Banyak Jalan Menuju Tuhan

2,343 kali dibaca

Sebagai manusia yang penuh keterbatasan dan segala kelemahan, eksistensi sang Dzat Maha Agung sebagai penggerak atas apa yang dikehendaki bagitu penting. Terlebih menilik seorang yang memiliki pegangan dalam hidup (agama), merupakan media dalam mencari, mendekat dan mencapai kekuatan tertinggi yang sifatnya immateri (abstrak). Demikian oleh makhluk acap kali dikenal Tuhan, yang Maha Ada di antara yang ada, bersifat ada sebagai pemula yang ada, dan kekal dalam setiap keadaan.

Oleh karenanya, untuk menuju-Nya perlu adanya jalan yang harus ditempuh dalam mencapai kesempurnaan sebagai wujud dari percik-percik nur-Nya. Jalan yang dimaksud di sini adalah bagaimana manusia mampu kembali kepada Tuhan sebagai pemegang segala kendali, hak, terlebih pencipta alam semesta.

Advertisements

Jika melihat realitas yang ada, keragaman agama di penjuru dunia merupakan keniscayaan. Bahkan pemeluk tiap agama mengklaim bahwa agama yang dianutnya dan jalan yang ditempuhny adalah yang paling benar. Dari sini, muncul beberapa pertanyaan, manakah jalan yang paling benar menuju-Nya? Akankah tiap agama memiliki Tuhan masing-masing? Layakkah kita memvonis salah terhadap mereka yang dianggap jalannya tidak sama?

Sebelum melangkah lebih jauh, penting kiranya mengetahui terlebih dahulu konsep pluralisme agama. Seorang pemikir Islam dari India Bernama Abul Kalam Azad, menyatakan, “al-Din Wahid wa al-Syari’at Mukhtalifat: no difference in Din difference only in Sharia: agama tetap satu dan syariat berbeda-beda.
Demikianlah dalam kosa kata Arab dikenal dengan “Wahdat al-Adyan”, yang secara makna semua agama tujuan utamanya adalah mengabdi kepada Tuhan yang sama. Hal yang menjadi pembeda hanya terletak pada kulitnya. Pada hakikatnya pula, agama bersumber dari Yang Satu, yakni apa yang disebut Tuhan, atau dalam redaksi lain Allah/Gusti/Pengeran/Yang Kuasa/Sang Hyang Widhi.

Dari adanya konsep yang penting untuk dipahami layaknya di atas, nantinya akan mendidik manusia beragama untuk tidak saling menghakimi agama lain, karena demikian tidak dibenarkan dalam agama, bahkan yang dianjurkan adalah manusia konsisten dan patuh terhadap agamanya masing-masing. Hal ini mendidik seorang beragama pada sikap keterbukaan, humanis, dan pluralis di tengah masyarakat majemuk.

Beberapa tokoh pertama yang mengenalkan konsep demikian di antaranya Martir al-Hallaj, lalu disistematisasi oleh Ibn ‘Arabi, kemudian salah satu tokoh sufi dan penyair masyhur hingga kini Maulana Jalaluddin al-Rumi. Menilik syair-syair indah dan penuh kesakralan Jalaluddin Rumi, ada salah satu syair yang mewakili pembahasan kali ini. Di antaranya sebagai berikut:

Lampu-lampu memang berbeda, namun cahayanya satu dan sama

Tuhan menampakkan Diri-Nya pada ribuan cara dan bentuk, menciptakan sejumlah sesuatu yang baru

Sesungguhnya Tuhan adalah Dzat yang disembah oleh semua manusia (makhluk), sejak seluruh perjalann (diciptakan) demi kesenangan sang musafir (dan Tuhan adalah sumber), tetapi sebagian orang mengarah mukanya hanya pada seekor (bentuk fenomena) dan kehilangan kepala, padahal kepala itu adalah Prinsip

Seluruh keanekaragaman ini adalah satu, siapapun yang melihatnya dua (atau terbilang), berarti matanya rusak

Bagaimana mungkin ratusan menjadi satu? Siapa yang berpikir begitu sesungguhnya dia gila

Meskipun banyak jalan yang ditempuh manusia, tujuannya adalah sama. Tidakkah engkau melihat itu? Berapa banyak jalan untuk sampai ke Kakbah (dimaknakan sebagai tempat bersemayam Tuhan). Sejumlah orang datang dari Anatolia. Sebagian dari Damaskus. Orang lain dari China. Sebagian yang lain menyebrang dari India melewati Yaman. Jika engkau melihat jalan-jalan itu. Perbedaan kelihatannya sangat besar dan tidak terbatas. Tetapi ketika engkau menengok tujuannya. Engkau melihat bahwa smmua jalan itu menuju Kakbah. Tempat di mana tidak ada ruang untuk berselisih. Kedekatan itu bukan kekafiran ataupun iman. Tegasnya tidak dikacaukan dengan perbedaan cara yang telah kita bicarakan.

Syair-syair Jalaluddin Rumi di atas dengan tegas menjelaskan bahwa jalan menuju Tuhan tidaklah hanya satu yang paling benar dan dikehendaki Tuhan. Layaknya berkunjung ke Mekkah untuk melaksanakan haji, ada yang menempuh melalui jalur udara, darat, laut, dan masing-masing jalur  dengan rute yang berbeda pula. Pluralitas keagamaan sejatinya telah berakar dalam realitas Tuhan itu sendiri, yaitu kehendak-Nya.

Begitu pula sebagai muslim, dalam Al-Qur’an secara ontologis berasal dari Tuhan dan membawa implikasi positif terhadap manusia, bahwa di dalamnya memuat kabar keleluasaan manusia memperdalam pencariannya terhadap Dzat Yang Agung, lalu memahami hakikat-Nya.
Tidak hanya dalam Islam, setiap agama apa pun mengajarkan demikian dalam laku syariatnya. Pemahaman yang demikian akan membentuk karakter, cara berpikir, keyakinan, dan sikap manusia tidak lagi merasa dirinya paling benar dalam menempuh jalan menuju Tuhan. Khaled Aboul El-Fadl, dalam karyanya dengan judul The Place of Tolerance in Islam, mengatakan bahwa tidak dibenarkan dalam Islam sikap yang saling menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar.

Hal ini tidak hanya berlaku pada Islam semata, namun pada agama lain. Banyak jalan menuju Tuhan, dan ukuran sampai atau tidaknya pada Tuhan tidak ditentukan oleh jalan yang ditempuh, akan tetapi berasal dari bagaimana usaha seorang manusia dalam mencari dan memahami Tuhan yang Maha Segala.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan