Beragama Tanpa Akhlak

1,831 kali dibaca

Saya masih sering teringat akan guru-guru saya dulu, dulu sekali; guru-guru saya di madrasah atau di langgar-langgar. Guru-guru saya itu mendidik kami dengan cara-cara sederhana, dengan contoh-contoh sederhana.

Misalnya, saat melihat ada kerikil berserak, atau seonggok batu, atau sebatang kayu melintang di tengah jalan, saya diminta memungut dan menyingkirkannya. Agar orang yang lalu setelahmu tidak diterantuk, tersandung, atau keserimpet dan jatuh. Dan itu akan melapangkan jalan orang lain setelahmu. Begitu pesan guru-guru saya.

Advertisements

Atau jika sedang berjalan, lalu berpapasan dengan atau melintasi orang yang lebih tua, kami diminta tersenyum, membungkuk, dan memberi salam. Begitulah cara guru-guru saya dalam mendidik kami bersikap hormat dan menghargai orang lain, terutama yang lebih tua. Ketika sedang berbicara dengan orang lain pun, kami dilarang bersuara lebih nyaring dari lawan bicara, lebih-lebih jika lawan bicaranya adalah orang yang lebih tua.

Itu semua, menurut guru-guru saya dulu, adalah bagian dari akhlak, misi terpenting yang diemban Nabi Muhammad dalam kerasulannya. Dari masa yang jauh itu, saya teringat salah satu hadis Nabi yang sangat popular: Artinya, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Karena itu, dapat pula diambil satu kesimpulan bahwa sesungguhnya agama itu, pertama-tama, adalah soal social order atau tertib sosial, bukan seberapa tekun seseorang menjalankan ritual ibadah. Ada beberapa hadis yang menguatkan argumen ini.

Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Dari Abu Hurairah, misalnya, dikisahkan bahwa ada seorang sahabat yang menyampaikan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang

rajin salat malam, selalu berpuasa di siang hari, dan suka bersedekah. Namun, perempuan tersebut berlidah tajam. Sering menyakiti tetangganya dengan lisannya. Mendengar itu, Rasul memastikan bahwa perempuan tersebut bukan orang baik, atau saleh, dan ia termasuk penghuni neraka.

Berdasarkan kisah tersebut, jika ditelisik lebih dalam, seluruh perintah-perintah ibadah yang diajarkan Nabi Muhammad, muara sesungguhnya adalah social order tersebut. Perintah salat, misalnya, jelas tujuannya agar manusia terhindar dari perilaku yang merusak dan kedurhakaan. Jadi, seluruh ibadah manusia itu memang bukan untuk Tuhan, melainkan untuk kebaikan tatanan sosial kemasyarakatan —kecuali puasa di bulan Ramadan, satu-satunya ibadah yang memang diakui hanya untuk Allah seperti disitir dalam satu hadis qudsi.

Social order tersebut, saya kira yang juga menjadi muara semua agama, fondasinya adalah akhlak. Jika masyarakat manusianya tidak berakhlak, maka social order tersebut tak akan terbangun, dan agama menjadi tidak berarti. Itulah kenapa misi utama kenabian Muhammad adalah memperbaiki akhlak, yang bisa kita terjemahkan sebagai perangai, tabiat, atau tingkah laku yang telah mendarahdaging dalam diri.

Tapi justru inilah yang alpa dipahami oleh masyarakat kita akhir-akhir ini. Di mana-mana semangat beribadah kian semarak, tapi di saat yang sama tatanan sosial, atau social order, justru mulai rusak. Dipermudah oleh media sosial melalui jaringan Internet, orang ramai saling menebar kebencian sehingga di antara sesama saling membenci. Inilah yang oleh hadis Nabi disebut berlidah tajam. Tak ada respect, tak ada ruang persaudaraan dan persahabatan, bagi mereka yang berbeda pandangan dan keyakinan, bagi liyan.

Bagaimana bisa kita sedang tekun beribadah, menyembah Tuhan, tapi di saat yang sama kita begitu membenci dengan ciptaan-Nya yang lain? Apakah bisa beragama tanpa berakhlak?

Fenomena inilah yang membuat saya masih sering teringat guru-guru saya dulu, yang pernah bertutur begini: Tak ada gunanya kamu jengking (maksudnya sujud) sampai jidatmu kapalen (hitam), kalau kamu tak baik sama tetanggamu…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan