jalani secara rutin, mulai dari saya kecil sampai sebesar sekarang, entah mengapa, menjadikan saya lambat laun melupakan peran Gusti Allah Ta’ala dalam hidup saya.”

“Maksud sampean?”

“Ya itu tadi, sejak kecil kami—para pepohonan—diajari oleh orang tua kami bahwa kami hanya makhluk ciptaan, hidup-mati kami tergantung pada Dzat yang menciptakan kami: Gusti Allah Ta’ala. Dan kami meyakininya. Kemudian seiring pertumbuhan saya, saya jadi tahu bahwa Gusti Allah Ta’ala membekali saya berbagai potensi untuk menjalani hidup. Di antaranya, kemampuan saya dalam mengolah makanan lewat dedaunan. Hanya, pola yang berlangsung secara rutin ini, lambat laun melenakan saya: kadang saya merasa bahwa saya bisa makan—bisa hidup—karena saya mempunyai dedaunan, bukan karena Gusti Allah Ta’ala…”

Sementara bunglon itu tampak manggut-manggut setengah takjub, pohon itu melanjutkan, “Inilah yang menjadikan saya sengaja merontokkan semua dedaunan saya. Sengaja saya melemahkan diri agar kembali merasakan bahwa semua kekuatan saya dalam menjalani hidup tak lain adalah pemberian-Nya, la khaula wa la quwwata illa billah. Dan, dalam keadaan ini, ketergantungan saya kepada Gusti Allah Ta’ala bertambah kuat. Kemudian, alhamdulillah, sampean lihat, pucuk-pucuk dedaunan pada reranting saya kembali ditumbuhkan-Nya. Dalam kondisi ini, keyakinan saya kepada Gusti Allah Ta’ala pun jadi bertambah…”

Si bunglon terlongong-longong mendengar penjelasan pohon itu hingga membiarkan seekor lalat lewat di depannya. Kemudian saat bunglon itu bertanya, “Lantas, bagaimana jika kelak rutinitas kembali melenakan sampean?” Si pohon menjawab bahwa ia akan melakukan hal itu lagi.

Matahari mulai meninggi, bunglon itu beranjak memanjat dengan maksud bersarang di pohon yang, menurutnya, bisa jadi telah dikaruniai sebagai pohon wali. Sementara itu, kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya itu sekonyong-konyong berhenti begitu mendapati seekor kucing membantu kakek itu menyeberang. Tidak ada yang tahu kenapa mereka melakukannya: apa karena heran atau takut menabrak seekor kucing. Sementara orang-orang yang berjalan di sekitar situ serempak mengarahkan gawai masing-masing ke arah kucing dan kakek itu. Memotreynya.

Kesugihan, 10:32, 1 Februari 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan