Belajar Ilmu Waris dari Al-Quran dan Hadis

1,182 kali dibaca

Harta warisan merupakan amanah yang harus dijaga. Sebab, warisan adalah bagian dari peninggalan orang tua, nenek moyang, dan para leluhur yang sangat berharga.

Di Pulau Madura, warisan memiliki beragam bentuk. Salah satunya biasanya berupa tanah sangkolan atau bahkan berbagai macam bentuk warisan lainnya. Karena itulah, mengatur warisan dengan baik agar tidak menimbulkan pertengkaran keluarga yang berkepanjangan harus diusahakan bagaimanapun keadaannya.

Advertisements

Buku terjemahan dengan judul kitab Al-Mawaris fi Syariah Al-Islamiyah karangan Prof Dr Muhammad Ali As-Shabuni ini membahas tentang landasan hukum waris dalam Al-Quran dan Hadis. Topik bahasannya meliputi hikmah di balik ayat mawaris, pengertian mawaris, tata cara pembagian harta warisan, hingga pihak-pihak yang mendapatkan hak waris serta jumlahnya. Bahkan, juga dilengkapi dengan istilah-istilah dalam ilmu waris dengan keterangan yang sangat terperinci.

Para ulama berpendapat bahwa belajar ilmu mawaris sangat tinggi kedudukannya dalam Islam. Menurut Imam Qurtubi, ilmu faraid amat tinggi kedudukannya sampai-sampai ia menjadi setengah dari ilmu.

Akan tetapi, dalam tafsirnya, Imam Al-Qurtubi memaparkan jika ilmu faraid adalah seluhur-luhurnya ilmu para sahabat dan seagung-agungnya pemikiran mereka, sementara ilmu ini benar-benar telah disia-siakan oleh mayoritas orang. (hal. 09).

Sebab itulah, orang yang paham ilmu faraid akan dapat mendistribusikan harta tirkah kepada mereka yang berhak secara adil dan bijaksana dengan cara tidak menzalimi, tidak meninggalkan pengaduan orang yang lemah, atau tidak memberikan ruang bagi hukum positif  buatan manusia —dengan tujuan merealisasikan keadilan atau menghilangkan kezaliman dari kehidupan umat manusia. (hal. 07). Maka, dengan adanya ilmu ini, pertengkaran yang biasa terjadi sebab harta benda di kalangan keluarga bisa diminimalisasi dengan baik sesuai dengan aturan Islam.

Selama ini, tentu ada yang aneh di dalam benak kita semua? Mengapa harta warisan itu dua kali lipat lebih banyak diberikan kepada laki laki daripada perempuan? Untuk menjawab semua hal-hal yang mengganjal dalam benak pembaca, maka buku ini memberikan solusi tepat dengan penjelasan yang akurat.

Menurut Muhammad Ali as-Shabuni, permasalahan tersebut mengandung beberapa hikmah yang luar biasa. Di antara hikmah yang dapat dipetik adalah perempuan tidak dibebani siapa pun, berbeda dari laki-laki yang dibebani kewajiban menafkahi anggota keluarga, sanak saudara, dan orang-orang yang diwajibkan untuk dinafkahi olehnya. (hal. 14).

Jika mengingat kembali pada sejarah, esensinya sebelum agama Islam datang, perempuan tidak diberi sedikit pun harta waris. Dengan alasan bahwa perempuan tidak ikut berperang dan tidak turut berpartisipasi melindungi kabilah. Sehingga tidak heran jika masyarakat Arab berkata, “Bagaimana mungkin kita akan memberikan harta kepada orang yang tidak mengendarai kuda, tidak kuat membawa pedang, dan tidak mampu memerangi musuh?” (hal. 19).

Oleh sebab itu, dengan kemurahan syariat Islam, melalui ayat-ayat tentang waris memutuskan hak waris yang dimiliki oleh perempuan. Mereka menerimanya dengan penuh harga diri dan kehormatan tinggi.

Buku ini disusun secara sistematis, sehingga memudahkan pembaca untuk mencernanya. Di awali dengan landasan hukum mawaris dari ayat-ayat Al-Quran sampai persoalan-persoalan ilmu mawaris. Ada beberapa istilah dalam ilmu mawaris yang dijelaskan di dalam buku ini. Misalnya, al-hajb (terhalang dari waris), ashabah, dan macam-macamnya. Bahkan, tentang hak waris dhawil arqam serta hukum orang hilang, orang tenggelam, dan orang tertimbun.

Selain menghadirkan beberapa rumusan dalam ilmu waris, di dalam buku ini juga dijabarkan tentang hukum-hukum mawaris dari beberapa ulama fikih, khususnya empat mazhab fikih ulama ahlussunnah wal jamaah.

Contohnya, dalam memberikan keputusan hukum orang yang hilang (mafqud), para ulama fikih sudah merumuskan hukum-hukum tersendiri berkenaan dengannya.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa batas waktu orang yang hilang adalah 90 tahun. Itu adalah batas waktu orang sebayanya yang tinggal di daerah dia tinggal. Pendapat sahih, menurutnya, adalah bahwa batas waktu ini tidak bisa dipatok dengan ukuran tahun, tetapi ketika orang itu mati berdasarkan keputusan hakim. Hal itu karena hakim akan berijtihad, lalu menetapkan kematiannya setelah batas waktu yang umumnya orang-orang sudah tidak hidup melebihi batas waktu tersebut. Wallahu a’lam.

Data Buku

Judul              : (Al-Mawaris Fi Syariah) Bagi Waris Nggak Harus Tragis
Penulis           : Muhammad Ali As-Shabuni
Penerbit         : Turos Pustaka
Cetakan          : Maret, 2021
Tebal              : 379 halaman
ISBN               : 978-602-1583-60-9

Multi-Page

Tinggalkan Balasan