Beda Santri, Beda “Minhum”

5,691 kali dibaca

Kita tahu, sejak masa yang jauh sebelum ada Indonesia, sebutan santri dialamatkan kepada siapa. Kalau minhum? Generasi milenial akan menyebutnya “toko sebelah”. Dengan itu, saya hanya ingin menegaskan bahwa keduanya memang berbeda. Beginilah ceritanya.

Setahu saya, sedari dini seorang santri sudah diajari untuk khusnudzon, berprasangka baik. Dengan itu, setiap orang harus dianggap sebagai orang baik, bisa jadi ahli surga, sampai ada bukti sebaliknya. Bagaimana dengan minhum, toko sebelah? Entahlah bagaimana mulanya. Yang hampir pasti, semua orang dianggap dan dicurigai sebagai orang tak baik, bisa jadi ahli neraka, bukan sampai ada bukti sebaliknya, melainkan hingga ada bukti telah “hijrah”.

Advertisements

Selama mondok di beberapa pesantren, sebagai santri saya memperoleh pendidikan adab yang sama: khusnudzon. Kita tidak boleh punya prasangka yang tak baik kepada setiap liyan, orang lain, the others. Prinsipnya itu tadi: setiap orang harus dianggap dan diperlakukan sebagai orang baik sampai ada bukti sebaliknya.

Dengan adab khusnudzon itu, seorang santri tidak boleh menganggap remeh atau meremehkan, hina atau menghinakan, nista atau menistakan, kepada siapa pun. Dengan adab khusnudzon itu, seorang santri tidak boleh berprasangka buruk, menganggap orang lain jelek atau jahat, dan mendaku diri lebih baik dari yang lain. Jangan mentang-mentang menyandang status santri, kita jadi merasa lebih ahli ibadah ketimbang yang lain.

Karena itu, dalam praktik keseharian di lingkungan pesantren atau dunia santri, kita tetap harus menghormati dan menghargai terhadap sesama, sekalipun terhadap orang-orang yang kelihatannya berperilaku tidak baik atau tidak waras, berpenampilan nyeleneh, bertampang gembel atau urakan, atau bahkan norak.

Di pondok saya dulu, setiap malam Jumat manis saat dilaksanakan manaqiban, ribuan orang datang dari berbagai penjuru. Penampilan mereka sangat beragam dan dari berbagai “kelas sosial”. Ada yang berjubah dan bersurban megah. Banyak yang hanya bersarung dan berpeci. Tak sedikit yang bercelana layaknya orang biasa. Selalu ada yang berpenampilan gembel layaknya seorang pengemis. Namun, kiai saya memperlakukan semuanya dengan penghormatan yang sama.

“Jangan pernah meremehkan mereka. Kita tak pernah tahu bahwa di antara mereka itu adalah kekasih-kekasih Allah, wali Allah,” demikian pesan Pak Kiai kepada semua santrinya. Itulah kenapa, di antara kami para santri selalu ada “alarm”. Di antara kami akan saling mengingatkan dengan kalimat: “Sstttt…, jangan-jangan dia wali,” ketika berhadapan dengan seseorang yang terlihat aneh atau berperilaku “menyimpang”.

Mungkin itu berlebihan. Tapi dengan itu kami jadi punya “sistem kendali” untuk tidak lekas menghakimi liyan sebagai orang tidak baik, orang sesat, atau bahkan melakukan takfiri. Ini, tentu, berbeda dengan cara pandang toko sebelah alias minhum. Jangankan terhadap yang nonmuslim atau orang-orang yang memang bergajulan, terhadap kami yang hidup sebagai santri saja sering dianggap sesat, ahli bidah yang artinya adalah calon penghuni neraka. Berapa banyak, misalnya, mereka yang telah menghina-hina Gus Mus, bahkan menyebutnya sesat? Padahal, jelas-jelas KH Mustofa Bisri itu orang yang alim allamah. Gus Mus tak sendiri. Cukup banyak kiai pesantren memperoleh perlakuan yang sama. Bahkan, keberadaan Wali Songo sebagai penyebar Islam di Nusantara pun mulai mereka ragukan kebenarannya.

Dari kecenderungan itu, bisa dibilang cara pandang toko sebelah memang suudzon: yang berbeda dari mereka pasti dianggap tidak benar sampai kita menyatakan “hijrah”. Hijrah di sini berarti mau bergabung dan menjadi bagian dari kelompok toko sebelah.

Tapi santri tetaplah santri. Sekeras apa pun toko sebelah berkotek, santri akan tetap setia dengan sarungnya, dan tidak menggantinya dengan celana cingkrang. Santri akan tetap berpeci dengan wajah klimis atau culun, tidak berubah menjadi berewokan nan seram. Dan, santri akan tetap tersenyum menghadapi celotehan-celotehan dari toko sebelah. Begitulah adabnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan