Bulan Purnama untuk Kiai Suaib

995 kali dibaca

Selesai salat maghrib, kami duduk bersila memangku kitab kami masing-masing. Dalam pandangan Kiai Suaib, ia tengah mencari salah satu santrinya yang kebetulan sudah dua hari tidak mengikuti pengajian.

Lalu aku dipanggil. Kiai Suaib menanyakan mengapa Rustam tidak ikut pengajian.

Advertisements

“Rustam sedang sakit, Yai,” jawabku sambil menunduk.

“Sakit apa?” tanyanya.

“Rustam terjangkit virus, Yai,” timpalku.

“Sudah diberi obat? Sudah diberi makan?” tanyanya.

Aku menoleh kepada santri-santri yang lain. Aku kebingungan, bagaimana caraku menjawab pertanyaan Kiai Suaib. Secara jujur, kami tidak berani mendekati Rustam karena virus keparat itu.

“Saya tidak tahu, Yai. Mungkin ada santri lain yang berani merawat Rustam dari sakitnya.”

Kiai Suaib mengarahkan pandangannya ke arah santri-santri yang lain. Mereka saling pandang, lalu mereka hanya menunduk dan hanya bisa menggelengkan kepala.

Sambil memancarkan raut wajah yang kecewa, ia membubarkan pengajian itu, lalu berdiri, berjalan menuruni undakan, melangkah tertatih-tatih menuju ke ndalem sambil terbatuk-batuk.

Sebelum Kiai Suaib beranjak, ia berpesan agar Rustam diberi makan. Besok Rustam akan dibawa ke rumah sakit.

“Sehabis salat isya, beri dia makan. Kalian boleh memberikan makanan, asal kalian tidak bersentuhan dengannya. Jaga jarak kalian!” suruh Kiai Suaib kepada kami.

Suara air mancur dari kolam terdengar lamat-lamat. Jangkrik mengalun merdu di tengah-tengah keheningan malam. Dengan keheranan, kami semua masih termenung, dan dibuat bertanya-tanya mengapa Kiai Suaib meninggalkan kami begitu saja.

Apa gara-gara Rustam adalah santri kinasih sehingga kehadirannya sangat berarti? Atau karena Rustam sering melayaninya, sehingga kehadiran kami tak berarti jika tidak ada Rustam? Pikiranku berkecamuk. Kami masih berkumpul di tempat itu. Ada yang masih bersila sambil mengobrol dengan yang lain. Ada pula yang berselonjor membaca kitab sambil menunggu azan isya terdengar.

Akhirnya, azan isya terdengar dari pengeras suara masjid kampung. Lalu, salah satu dari kami berdiri menghidupkan toa. Azan saling bersahutan antara suara toa pesantren dengan toa masjid kampung.

Usai azan, kami melakukan salat sunah, sambil menunggu Kiai Suaib. Namun, setelah sekian lama kami menunggu, Kiai Suaib tak kunjung datang untuk memimpin salat isya berjamaah. Hampir tiga puluh menit kami menunggunya. Kami cemas. Sesekali, aku menengok ke arah ndalem, tampaknya tak ada tanda-tanda jika Kiai Suaib mau ke surau.

“Kamu saja yang jadi imam. Mungkin saja, Kiai Suaib sedang menghadiri acara,” kata salah satu teman.

Usai salat, beberapa dari kami masih di surau, membicarakan tentang kejadian Kiai Suaib meninggalkan pengajian begitu saja. Sementara itu, beberapa santri yang lain memasak nasi untuk Rustam.

“Tadi kenapa ya, Kiai Suaib meninggalkan kita begitu saja?” ucapku membuka percakapan. Dahi mereka berkerut, seolah-olah mereka juga memiliki pertanyaan yang sama. Tetapi tak ada yang mampu menjawabnya. “Entahlah.”

Setelah kembali ke pondokan, aku ke Sendang Ngembel, sekadar cari angin. Lagi pula sebentar lagi akan terjadi bulan purnama. Jaraknya cukup dekat dengan pesantren yang kutempati. Dalam perjalanan, aku belum melihat tanda-tanda bulan purnama akan sempurna. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak, berkerikil, dan menanjak.

Meskipun sendirian, aku tetap berani berangkat seorang diri. Jalanan agak gelap tetapi ada beberapa lampu jalan yang menerangi tempat itu.

Sesampainya di Sendang Ngembel, aku segera menuju ke tengah kolam besar, kemudian duduk di salah satu dari enam batu yang terbuat dari tumpukan batu. Di tengahnya ada sebuah pohon cemara berjumlah satu. Di bawahnya ada sebuah meja yang berbahan semen dan pasir. Sambil ngudud aku mulai menikmati sunyi. Hanya ada bara kemerah-merahan dari batang rokok yang perlahan-lahan aku hisap.

Aku selalu terkesima pada sebuah hikayat yang didengungkan oleh orang-orang setempat, tentang perseteruan Ki Ageng Mangir dengan Mataram. Konon, di sinilah petilasan Ki Ageng Mangir, bahkan daerah tersebut menjadi pembatas antara Kerajaan Mataram dengan pedukuhan Manggir.

Terkadang, suara bambu bergemeretak karena diterpa angin membuatku kaget, terlebih jika air dari kolam raksasa itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti lemparan batu, tetapi sekali lagi aku katakan padamu, tidak ada yang bisa menggetarkan nyaliku.

Sementara itu, proses bulan purnama sudah dimulai, seperti ada asap diselimuti awan berwarna merah keemasan — lamat-lamat menutup rembulan. Tetapi tiba-tiba, sekonyong-konyong jantungku dibuat berdebar tak karuan, karena kemunculan Rustam yang tidak dinyana dari balik kegelapan.

Ia tampak diam dan tidak menyapaku. Kemudian ia berdiri di sampingku, menatap bulan purnama yang semakin sempurna.

“Untuk apa kau datang ke sini?” tanyaku.

“Aku akan mengambil bulan purnama itu. Iya, aku akan mempersembahkan untuk Kiai Suaib,” jawabnya sambil menatap bulan itu dalam-dalam.

Aku dibuat tidak mengerti dengan ucapannya. Yang jelas, ia tidak mungkin bisa mengambil bulan itu.

“Mana mungkin?” aku menimpali dengan nada tak percaya.

“Bukankah kau sedang sakit?” sambungku. Ia diam saja. Ia masih menatap bulan itu.

Aku semakin jengkel karena setiap ucapanku selalu dianggap sebagai angin lalu. Di keheningan malam, yang terdengar nyaring suara bambu yang diterpa angin. Suara kodok, jangkrik membuatku selalu ingat jalan pulang. Air terus mengalir, digunakan irigasi sawah penduduk. Biasanya, tanggal 15 Dzulhijjah, penduduk mengadakan syukuran di tempat ini sebagai bentuk rasa syukur terhadap hasil panen mereka.

Beberapa waktu berselang, bulan purnama benar-benar sempurna. Awan hitam berarak menutupinya, yang membuatnya semakin tampak indah. Rustam masih saja mendongakkan kepalanya ke atas melihat bulan yang semakin memesona.

Aku pamit untuk kembali ke pondok, tetapi ia tetap saja diam, membuatku semakin kesal, sampai-sampai aku berkata dalam hati, “Meskipun kau sekarat sekalipun, aku tak akan pernah membantumu.”

***

Di pintu gerbang, aku melihat beberapa santri lari tergopoh-gopoh. Rasa penasaranku mulai membuncah. Seketika aku juga ikut berlari menuju sumber kepanikan. Sesampainya di kerumunan, napasku terengah-engah. Dan kepanikan itu terjawab, saat aku melihat tubuh Rustam tergolek pucat. Aku mencoba untuk mendekatinya, memastikan apa yang aku lihat. Dengan rasa terkejut, memang itu adalah Rustam.

Rustam sudah tidak bernyawa. Tubuhku lemas seketika, seolah-olah energiku seperti disedot dengan apa yang aku lihat dan merasa tidak percaya, dengan apa yang terjadi. Lalu yang bersamaku melihat gerhana bulan siapa? Gumamku.

Aku sempat tak bisa berkata-kata, merasa bingung dan tidak percaya dengan kenyataan ini. Apakah dengan menceritakan kejadian yang aku alami, mereka akan percaya dengan ceritaku? Pikirku, bertanya pada diri sendiri.

Tetapi aku mencoba menceritakan kejadian aneh itu kepada teman-teman.

“Ini tidak masuk akal,” ucapku.

“Tadi aku bertemu dengan Rustam di Sendang Ngembel. Setelah balik kenapa Rustam ada di sini,” sambungku. Mereka hanya terdiam, seolah-olah mereka berpikir, mencerna apa yang kukatakan.

“Apa maksudmu? Dari kemarin Rustam meringkuk di sini,” salah satu dari mereka menyahut.

“Aku berbicara apa adanya,” balasku.

“Omong kosong. Itu cuma halusinasimu saja.”

Kemudian aku mencoba mengingat-ingat kembali apa yang aku lihat tadi. Tetapi mataku meyakini bahwa itu Rustam yang berdiri di sampingku. Aku sudah tidak sempat lagi berdebat dengan mereka.

Kami menjaga jenazah Rustam sampai kemudian jenazah Rustam dibawa petugas rumah sakit. Setelah beberapa waktu, suara ambulan terdengar, lalu petugas rumah sakit membawa jenazahnya.

***

Aku melihat, Kiai Suaib di kolam di depan surau sendirian dengan wajah murung dan tampak ada kesedihan yang mendalam.

Aku mendekatinya. Kiai Suaib berdehem memalingkan wajah. Aku hanya bisa tertunduk.

“Sudah berapa hari Rustam sakit?” tanya Kiai Suaib kepadaku.

“Tiga hari yang lalu, Yai.”

“Tiga hari kalian biarkan Rustam menahan lapar dan haus dalam kondisi sakit?” tanyanya bernada membentak.

“Mana belas kasihan kalian? Selama ini kalian mengaji untuk apa?” Kiai Suaib meneruskan kemarahannya.

Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa tertunduk dan menanggung penyesalan seumur hidup.

Kiai Suaib tampak kehilangan Rustam. Ia lebih sering murung. Beberapa hari ini, ia juga tidak memimpin pengajian, bahkan ia tak menerima tamu untuk beberapa hari ini. Ia juga enggan memimpin salat jamaah, lebih sering ia melakukan salat di ndalem.

Dan aku sering melihat dari balik jendela, Kiai Suaib menatap bulan, saat ia merindukan Rustam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan