Namaku Anton. Pria berusia 35 tahun yang telah dikaruniai dua pangeran tampan dari istri cantik yang amat kusayangi. Pekerjaan sehari-hariku adalah menjaga gerbang di sebuah pesantren. Orang-orang menyebut pekerjaanku sebagai satpam. Para santri penghuni pesantren yang sudah mengenal namaku memanggilku dengan julukan ‘Bang An’, potongan kata dari Bang Anton.
Aku senang sekali dengan mereka yang mau mengenal baik namaku. Namun ada juga santri yang memanggilku dengan julukan ‘Bang Sat’, potongan kata dari Bang Satpam. Sebenarnya aku sedikit terganggu dengan panggilan semacam itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Memang benar bahwa aku hanya seorang satpam penjaga gerbang.
Shift bagianku menjaga gerbang hanyalah dari pukul delapan pagi hingga menjelang magrib. Lumayan lama untuk gaji yang, bisa dibilang, pas-pasan. Seterusnya, gerbang pesantren dijaga oleh satpam yang berbeda. Aku memanggilnya Pak Gembul. Karena perutnya yang menjulang ke depan membuatku mudah mengingatnya.
Entah, aku sudah lupa dengan nama aslinya saat pertama kali ia mengenalkan diri sambil memilin-milin kumis tebalnya dengan seringai yang menyeramkan. Syukurlah, itu hanya tampang luarnya. Orang yang tak kenal betul dengan Pak Gembul akan mengira bahwa ia galak. Tapi sebenarnya, Pak Gembul adalah orang yang sangat humoris.
Pernah suatu ketika saat pergantian jam jaga ia menawariku nasi bungkusan yang dibawanya. Mungkin bekal yang dibuat istrinya.
“An, mau nasi, An?”
“Nasi apa, Pak?”
“Nasi rahasia.”
“Ha?”
“Iya, rahasia. Gak dikasih tahu.”
Pak Gembul pun tertawa terbahak-bahak dengan jokes ala bapak-bapaknya itu. Tidak mau kalah, aku pun menimpali jokesnya.
“Pak, Pak. Air, air apa yang ngantuk?”
“Emang air bisa ngantuk?”
“Ih, bisalah. Air pas direbus.”
“Ha?”
“Ya kan airnya menguap.”
Kami pun akhirnya tertawa bersama. Sialnya, tak banyak orang yang tahu kalau kami sebagai satpam juga busa bercanda. Kebanyakan para santri menilai kami sebagai penjaga gerbang yang garang dan tidak berperasaan. Padahal tugas seorang satpam hanyalah mematuhi komando dari atasan saja. Hanya sebatas itu. Tapi, kami kadang malah dituduh yang tidak-tidak. Begitulah nasib menjadi satpam.
Suatu ketika, pernah dua orang santri hendak keluar kompleks pesantren dengan alasan ingin membeli nasi.
“Loh, kok gak beli di kantin pesantren aja, dek?” tanyaku.
“Nasinya habis, bang. Banyak yang gak kebagian juga,” jawab salah seorang.
“Oh, kalau banyak yang gak kebagian koordinasikan ke satu orang saja, dek. Biar sekalian nitip dan gak keluar semua,” ujarku kemudian memberi saran pada mereka berdua.
“Bang Sat, Bang Sat. Gak tahu rasanya jadi santri, sih. Bisanya cuma ngelarang mulu,” ucap salah seorang lainnya dengan nada sinis.
Jelas hatiku serasa disayat mendengar perkataannya. Padahal aku memberi saran yang solutif pada mereka, namun malah dianggap melarang. Seharusnya mereka juga tahu kalau keluar area pesantren sangat tidak diperbolehkan, apalagi sampai berbelanja. Aku sudah menolerir keinginan mereka karena kebutuhan mendesak, tapi seperti ini sikap mereka padaku.
“Ya sudah kalau begitu gitu, dek. Jangan lama-lama keluarnya. Cukup beli nasi saja,” ujarku akhirnya pada mereka.
Sebenarnya tindakan semacam ini melanggar kode etik satpam. Tapi aku sudah muak menghadapi debat dengan santri-santri keras kepala seperti itu. Tapi aku yakin tidak semua santri memiliki sikap songong begitu. Mereka yang selalu menggunjingku pasti hanyalah oknum saja.
Beberapa menit kemudian ada sebuah laporan bahwa dua santri tertangkap basah membeli ‘barang haram’ di sebuah warung. Siapa sangka dua santri itu adalah mereka yang sebelumnya kuizinkan keluar untuk keperluan beli nasi.
Berkenaan dengan kejadian itu, aku dimarahi habis-habisan oleh atasan karena dianggap memberi kesempatan melanggar kepada santri.
“Jaga gerbang saja tak becus! Mau merusak santri-santri yang sudah dididik? Ha?” bentak pengurus pesantren padaku beberapa waktu setelah kejadian.
Huh, sungguh sangat mengesalkan jika terjadi kejadian semacam ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengucapkan “Maaf ustaz. Saya lalai.” Mustahil bisa membela diri jika sudah pengurus pesantren yang turun tangan. Sekali salah, tidak bisa ada pembenaran. Untungnya aku masih diberi kesempatan sekali lagi untuk bisa menafkahi keluarga lewat menjaga gerbang. Benar, aku tidak dipecat. Hanya diberi surat peringatan saja.
Memang kuakui bahwa aku salah. Seandainya aku tak mengizinkan dua santri itu keluar, mungkin kejadian ini tidak akan mengusikku. Namun jujur, mendapat perlakuan sinis dari santri juga tidak nyaman. Posisi menjadi satpam adalah posisi yang dilema. Padahal, aku hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anakku.
Aku pernah ditawari sebuah pekerjaan oleh seorang kenalanku: mengirim barang keluar kota. Ya, hanya sebatas mengirim barang. Awalnya kukira pekerjaan ini akan lebih cocok bagiku ketimbang menjaga gerbang pesantren. Namun, setelah temanku menjelaskan prosedur kerjanya, kurasa baiknya aku tetap mempertahankan posisiku sebagai satpam. Bagaimana tidak? Pekerjaan mengirim barang keluar kota rupanya mengharuskan untuk meninggalkan keluarga berhari-hari. Sementara aku tidak bisa meninggalkan dua buah hati kecilku yang selalu menunggu kepulanganku di depan pintu menjelang magrib.
“Janganlah, Mas. Kasihan sama anak-anak masih pada kecil-kecil. Sudahlah. Syukuri kerjaan yang ada. Lagian, Adek juga tak masalah sama pekerjaan Mas,” ucap istriku beberapa saat sebelum tidur, ketika aku mengutarakan tawaran kerja oleh temanku.
Ah, mendengar pendapatnya, aku juga tak tega meninggalkan istriku sendirian mengurusi anak-anak di rumah. Akhirnya aku menolak tawaran kerja itu dan tetap menjalankan rutinitasku sebagai satpam penjaga gerbang. Ya, hitung-hitung juga mencari barokah dari para santri yang mengaji tentang agama. Siapa tahu suatu saat anak-anakku tumbuh menjadi orang yang saleh.
Keesokan harinya, seperti biasa aku berangkat ke pesantren tempatku bekerja. Di sana, kulihat Pak Gembul tengah bersiap-siap bergantian shift jaga denganku. Wajahnya terlihat kusut, pertanda bahwa semalam ia benar-benar tidak tidur.
“Sudah mau pulang saja, Pak? Tak sarapan bareng dulu? Ini saya bawa bekal banyak,” sapaku berbasa-basi pada Pak Gembul.
“Aduh, sudah, An. Aku ngantuk sekali ini,” jawab Pak Gembul sambil menguap. “Aku tinggal, ya,” ucapnya kemudian sembari mengendarai motor bebeknya yang nampak mungil saat dinaiki tubuh besar Pak Gembul.
Beberapa saat setelah Pak Gembul pergi, terlihat dua orang mengendarai motor menuju ke arah pesantren. Mereka berboncengan dan sama-sama mengenakan helm. Mungkin kerabat santri yang hendak menitipkan barang, pikirku. Aku bergegas mendekat ke gerbang guna membukakan jalan untuk mereka.
Sebelum sempat bertanya tentang keperluan kunjungan dua orang itu, salah seorang membuka helmnya. Aku terkejut melihat wajah orang itu. Dia adalah santri yang beberapa waktu lalu tertangkap basah membeli ‘barang haram’ di warung luar pesantren. Oh, apa jangan-jangan dia diusir dari pesantren? Sial, kalau begitu, apa dia ingin balas dendam karena waktu itu dia pikir akulah yang melaporkannya bahwa dia keluar kompleks pesantren?
“Maaf, Bang Sat. kalau saja waktu itu aku menuruti saranmu, mungkin aku tidak akan diusir,” ujarnya tiba-tiba dengan nada suara parau.
Hah, kasihan sekali dia. Ternyata santri itu hanya ingin mengambil barang-barangnya yang tertinggal. Aku pun mempersilakannya masuk dan segera kembali ke pos jaga.
Aw! Ada sesuatu yang menancap di kepalaku! Oh, Tuhan! Kenapa perih sekali?! Apa ini? Darah?
Ilustrasi: pixabay.