Bidah dan Amalan Santri

1,319 kali dibaca

Hingga kini, istilah bidah masih sering menjadi sumber perselisihan dan kesalahpahaman di antara di kalangan penganut dan pengamal agama-agama, terutama Islam. Praktik-praktik keagamaan tertentu, misalnya, sering dicap sebagai bidah karena tidak ada dasar hukum dan sunah dari Nabi. Karena itu diperlukan pemahaman yang benar agar tidak gampang memberi cap bidah kepada pihak lain.

Di dalam lingkungan pesantren, bidah juga bukan merupakan istilah asing. Sebab, istilah ini sering menjadi isu dalam kajian kitab-kitab kuning. Hadis tentang bidah yang paling populer dan sering dikutip, misalnya, “Kullu bid’atin dalalah wa kullu dalalatin fi al-nar ”(Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal: 6).

Advertisements

Banyak ulama yang kemudian memberi tafsir berbeda-beda atas hadis tersebut. Misalnya, Imam Syafi’ie yang dikenal dengan ahli hadis yang rasional, berbeda pendapat dengan Imam Malik sebagai ahli hadis yang cenderung literal. Dari distingsi ini, Imam Syafi’ie digolongkan ke dalam mutakallimin dan Imam Malik digolongkan ahlul hadis (tentu peta ini tak berarti bahwa Imam Syafi’ie bukanlah ahli hadis, buktinya beliau diberi gelar “Pembela Sunnah”).

Lebih lanjut, Imam Syafi’ie mengeluarkan fatwa bahwa dalam hal-hal yang terkait dengan ibadah mahdhah (murni, ritual), bidah memang terlarang. Siapa yang melakukannya, maka ia sesat sesuai bunyi hadis terkenal tersebut.

Adapun, di luar perkara peribadatan mahdhah, terdapat kemungkinan luas lahirnya hal-hal baru dan kreatif (bidah) sepanjang ia bernilai baik dan membawa kemaslahatan. Itulah yang dimaksud Imam Ayafi’ie dengan klasifikasi “bid’ah hasanah”. Pembagian bidah ini di beberapa pesantren diajarkan melalui pelajaran kitab turats.

Namun, sampai detik ini bidah sampai masih begitu sensitif  dan sering memicu perselisihan, ketegangan, bahkan permusuhan antar-umat Islam itu sendiri. Sejak dulu-dulu kala tudingan berbuat bidah selalu menjadi persoalan serius pada kita semua, justru bukan pada ikhwal benar/ salahnya klaim hukum bidah itu, melainkan pada dampak psikis bagi si penuding dan pula tertuding.

Dari pihak tertuding/tertuduh, lain lagi sudutnya. Misalnya, orang akan tersinggung karena pemahaman dan amaliah yang diwarisinya dengan sepenuh jiwa dari khazanah kitab salaf yang dipelajarinya, dengan sesuka hati dan semena-mena dituding sebagai bidah dan sesat oleh mereka (Wahabi). Termasuk, kelompok di dalamanya Syeikh Usaimin.

Ada dua kutub yang saling bertentangan dalam hal bidah ini, seperti Imam Syafiie yang menyetujui terhadap pembagian bidah selama tidak bertentangan dengan syariat; sementara Syekh Bin Baz, yang merupakan tokoh utama Wahabi yang ketat menolak bidah dan mengeluarkan narasi komparatif tidak setimbang antara hadis Rasulullah SAW perihal kesesatan bidah itu— “wakullu bid’atin dhalalah”. Syekh Binbaz memahami dari hadis tersebut tidak ada pembagian bidah. Menurutnya, segala perilaku yang tidak dicontohkan Rasulullah merupakan kesesatan yang nyata.

Sebenarnya, kalau kita mencermati dengan kritis, terasalah bahwa argumen Syekh Bin Baz itu problematis —untuk tidak disebut mengalami logical fallacy. Yakni, pertama, bagaimana mungkin setimbang kedudukan hadis Rasulullah serta merta didiametrikkan dengan pandangan seorang Imam Syafiie —atau siapa pun saja ulamanya? Ini hal yang tidak koheren rasionalitasnya, sebab musykillah Imam Syafiie sengaja menabraki hadis Rasulullah.

Kedua, tekstualitas pemaknaan “kullu” (semua) dalam hadis Rasulullah tersebut dibakukan secara permanen dan saklek kepada segala kemungkinan temuan makna apa pun di priode berikutnya.

Padahal, kalau kita meninjau pemaknaan kata “kullu” dalam hadis tersebut berkonteks khusus (ibadah mahdhah) atau sebaliknya berkonteks ungkapan umum yang memerlukan keterangan-keterangan khusus (takhsis). Bila dua kemungkinan makna ini saja diberi ruang kemungkinannya, seketika kita akan bisa memahami kebenaran yang dimaksud oleh Imam Syafiie.

Ketiga, kita mengetahui bahwa sepeninggalnya Rasulullah, Sayyidina Umar bin Khattab “membuat bidah ” dengan membuat panggilan azan salat Jumat menjadi dua kali atau tiga bahkan. Jika narasi Syeikh Bin Baz di atas kita pakai pula kepada dua bidah tersebut mendudukannya head to head kepada hadis Rasulullah tadi, bukankah nalarnya adalah Sayyidina Umar Bin Khattab dan Sayyidina Utsman bin Affan menabrak Sunnah Rasulullah? Apakah patut dan logis kita mengklaim demikian kepada dua sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah itu.

Maka, di sinilah hadirnya kaum santri yang berafiliasi dengan pemahaman Imam Syafiie inilah yang menjadi panutan masyarakat perdesaan, dari berbagai praktek bidah di perdesaan yang berkembang pesat mulai dari selamatan bumi, tingkepan, mulang areh, hingga maulid Nabi yang semuanya tidak dikenal di masa Rasul. Akan tetapi, amaliah tersebut dilaksanakan oleh ulama masyhur, dan juga tidak bertentangan dengan hukum syariat.

Seperti selamatan bumi yang rutin dilaksanakan di Desa Poreh Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, adalah acara baru yang tidak pernah dilaksanakan di masa Rasulullah, namun karena acara tersebut mengandung berbagai manfaat, maka tetap di pelihara. Pelaksanaan salamatan bumi merupakan acara tahunan yang masih eksis sampai sekarang. Biasanya dalam acara tersebut membaca yasiin, tahlil, dan burdah. Yang dihadiri sekitar 700 orang. Pendiri acara tersebut adalah  seorang tokoh waskita, yaitu KH Rasyid Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rasyidin.

Dari tradisi seperti inilah dapat dipahami kenapa kaum santri tidak serta merta menolak segala perilaku bidah dengan serampangan. Namun, kaum santri menimbang dari berbagai sisi, baik dari sisi syariat ataupun dampaknya terhadap masyarakat. Kalau hal baru itu membawa dampak yang lebih baik dan tidak bertentangan dengan syariat, maka tetap dijaga dan dipelihara, sesuai dengan kaidah pesantren “al muhafadzatu ala qadim al-Shaleh wal akhdzu bil jadidi al-Aslah”. Menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa pengamalan bidah (salat tarawih, tingkeban, salamatan bumi, 7 harian, 40 harian hingga 1000-an bagi orang yang meninggal dunia) penulis sangat setuju. Karena, amalan yang tidak bertentangan dengan syariat tersebut merupakan rekomendasi dari ulama yang mujtahid seperti Imam Syafiie dan lainnya. Semoga bermanfaat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan