Baridin dan Jaran Goyang

3,854 kali dibaca

Kisah ini antara pernah terjadi dan tidak sama sekali. Ia seorang lelaki muda yang menderita batin dan merasakan larane wong kapegot tresna, perihnya kasih tak sampai.

“Aku telah kalah,” katanya pada temannya, Gemblung Pinulung, saat mereka berdua berjalan menuju sawah. “Ratmina mengejekku laki-laki miskin dan rendah. Baginya aku tidak layak. Apakah di matanya aku sudah begitu buruk? Dan sekarang mak-ku mengusirku dari rumah.”

Advertisements

Ia dihinakan Ratmina untuk cintanya, meski ia tahu bahwa ibunya sudah berendah hati untuk melamarnya.

“Baridin,” kata ibunya, Mak Wangsih, dengan berurai air mata.

“Ratmina bukan golongan kita. Ia bukan jodohmu. Sudah, cari saja wanita lain. Lamaranmu ditolak, dan, aku dianggap pengemis, Ratmina tak peduli sama sekali.”

“Ngomong sekali lagi ke Ratmina, mak. Anakmu ini tak bisa hidup tanpanya. Aku betul-betul mencintainya. Aku selalu terbayang-bayang wajahnya.”

“Cukup,” kata perempuan tua bertubuh kurus dan pucat itu. “Jangan kau teruskan. Aku tahu. Kita miskin, hanya babu bagi orang kaya, hidup untuk dihina-hina.”

“Kita sama-sama manusia, mengapa tak bisa?”

“Tak usah berkhayal-khayal lagi,” perempuan tua itu bangkit, kakinya telanjang, mengambil teko dan menuangkan isinya ke gelas. “Kau mau kasih makan apa jika ia betul jadi istrimu? Air sumur ini?”

“Apa saja yang bisa di makan. Mie dan nasi, pisang dan ikan.”

“Baridin, seperti mak katakan, kita orang miskin, selamanya seperti itu, tak punya apa-apa.”

“Tidak. Aku hanya ingin Ratmina. Dan pernikahan itu akan segera dilangsungkan,” katanya. “Pesta itu akan meriah sekali.”

“Bocah sinting!” kata Mak Wangsih. “Jadi kau tak mau mendengarkan ucapan mak-mu ini?”

“Ya,” jawab Baridin. “Bagen mlarat Baridin lanang. Demen wadon iku wenang. Lamon bli kelakon sun bagen lara badane. Lamun kelakon isun si bagen edane.”

“Kalau begitu pergi dari sini…”

Tak boleh dibiarkan, pikirnya. Seandainya semua ini hanya mimpi dan aku tak pernah bisa bersanding dengannya. “Ratmina harus luluh,” katanya keras-keras pada Gemblung.

“Kau terlampau banyak melamun, Din,” kata Gemblung. “Ini bacaan kemat Jaran Goyang, tinggalan bapakku, amalkanlah, mestinya Ratmina jadi tergila-gila.” Sambil mengeluarkan kertas dari saku bajunya. Baridin mengambilnya dan mulai membaca pelan-pelan isi kertas itu…

Niat ingsun amatak ajiku si jaran goyang

Teteger tengahing pasar

Gegamane cumeti

Sada lanang saking swarga

Sun sabetake gunung gugur

Segara asat, bumi bengkah

Sun sabetake langit butul kang langit sapitu

Sun sabetake atine si jabang bayi… (sebut nama yang dituju)

Wong ayu elinga

Welase ning badan ingsun

Mbrenganga kaya jaran

Teka welas teka asih marang badanku

Laailahaaillah Muhamadurrasullallah…

Setelah selesai membacanya, Baridin mengucapkan beberapa kata. “Siapa tahu. Barangkali nanti semua berakhir bahagia.”

“Tapi ada syaratnya,” ujar Gemblung, “puasa mutih 40 hari dan di hari ke-40 kau harus pati geni.”

“Aku telah pergi dari rumah, dan, aku akan pergi lebih jauh lagi, kembali ketika Ratmina begitu dimabuk rindu ingin segera bertemu denganku,” kata Baridin.

“Apa kata ibumu nanti?”

“Peduli amat. Persetan. Toh aku sudah bukan anaknya, aku telah diusirnya. Hari segera gelap,” katanya. “Aku harus segera pergi mencari tempat tirakatku.”

Baridin, seorang kuli bajak sawah yang tergila-gila gadis cantik di kampungnya, tak ingin memikirkan apa pun selain Ratmina. Ia mantap melangkahkan kakinya ke dalam hutan dan bertapa di sana. Guna-guna itu dibacanya sambil merapal nama Ratmina ribuan kali.

Sepeninggal Baridin, di rumah orang tuanya yang megah, hati Ratmina langsung berdebar-debar. Ia mulai menyebut-nyebut nama Baridin. Kebenciannya kepada Baridin berubah jadi hasrat yang meledak-ledak. Ia ingin lekas bertemu, kabur dari rumah, mencarinya ke mana-mana. Ia kini jatuh hati sedalam-dalamnya.

“Kang Baridin, kulane melu kang…” itu yang diucapkan oleh Ratmina sepanjang jalan yang dilaluinya. Ia menanyakan ke mana perginya Baridin kepada setiap orang. Kini orang mulai menganggapnya gendeng. Gila.

Perempuan itu perempuan yang pernah menolak cintanya Baridin, Ratmina. Dan hidupnya berakhir amat tragis. Ia meninggal sesudah bertemu Baridin di tengah sawah dan lelaki itu mengucapkan kekecewaan-kekecewaan. “Sekarang kau minta dinikahi. Mana Ratmina yang dulu mengaku dilamar pilot, pengusaha, orang gedongan itu? Baridinmu ini masih laki-laki miskin, tapi aku tak sudi menikahimu. Karena congkakmu ibuku mengusirku dari rumah. Untuk itu aku berpuasa 40 hari dan ingin membuatmu gila. Aku telah balas penolakan dan penghinaanmu waktu dulu. Sekarang hatiku lega. Permintaanmu tak akan banyak gunanya,” katanya keras-keras.

Mendengar itu, tiba-tiba tubuh Ratmina ambruk dihadapan Baridin. Laki-laki itu menunggu kalau-kalau Ratmina sadar kembali. Tapi ia tak bisa lagi bicara kepada Ratmina sebab wanita itu sudah mati. Ia tahu bahwa hatinya sudah lama hancur.

Isun iki aran Baridin

Urip menderita batin

Saban dina nyandang isin

Sesudah mengucapkan itu Baridin merasa lemas dan pengelihatannya mengabur. Tampak olehnya rumput hijau maha luas, burung-burung putih alit terbang dari utara, dan Ratmina memanggil-manggil namanya. “Tuhan, biarkan ini jadi cerita kami, aku akan bersamanya sampai mati.” Lalu angin berembus kencang, mematahkan ranting-ranting…

Maka yang terlihat Baridin adalah kebanyakan dari kita. Ia datang dari golongan bawah. Ia ingin menembus batas antara si miskin dan kaya. Tapi ternyata ia tidak bisa menyudahinya.

Ia bukan seorang suci yang bisa dengan mudah memaafkan segalanya. Ia masih bisa sangat kecewa, kehilangan harga diri, ketika cintanya ditolak, muncul perasaan sakit hati.

Begitulah kisah Baridin-Ratmina menjadi begitu masyhur di telinga orang pesisir Cirebon, Indramayu, Brebes, dan sekitarnya. Di awal tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1990, orang masih banyak yang memutar kaset-kasetnya, masih jadi hiburan rakyat yang sangat disukai. Dan, kubur mereka, konon ada di Jagapura, Gegesik, 45 menit dari rumah, masih dikeramatkan.

Dan akhirnya apa yang kalian temukan? Ceritanya diulang-ulang, dan sebuah lagu dengan perasaan yang sama terluka, kemudian menyelinap ke dalamnya, tak henti diputar.

Apa salah dan dosaku, sayang?

Cinta suciku kau buang-buang

Lihat jurus yang akan kuberikan

Jaran goyang, jaran goyang

 

Dam dudidam, aku padamu, i love you

I cant stop loving you, oh, darling

Jarang goyang menunggumu

Multi-Page

Tinggalkan Balasan