Belajar Menghadapi Wabah dari Kitab Wabah

1,738 kali dibaca

Pandemi adalah sebutan di mana merebaknya sebuah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografis yang luas. Adapun, wabah adalah penyakit yang menular dengan rentan waktu yang cepat. Penularannya melalui berbagi bentuk, tergantung apa penyakit dan seberapa ganas penyakitnya. Sehingga, sering kali pandemi menelan korban yang begitu banyak.

Dalam sejarah Islam, pandemi sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, bahkan pada zaman nabi-nabi sebelumnya. Pandemi tersebut juga menelan banyak sekali korban. Dan tidak hanya umat muslim, karena wabah yang diangkut pandemi tidak mengenal agama, tidak mengenal usia, tidak mengenal derajat sosial. Semua manusia berpotensi terjangkit. Dan banyak sekali pada waktu itu tokoh-tokoh sahabat dan tabiin yang juga menjadi korban.

Advertisements

Dalam sejarah Islam, wabah terjadi beberapa kali, ada juga yang mengatakan beregenerasi. Tetapi yang jelas dari masa hidup Nabi hingga masa bani Abbasiyah; Baghdad, ketika serbuan pasukan Mongol, ada sebuah wabah pandemi yang mematikan.

Tidak beranjak jauh dari hal tersebut, ada beberapa ulama yang mencatat peristiwia dan informasi seputar terjadinya pandemi dalam sejarah Islam. Beberapa dari mereka tidak mengulas secara lengkap atau khsusus mengenai pandemi, melainkan memasukkannya dalam catatan-catatan kitabnya. Tetapi, ada juga yang secara khusus dan fokus mengulas pandemi yang terjadi pada masa hidupnya. Setidaknya dalam sependek pengetahuan penulis, ulama yang mengulas atau mencatat wabah pandemi adalah: an-Nawawi, Abu Nu’aim al-Ashfahani, Jalaludin as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Asqalani.

An-Nawawi dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, mencatatkan atau menginformasikan hadis seputar wabah pandemi, dan bagimana wabah pandemi meluluhlantakan pasukan Mongol dan penduduk Baghdad.

Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam kitabnya, Hilyatul Auliya’, memuat catatan peristiwa wabah pandemi pada masa Nabi dan beberapa tokoh sahabat dan tabiin yang ada hubunganya dengan pandemi, baik yang menjumpai dan meninggal. Yang paling masyhur adalah ketika Umar bin Khattab melarang keluar atau memasuki daerah wabah pandemi.

Tetapi kitab atau buku yang secara khusus mengulas mengenai wabah pandemi adalah Ma Rawahu al-Wa’un fi Akhbar ath-Tho’un karya as-Suyuthi dan Badlul Ma’un fi Fadhlit Tho’un, karya Ibnu Hajar.

Kitab Wabah & Tho’un

Ibnu Hajar al-Asqalani adalah ulama mazhab Syafi’i (773-852 H) yang sangat produktif dalam menulis. Salah satu karyanya adalah Kitab Wabah dan Tho’un dalam Islam. Kitab atau buku ini mengulas secara jelas mengenai histori dari wabah tho’un dan cara menghadapinya (cetakan asli bahasa Arab: Badlul Ma’un fi Fadhlit Tho’un). Salah satu hal mendasar yang melatarbelakangi penulisan kitab ini adalah wafatnya ketiga putrinya yang disebabkan wabah tho’un. Ketiganya adalah Fatimah dan Aliyah (w. 819 H) kemudian Zain Khotun (w.833 H).

Dalam bahasan kitab ini, wabah pandemi dibahas secara naratif dan variatif. Dimulai dari sejarahnya, penyebarannya, bagaimana anak-anaknya terjangkit, hingga cara menghadapinya. Yang mana dapat ditarik dua pemahaman. Pertama, informasi atau tulisan mengenai pandemi ini sebagai urgensi kesadaran dan keilmuan yang berangkat dari wafatnya anak-anaknya. Kedua, informasi dan tulisan mengenai pandemi menegaskan kepada umat/publik bahwa wabah tho’un ini menjadi musuh bersama yang sangat mematikan. Terlebih penyebaranya sangat masif yang menyangkut kehidupan orang banyak.

Mengenai wabah tho’un sendiri, Ibnu Hajar menuliskan bagaimana chaos-nya penduduk Mesir, di mana domisili Ibnu Hajar waktu itu. Tho’un adalah sebuah penyakit yang ditularkan dari hewan: melalui sentuhan kulit, keringat, darah, maupun air bekas minuman hewan. Dan dari manusia ditularkan ke manusia lainya.

Dalam kaitannya dengan wabah, salah satu hal paling menjadi perhatian Ibnu Hajar adalah masalah kebersihan dan sanitasi. Karena sebagaian penduduk Mesir masih rendah pemahaman dan kesadarannya akan hal tersebut, sehingga penularanya menjadi sangat rentan, mengingat kondisi lingkungan yang tidak sehat.

Ibnu Hajar mengawali pembahasan wabah tho’un dengan tinjauan hadis. Yang secara garis besar menjelaskan bahwa wabah tho’un adalah penyakit dalam konteks pandemi, yakni menular dengan cepat di suatu daerah, serta dapat menelan korban secara masif.

Kemudian ada riwayat dari Said bin Malik, Usamah bin Ziyad, Khuzaimah bin Tsabit, bahwasanya Nabi saw, bersabda: Bahwa tho’un tergolong wabah yang diturunkan pada suatu kaum sebagai bentuk azab dari Allah swt. Konteks hadis ini secara eksplisit menegaskan bahwa segala penyakit dan musibah memang hanya dari Allah swt, begitu juga obat dan jalan keluarnya. QS. at-Thagabun [64]: 11,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Tidak ada musibah yang terjadi kecuali dengan seizin Allah swt.

Kemudian, dalam bab selanjutnya, Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa benar wabah tho’un ini atas se-izin Allah swt. Namun, Ibnu Hajar menggarisbawahi: wabah tho’un adalah azab bagi orang kufar, sedangkan bagi umat muslim adalah rahmat. Ibnu Hajar mengutip sebuah hadis dengan redaksi,

لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ

Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkanya ke dalam surga, dan menyelamatkanya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat Allah swt.(HR. Muslim: 2817).

Secara implisit, Ibnu Hajar menegaskan bahwa wabah tho’un menjadi perantara rahmat dan ke ridaan Allah. Sebagai umat muslim, maka sudah sepatutnya selalu menjaga perasaan khusnudzon pada Allah. Ibnu Hajar juga mengutip hadis-hadis yang mengatakan, bahwa salah satu cara Allah mengampuni dosa hambanya adalah dengan diberikanya cobaan dan penyakit.

Kiat Menghadapi Wabah

Ibnu Hajar juga memberikan catatan mengenai kiat-kiat dalam menghadapi wabah tho’un. Setidaknya dalam pemahaman penulis, kiat ini selain sebagai catatan ilmiah juga sebagai edukasi umat (penduduk mesir) waktu itu. Kiat yang kiranya agak berbeda dengan apa yang diterapkan pemerintah hari ini adalah: Ibnu Hajar menganjurkan untuk lari dan keluar dari daerah yang terkena wabah tho’un.

Dan gambaran yang diberikan Ibnu Hajar adalah: Tho’un ini bagaikan banjir bandang yang siap menerjang apa pun, tanpa pilih-pilih. Hal ini bisa ditelsik karena konteks pandemi dan mobilitas masyarakatnya waktu itu rendah, tidak sebesar kehidupan hari ini. Termasuk variabel pendukung penyebaran virusnya pun lebih variatif konteks hari ini. Sehingga tidak keluar dan tidak masuk ke daerah (zona) Covid-19 hari ini sudah sangat tepat.

Tetapi tidak sebatas kiat di atas, Ibnu Hajar melanjutkan dengan beberapa hadis-hadis yang menginformasikan wabah tho’un dan kisah-kisah sahabat ketika menghadapinya. Pandangan beberapa ulama pada masa itu juga tidak luput dicantumkan dalam kitabnya. Hadis-hadis yang dicantumkan juga dijelaskan kualitas hadisnya, dalam catatan tidak semua hadis-hadis tersebut derajatnya sahih, melainkan ada yang marfu’. Tetapi bagi Ibnu Hajar hal ini bukanlah sebuah persoalan, karena yang ditekankan adalah bagaimana pelajaran yang dapat diambil untuk menjahui wabah tho’un.

Sebagai seorang ulama, Ibnu Hajar pastinya tidak luput dalam memberikan kiat-kiat teologis, yakni berdoa dan berzikir. Doa yang disarankan Ibnu Hajar di antaranya pada QS. ad-Dukhan [44]: 12,

رَّبَّنَا ٱكْشِفْ عَنَّا ٱلْعَذَابَ إِنَّا مُؤْمِنُونَ

Ya Tuhan kami, lenyapkanlah dari azab itu . Sesungguhnya kami akan beriman.

  1. al-A’rof [7]: 23,

رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya dir kami sendiri, dan jika Engku tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.

Terlepas dari dua ayat Al-Quran itu, masih ada beberpa doa-doa yang dicantumkan oleh Ibnu Hajar guna membentengi dan menghadapi wabah tho’un. Kemudian garis besarnya adalah perintah untuk selalu khusnudzon dan bersabar. Bahwa dengan khusnudzon dan kesabaran adalah kunci untuk menjaga diri dan “doa” agar segera diangkatnya wabah tho’un. Khusnudzon dan sabar juga dapat kita maknai sebagai usaha preventif untuk menjaga diri dan keluarga terdekat. Mengingat pokok bahasan mengenai wabah tho’un ini ditulis tidak lepas dari wafatnya ketiga putri Ibnu Hajar.

Alhasil, kitab atau buku ini menjadi salah satu dari sekian catatan Islam klasik yang secara khusus berbicara mengenai pandemi. Banyak hikmah dan refleksi yang dapat diambil sebagai pelajaran kita hari ini. Salah satu yang tidak bisa dianggap remeh atau kita lupakan adalah: Di dalam kehidupan pasti akan ada cobaan dan tantangan, salah satunya berupa penyakit atau kesehatan. Oleh karenanya, kunci khusnudzon dan sabar dari apa yang dijelaskan Ibnu Hajar harus kita tanamkan dalam benak kita masing-masing, agar sebagai umat muslim selalu berperasangka baik kepada Allah swt dalam setiap kondisi apapun. Wallahu A’lam.

Data Buku

Penulis: Ibnu Hajar al-Asqalani
Penerjemah: Fuad S.N.
Editor: Abdul Majid
Ukuran: 15 X 23 cm
Halaman: 396 Halaman
Cetakan pertama: Juli 2020
ISBN: 978-623-7327-42-4
Penerbit: Turos Pustaka

Multi-Page

Tinggalkan Balasan