Berandai-andai Indonesia Menjadi Khilafah

1,483 kali dibaca

Sudah 75 tahun merdeka, masih selalu ada kelompok-kelompok yang terus mencoba-coba untuk mengganti dasar dan mengubah bentuk negara. Belakangan, misalnya, Indonesia terus dibombardir dengan paham khilafah (khilafahisme) dengan berbagai cara, termasuk melalui film bertajuk Jejak Khilafah.

Melalui film ini, mereka ingin membangun sebuah opini bahwa beberapa kerajaan atau kesultanan di Nusantara pernah menjadi bagian dari kekhalifahan Utsmaniyah (Turki). Dengan demikian, seakan-akan menjadi sesuatu yang historis jika mereka kemudian ingin mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi negara kekhalifahan.

Advertisements

Tulisan ini tak hendak membahas perdebatan teknis soal khilafah dan kekhalifahan. Sudah banyak tesis atau pendapat ulama dan ahli tentang ini. Tulisan ini justru mengajak untuk berandai-andai bahwa kita setuju dengan paham khilafah. Dengan itu, kita andaikan NKRI berubah menjadi “Kekhalifahan Indonesia”.

Mungkinkah? Mungkin, jika seluruh persyaratan terpenuhi dan disetujui oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Setidaknya, ada lima persyaratan yang harus dipenuhi dan disetujui, yaitu yang menyangkut bentuk negara, dasar negara, sistem pemilihan khalifah, sistem pemerintahan, dan teritori atau wilayah kekuasaannya.

Yang pertama adalah bentuk negaranya. Tentu, karena telah menganut paham khilafah, bentuk negaranya adalah kekhalifahan. Tapi pertanyaannya adalah, kekhalifahannya siapa yang mau dirujuk?

Kita tahu, sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga Kekhalifahan Utsmaniyah ada banyak kekhalifahan yang dalam praktik bentuknya berbeda-beda. Sejarah sudah membuktikannya. Bahkan, sesungguhnya, Kekhalifahan Utsmaniyah lebih menyerupai kekaisaran pada masanya, seperti halnya kekaisaran-kekaisaran di wilayah Eropa maupun Asia. Begitu juga, kekhalifahan-kekhalifahan sebelum Utsmaniyah mirip-mirip dengan kerajaan-kerajaan di masanya di berbagai belahan dunia. Yang membedakan hanya agama yang dianut.

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, maka bentuk-bentuk negara mulai berubah dan menyesuaikan diri. Ketika pada abad ke-19 mulai dikenal konsep negara bangsa (nation state), maka dimulailah era bentuk negara modern seperti yang kita kenal sekarang. Pada masa ini, bentuk-bentuk negara lama dianggap sudah tidak cocok. Bahkan, negara-negara dengan bentuk kerajaan atau kekasairan atau kesultanan yang masih bertahan pun, kini dalam praktiknya mengikuti konsep negara bangsa atau negara modern. Di Indonesia masih ada kerajaan dan rajanya bergelar sultan yang eksis, tapi ia menjadi bagian dari NKRI. Dengan demikian, bentuk negara kuno itu memang sudah tidak cocok dengan perkembangan peradaban manusia.

Yang kedua adalah soal dasar negara. Jika menganut khilafahisme, maka dasar negara Indonesia harus diganti dengan, katakanlah, syariat yang bersumber dari al-Quran dan Hadits. Tidak ada lagi Pancasila. Pertanyaannya adalah, siapa atau pihak mana yang akan diberi wewenang untuk menafsirkan al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum dalam bernegara? Sudah pasti ini akan menjadi persoalan tersendiri bahkan di kalangan muslim sendiri, apalagi bagi penganut agama-agama lain. Sebab, begitu banyak aliran dalam Islam, baik di bidang teologi, hukum, maupun praktik keagamaan.

Yang ketiga adalah sistem pemilihan khalifah atau kepala negara/pemerintahan. Pertanyaannya adalah, jika Indonesia menjadi kekhalifahan, siapa yang akan menjadi khalifahnya, dan bagaimana proses pemilihannya? Kita tahu, empat Khulafaur Rasyidin itu proses penggantiannya dilakukan secara berbeda-beda. Dan, kecuali Abu Bakar, penggantian dilakukan setelah sang khalifah terbunuh dalam berbagai peristiwa yang berbeda. Lalu pasca-Khulafaur Rasyidin, para penguasa di tiap kekhalifahan adalah keturunan dari dinasti atau bani. Maka, kita mengenal Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah, Bani Muwahhidun, dan terakhir Bani Utsmaniyah.

Lalu, jika Indonesia menjadi kekhalifahan, baninya siapa yang akan berkuasa? Lalu bagaimana proses pemilihan dan pengangkatannya serta siapa yang berwenang memilih “khalifah Indonesia”? Anda bisa membayangkan?

Yang keempat adalah sistem pemerintahan. Dalam peradaban modern ini, yang tersisa adalah sistem pemerintahan presidensial, parlementer, semipresidensial, komunis, demokrasi liberal, dan liberal. Tapi yang paling banyak dianut adalah demokrasi dengan berbagai variannya. Yang pasti, jika Indonesia diandakaikan menjadi kekhalifahan dan yang berkuasa adalah seorang khalifah, sebagai konsekuensi logis, sistem pemerintahannya haruslah otokrasi. Tapi “khalifah Indonesia” ini akan merujuk ke sistem pemerintahan kekhalifahan yang mana? Sebab, sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para khalifah dalam sejarah Islam nyatanya juga berbeda-beda. Sejarah telah membuktikannya.

Dan yang terakhir, kelima, adalah teritori atau wilayah kekuasaan. Dengan berubah menjadi kekhalifahan, sampai batas mana wilayah kekuasaan “khalifah Indonesia”? Apakah mungkin mengikuti wilayah teritori NKRI? Bisakah Anda membayangkan Keraton Yogyakarta menjadi bagian dari negara “kekhalifahan Indonesia? Bisakah Anda membayangkan Pulau Bali menjadi bagian dari negara “kekhalifahan Indonesia? Atau juga daerah-daerah lain, sebutlah Pulau Flores atau Papua, atau lainnya?

Dari pengandaian-pengandaian tersebut, maka pengubahan NKRI menjadi kekhalifahan adalah ahistoris dan sebuah kemustahilan. Sebab, dari kelima indiator tersebut, baru membicarakan bagian yang pertama saja, yaitu soal bentuk negara, dengan sendirinya sudah “membubarkan” NKRI. Belum lagi soal pengubahan dasar negara, sistem penentuan atau pemilihan kepala negara, atau sistem pemerintahannya. Begitu Pancasila diganti dengan ideologi lain, percayalah, tak akan ada lagi apa yang membuatnya disebut NKRI.

Jika tak ada lagi Indonesia, lalu khilafahisme dan kekhalifahan itu akan diterapkan di mana? Maka, jangan pernah bermimpi atau berandai-andai soal ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan