Berkat Kiai Sarungan

1,297 kali dibaca

Hujan baru saja reda tepat jam sepuluh malam, menyisakan rinai gerimis yang membuat kelam terasa mencekam. Jum melangkah tergesa menelusuri jalan desa yang disinari lampu redup dari rumah penduduk. Rasa takut akan kelam malam dia enyahkan, rinai gerimis yang sudah membasahi rambut dan bajunya pun tak dia pedulikan. Tujuannya hanya satu, Jal harus diselamatkan.

Jal sakit, badannya demam tinggi. Tak ada pilihan lain bagi Jum selain harus membawa anak semata wayangnya itu ke klinik. Tapi Jum sedang tidak ada uang. Begitu juga Mak Roh, setali tiga uang. Ibu dan anak itu tak bisa berbuat banyak diimpit dalam kebingungan. Tapi untung saja Mak Cik, tetangganya, datang untuk memberikan singkong rebus. Dialah yang menyarankan Jum agar meminta bantuan Pak Barus, orang terkaya di desa yang seorang anggota dewan.

Advertisements

“Pergilah ke rumah dia, pasti beliau mau bantu. Si Rusmin yang jadi kadernya itu suka nunjukin vidio Pak Barus lagi bagi-bagi sembako, uang, sampai menyantuni anak yatim, Dermawan sekali beliau itu, tidak salah Mak memilihnya!”

Jum langsung mengikuti saran Mak Cik. Dia pun bergegas pergi menuju rumah Pak Barus yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Tapi baginya, jarak sebegitu sudah biasa dia tempuh. Toh, setiap hari dia keliling desa untuk menjajakan kue yang dia buat bareng Mak Roh dan juga kue-kue titipan tetangga.

Sesampai di depan rumah Pak Barus dia tertegun sejenak. Diaturnya napas dan berdoa memohon agar usahanya berhasil. Lalu dia melangkah mendekati pagar besi yang tinggi. Belum juga mengucap salam, Pak Satpam sudah menegurnya dengan suara keras.

“Hei Jum, ada apa malam-malam begini ke sini!”

“Anu Pak, saya mau ketemu Pak Barus!”

“Untuk apa? Sudah janji!”

“Saya mau pinjam uang pak, buat berobat dan sewa angkutan. Anak saya sakit mau dibawa ke klinik!”

“Ngomong saja mau minta sumbangan! Tapi dulu kamu nyoblos Pak Barus nggak nih!”

Jum diam sejenak sambil menghela napas, “Ya nyobloslah Pak, kan Bapak sendiri yang waktu itu kasih uang untuk nyoblos Pak Barus!”

Pak Satpam tertegun sambil manggut-manggut, pikirannya mengingat peristiwa yang dikatakan Jum. “Ya sudah! Kamu tungu sebentar, saya mau kasih tahu Pak Barus dulu!” usai bicara Pak Satpam langsung bergegas menuju rumah mewah berlantai dua yang dijaganya.

Tak lama berselang Pak Satpam langsung terlihat keluar dari rumah itu dengan setengah berlari dan Jum menunggunya dengan nampak gelisah.

“Pak Barus bersedia membantu, tapi besok pagi. Sekarang dia baru saja pulang dan masih kelelahan setelah rapat seharian memperjuangkan kepentingan kita!” ungkap Pak Satpam setiba di balik pagar, “Kamu siap-siap saja, nanti besok akan diliput juga oleh wartawan, tapi jangan lupa kalau cair saya dapat bagian komisi kan!”

Jum tertegun. Sebenarnya dia ingin meminta uangnya saja sekarang, namun dia urungkan, karena yakin itu akan sia-sia. Dia sadar kalau dia yang membutuhkan pertolongan, dijanjikan akan dibantu besok pagi saja sudah bersyukur.

“Iya Pak, terima kasih sebelumnya!” ujar Jum sebelum melangkahkan kaki meninggalkan Pak Satpam yang sedang cengar-cengir sendiri membayangkan besok akan mendapatkan komisi.

Jum kembali berjalan menelusuri jalanan sepi. Pikirannya semakin kalut, tak tahu harus ke mana lagi dia minta pertolongan. Yang bisa dilakukan hanyalah berdoa seiring kaki melangkah. Namun tepat dipertigaan dia tertegun, terbersit dalam pikirannya nama Ustaz Yus, yang rumahnya tidak jauh dari pertigaaan. Dia Ustaz yang terkenal bersuara lantang. Meskipun tinggalnya di pelosok desa, namun namanya dikenal luas secara nasional. Jum pun memutuskan untuk mendatangi rumahnya.

Tidak lama Jum berjalan, dia sudah berhenti di depan rumah mewah yang mobil-mobil bagusnya terlihat masih terparkir di halaman rumah. Dengan sedikit ragu Jum menekan bel yang nempel di tembok pagar, baru sekali terdengar sudah ada yang terlihar keluar dari pos satpam, setelah dekat barulah Jum tahu kalau yang menghampirinya ternyata Kang Juned, pembantunya Ustaz Yus.

“Kang Juned!” seru Jum.

“Ada apa Jum? Malam-malam begini, itu sampai basah-basahan begitu!”

“Si Jal sakit demam Kang, harus dibawa ke klinik, saya mau minta bantuan Ustaz Yus!”

“Oh, kamu masuk dulu aja!” Kang Juned membukakan pintu, “Kamu tunggu di pos satpam saja biar nggak terkena gerimis!”

Jum pun mengikuti saran Kang Juned. Sedangkan Kang Juned bergegas memasuki rumah lewat pintu belakang. Dalam menunggu Jum Kembali tak putus-putus memanjatkan doa, agar usahanya kali ini membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.

Tak lama berselang Kang Juned datang. “Jum, Pak Ustaznya lagi wirid, dia nggak bisa diganggu kata Bu Ustaz, nanti kalau selesai baru bisa disampaikan. Orang seperti dia itu kalau menghadap Allah memang selalu khusyuk dan nggak mau diganggu. Beda sama Akang, lagi salat aja pikirannya suka ke mana-mana!” ujar Kang Juned diakhiri dengan cengengesan.

“Ya sudah Jum pulang dulu ya Kang, mudah-mudahan tidak lama wiridnya!”

“Iya Jum, nanti Kang Juned ke rumah kalau sudah ada keputusan dari Ustaz!”

Jum pun kembali melangkahkan kakinya menelusuri jalanan desa yang terasa semakin gelap. Kini dia memutuskan untuk pulang dan menunggu. Menunggu kebaikan Ustaz Yus atau menunggu Pak Barus tepati janjinya esok pagi. Tapi apakah Jal yang sakit bisa menunggu?

***

Melihat Jum pulang dengan basah kuyup, Mak Roh kaget bukan main. ”Ya Allah! Jum, kamu ke mana saja sampai basah kuyup begitu, lama lagi!”

“Ke rumah Pak Barus terus ke Rumah Ustaz Yus buat cari pertolongan.”

“Loh! Minta pertolongan apalagi! Jal sudah ada yang nolong!”

“Siapa Mak!”

“Santri-santrinya Kiai Sobari. Mereka disuruh Kiai Sobari untuk membawa Jal ke klinik!”

Jum tertegun dalam kebingungannya. Dia tak tahu siapa yang mendatangi Kiai Sobari. Kiai yang pesantrennya ada dipinggiran desa, pesantren yang tidak besar apalagi megah, jarang dikunjungi orang apalagi pejabat atau orang partai. Beliau selalu mengenakan sarung, begitu juga santri-santrinya, hingga warga desa menyebutnya pesantern sarungan, tetapi ada juga yang mengejeknya kaum kurungan, kaum yang terkurung. Tidak gesit dan lihai seperti Ustad Yus yang memakai celana hingga dia dekat dengan para pejabat dan orang politik.

“Jum untung kamu kepikiran menemui Kiai Sobari! Ayo buruan kamu ganti baju kita harus ke pesantrennya, mau diantarkan ke klinik nyusul si Jal!”

Jum terdiam, dia merasakan hatinya bergetar.

“Jum kenapa malah menangis, ayo buruan!”

“Oh, iya Mak! Jum menyeka air matanya dan bergegas memasuki kamar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan