Beda Santri, Beda “Minhum”

5,601 kali dibaca

Kita tahu, sejak masa yang jauh sebelum ada Indonesia, sebutan santri dialamatkan kepada siapa. Kalau minhum? Generasi milenial akan menyebutnya “toko sebelah”. Dengan itu, saya hanya ingin menegaskan bahwa keduanya memang berbeda. Beginilah ceritanya.

Setahu saya, sedari dini seorang santri sudah diajari untuk khusnudzon, berprasangka baik. Dengan itu, setiap orang harus dianggap sebagai orang baik, bisa jadi ahli surga, sampai ada bukti sebaliknya. Bagaimana dengan minhum, toko sebelah? Entahlah bagaimana mulanya. Yang hampir pasti, semua orang dianggap dan dicurigai sebagai orang tak baik, bisa jadi ahli neraka, bukan sampai ada bukti sebaliknya, melainkan hingga ada bukti telah “hijrah”.

Advertisements

Selama mondok di beberapa pesantren, sebagai santri saya memperoleh pendidikan adab yang sama: khusnudzon. Kita tidak boleh punya prasangka yang tak baik kepada setiap liyan, orang lain, the others. Prinsipnya itu tadi: setiap orang harus dianggap dan diperlakukan sebagai orang baik sampai ada bukti sebaliknya.

Dengan adab khusnudzon itu, seorang santri tidak boleh menganggap remeh atau meremehkan, hina atau menghinakan, nista atau menistakan, kepada siapa pun. Dengan adab khusnudzon itu, seorang santri tidak boleh berprasangka buruk, menganggap orang lain jelek atau jahat, dan mendaku diri lebih baik dari yang lain. Jangan mentang-mentang menyandang status santri, kita jadi merasa lebih ahli ibadah ketimbang yang lain.

Karena itu, dalam praktik keseharian di lingkungan pesantren atau dunia santri, kita tetap harus menghormati dan menghargai terhadap sesama, sekalipun terhadap orang-orang yang kelihatannya berperilaku tidak baik atau tidak waras, berpenampilan nyeleneh, bertampang gembel atau urakan, atau bahkan norak.

Di pondok saya dulu, setiap malam Jumat manis saat dilaksanakan manaqiban, ribuan orang datang dari berbagai penjuru. Penampilan mereka sangat beragam dan dari berbagai “kelas sosial”. Ada yang berjubah dan bersurban megah. Banyak yang hanya bersarung dan berpeci. Tak sedikit yang bercelana layaknya orang biasa. Selalu ada yang berpenampilan gembel layaknya seorang pengemis. Namun, kiai saya memperlakukan semuanya dengan penghormatan yang sama.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan