Belajar dari Kiai Chudlori (2/Habis)

1,119 kali dibaca

Setelah mendirikan Pindok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kiai Chudlori fokus dalam membimbing para santri belajar agama Islam. Meskipun disibukkan mengasuh pesantren, tapi Kiai Chudlori tak lupa untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat.

Mayoritas masyarakat pada waktu itu masih kategori abangan, jadi perlu usaha tepat dalam menyebarkan ajaran keislaman. Dalam beberapa kesempatan Kiai Chudlori  terlihat menggunakan konsep Walisongo dalam dakwahnya. Yaitu, dekat dengan masyarakat dan menyiarkan Islam yang penuh kasih sayang.

Advertisements

Seperti yang dituturkan oleh Gus Yusuf Chudlori, suatu ketika datang rombongan warga Desa Tepus, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang untuk sowan kepada Kiai Chudlori. Kedatangan mereka ke rumah Kiai Chudlori tidak hanya untuk bersilaturahmi, namun juga untuk mencari solusi atas permasalahan yang sedang mereka hadapi.

Ternyata dalam lingkup warga tersebut sedang terdapat polemik tentang pemanfaatan kas (dana) desa. Beberapa warga menginginkan dana itu untuk membangun masjid, namun warga yang lain ingin menggunakan dana itu untuk membeli gamelan. Maka tujuannya sowan ke Kiai Chudlori tak lain adalah untuk meminta solusi atas masalah tersebut.

Secara mengejutkan, Kiai Chudlori menyarankan agar dana desa tersebut digunakan untuk membeli gamelan saja. Pertimbangan Kiai Chudlori, jika masyarakat telah kembali bersatu dan rukun, maka nanti masjid akan berdiri sendiri. Menurutnya, tidak akan ada gunanya membangun masjid yang besar dan megah kalau masyarakatnya tidak rukun. Yang ada masjid itu malah sepi dan bahkan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Lambat laun ternyata benar yang dikatakan Kiai Chudlori. Sebab, setelah gamelan dibeli seluruh warga gotong royong dalam membangun masjid. Dan masyarakat pun juga hidup dengan rukun dan banyak dari mereka yang kemudian memakmurkan masjid dengan rutin beribadah.

Dalam kesempatan yang lain, Kiai Chudlori juga dikenal sering berdakwah untuk menasihati para penjahat. Salah satu kisah yang terkenal adalah tatkala Parto Tepus, seorang bandit kelas kakap, sadar di tangan Kiai Chudlori.

Parto Tepus sendiri merupakan pemimpin bandit yang terkenal jahat. Di antara kejahatan yang menjadi rutinitasnya adalah berjudi, merampok, memeras, dan bermain perempuan. Semua orang takut kepadanya, karena Parto terkenal sebagai seseorang yang kebal.

Hingga pada suatu ketika, di tahun 1949, Parto Tepus menderita sakit yang sangat parah. Karena sakitnya itu ia hanya bisa tidur berbaring selama berbulan-bulan. Sudah banyak dokter dan dukun ia datangi demi meminta kesembuhan, tapi usahanya tak menuai hasil.

Secara tiba-tiba, pada suatu hari Kiai Chudlori menjenguk Parto Tepus di rumahnya. Setelah berbincang-bincang dengan Parto dan istrinya, Kiai Chudlori kemudian meminta air satu gelas dan kemudian dibacakan doa-doa tertentu. Sembari menyuruh Parto Tepus meminum air tersebut, Kiai Chudlori berkata, “Sesungguhnya Anda tidak sakit. Ini tak lain hanya kehendak Allah swt, untuk mengurangi dosa Anda.”

Lalu Parto balik bertanya kepada Kiai Chudlori, “Mungkinkah orang sejahat saya bisa diterima taubatnya?”

Mendengar pertanyaan itu, Kiai Chudlori kemudian mengatakan bahwa belas kasih Allah lebih besar daripada dosa-dosa yang sudah dilakukan Parto Tepus selama ini.

Mendengar wejangan dari Kiai Chudlori, Parto Tepus pun meneteskan air mata. Ia sungguh menyesali atas dosa-dosa yang telah ia kerjakan selama ini. Dan pada saat itu juga ia bertobat dan meminta Kiai Chudlori untuk menuntunnya menjadi seorang Muslim. Demikian kisah seperti dituturkan oleh Otong Nadzirin dalam buku jejak auliya.

Dari dua kisah Kiai Chudlori tersebut kita dapat melihat bagaimana cara Kiai Chudlori dalam berdakwah, yang tidak hanya mementingkan simbol semata. Namun juga tentang bagaimana memaknai esensi dari ajaran Islam itu sendiri, untuk kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sosial.

Teladan dari Kiai Chudlori tersebut patut kita contoh, khususnya di tengah-tengah maraknya dakwah-dakwah para ustaz saat ini yang malah sering menampilkan wajah Islam yang marah, bukan Islam yang ramah seperti yang dilakukan oleh Kiai Chudlori. Wallahua’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan