Gambar Kitab Badai' ash-Shonai'

Badai’ ash-Shanai’, Kitab Nahu dari Sidogiri

2,263 kali dibaca

Nahu merupakan salah satu ilmu yang banyak dikaji di berbagai pondok pesantren di Indonesia, baik secara sorogan maupun bandongan, mulai dari kitab yang tipis seperti matan al-Ajurumiyah sampai yang berjilid seperti Hasyiyah al-Khudori, Hasyiyah Ibn Hamdun, dan masih banyak lagi.

Seorang tokoh ternama, sejarawan muslim abad ke-14 yang bernama Ibnu Khaldun memandang bahwa ilmu nahu ini merupakan bagian integral dari seluruh pilar Linguistik Arab (Ulum al-Lisan al-Arobi). Kata Ibnu Khaldun, seorang ahli syariat wajib mengetahui ilmu ini karena dasar pengambilan hukum-hukum syari adalah Al-Qur’an dan Hadis, dan keduanya berbahasa Arab.

Advertisements

Kitab Badai’ ash-Shonai’ ini merupakan salah satu dari banyak kitab yang membahas ilmu nahu. Tetapi, pembahasan di dalamnya tak seperti lumrahnya kitab nahu, tidak seperti al-Ajurumiyah yang diawali bab Kalam dan diakhiri bab Tawabi’. Kitab ini mengumpulkan dan menjelaskan lafaz-lafaz yang asing dalam masalah nahu, sesuai namanya, Badai’ ash-Shonai’ fi Gharaib Masail an-Nahwi al-Lawami’.

Kitab ini disusun oleh Lajnah Dirosah Islamiyyah Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Jawa Timur. Kita tahu bahwa Sidogiri merupakan pondok pesantren yang cukup aktif dalam gerakan literasi dan tulis menulis, sehingga tak heran jikalau pondok ini banyak menghasilkan karya-karya agung seperti kitab ini.

Kitab setebal 256 halaman ini bisa menjadi rujukan penting bagi santri yang sedang mendalami kitab kuning. Sebenarnya, ada beberapa kitab senada yang menjelaskan masalah-masalah gharib dalam ilmu nahu, seperti al-Mu’jam al-Mufasshol fi al-I’rob karya Profesor Thohir Yusuf al-Khotib, al-Mu’jam al-Mufasshol fi an-Nahwi al-Arobi (2 jilid) karya Dr Azizah Fawal Babti, dan Mausu’ah an-Nahwi wa ash-Shorfi wa al-I’rob karya Dr Emil Badi’ Ya’qub. Kekurangannya, kitab yang penulis sebutkan itu cukup tebal, tak ramah di tas, agak berat di bawa ke mana-mana. Beda halnya dengan kitab Badai’ ash-Shonai’ yang ukurannya sedikit mungil.

Sebelum berlanjut, penulis tegaskan bahwa penulis tidak sedang mempromosikan kitab ini. Penulis hanya sebatas mereview kembali karya ini berdasarkan pengalaman empirik setelah sekian lama mengadopsi kitab ini. Oke, mari kita lanjutkan pembahasan. Seperti apa sih lafaz gharib itu? Tentu kita sering mendengar ucapan Subhaanallaah. Pertanyaanya, “subhaana” ini kalimat apa, apa i’rob-nya? Jawabannya ada di halaman 53. Berikut ibaroh-nya:

سبحان

وهي تأتي على وجهين:

أحدهما أن تعرب مفعولا مطلقا لفعل محذوف تقديره: أسبّح، منصوبا بالفتحة الظاهرة كما جاء في قوله تعالى: “سبحان اللّه” تنزيه للّه عن كل ما لا يليق به وعن كل ما لا ينبغي أن يوصف به ولا تستعمل إلا مضافة. وثانيهما أن تكون بمعنى النفس فتعرب حسب موقعها في الجملة نحو: أنت أعلم بما في سبحانك أي بما في نفسك. وقد تستعمل لفظة “سبحان” للتعجّب نحو: سبحان الله ما هذا الجمال.

“Lafaz Subhaana bisa ditinjau dari dua sisi: Pertama, lafaz subhana menjadi maf’ul mutlak bagi fi’il yang dibuang, yaitu أُسَبِّحُ I’rob-nya nashob dengan fathah dzohiroh sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah ash-Shoffat ayat 159 “سُبْحَانَ اللّٰهِ عَمَّا يَصِفُوْن”  (Maha suci Allah dari apa yang mereka sifati). Yang dimaksudkan adalah Allah Maha Suci dari segala sesuatu yang tidak layak dengan-Nya, dan dari segala sifat yang tidak seyogyanya dinisbatkan pada-Nya. Lafaz Subhana ini tidak dipergunakan kecuali dalam kondisi di-mudlof-kan (disandarkan pada kalimat lain). Kedua, lafaz Subhaana bermakna an-nafsi (jiwa/diri), maka dari itu I’rob-nya menyesuaikan kedudukan dia di dalam jumlah. seperti contoh أَنْتَ أَعْلَمُ بِمَا فِيْ سُبْحَانِكَ أَيْ بِمَا فِيْ نَفْسِكَ  (engkau lebih mengetahui apa yang ada pada dirimu). Dalam hal ini, lafaz “subhaana” tidak lagi sebagai maf’ul mutlak yang ber-i’rob nashob melainkan ia ber-i’rob jar karena didahului oleh huruf jar. Terkadang, “subhaana” juga dipergunakan sebagai kalimat yang menunjukkan ta’ajjub (keheranan atau kekaguman), sepertiسُبْحَانَ اللّٰهِ مَا هٰذَا الجَمَال  (alangkah kagumnya aku akan ketampanan ini).”

Selain “Subhaana”, ada lafaz lain yang sering muncul di dalam kitab kuning, yaitu خاصة/خصوصا  seperti ibaroh yang ada di dalam Kitab al-Fatawi al-Kubra karangan Ibnu Hajar al-Haitami juz 1 halaman 166 berikut:

قَالَ ابْنُ الْعِمَادِ وَيُعْفَى عَنْ قَلِيلِ سَلِسِ الْبَوْلِ فِي الثَّوْبِ وَالْعِصَابَةِ بِالنِّسْبَةِ لِتِلْكَ الصَّلَاةِ خَاصَّةً .وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلصَّلَاةِ الْآتِيَةِ فَيَجِبُ غَسْلُهُ أَوْ تَجْفِيفُهُ وَغَسْلُ الْعِصَابَةِ أَوْ تَجْدِيدُهَا بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ.

“Air kencing sedikit yang tidak bisa ditahan keluarnya (karena beser) yang mengenai pakaian dan pembalut, hukumnya di-ma’fu (dimaafkan), itu hanya berkenaan khusus dengan salat yang sedang dijalani, adapun untuk salat selanjutnya maka wajib dibasuh/dibersihkan.

Untuk menjawabnya, mari kita merujuk kitab Badai’ ash-Shonai’ halaman 47 berikut ibaroh-nya:

خَاصَّةً وَ خُصُوْصًا

(خاصّة) حال منصوب بالفتحة الظاهرة في نحو: أحبّ الفاكهة خاصّة العنب. أما إذا كانت مقرونة بالواو فإنّها تعرب مفعولا مطلقا لفعل محذوف تقديره “أخصّ”. وقد تجر نحو: أحبّ المطالعة وبخاصّة مطالعة الصحف. وهذا الإعراب يجري في إعراب (خصوصا) أيضا.

“Ladaz خاصة menjadi hal yang di-nashob-kan dengan fathah dzohiroh, seumpama contoh أُحِبُّ الفَاكِهَةَ خَاصَّةً العِنَبَ (aku menyukai buah-buahan khususnya anggur). Sedangkan, apabila lafaz خاصة diiringi dengan الواو (wawu), maka ia berubah kedudukannya menjadi maf’ul mutlak bagi fi’il yang dibuang, yaitu أَخُصُّ. Terkadang juga ia bisa dijarkan, seumpama أُحِبُّ المُطَالَعَةَ وَبِخَاصَّةٍ مُطَالَعَةُ الصُّحُفِ (aku senang muthola’nah, khususnya muthola’ah shuhuf). I’rob ini juga berlaku pada i’rob lafadz خصوصا .”

Nah, untuk yang terakhir ini susunan jar majrur (بِخَاصَّةٍ) menjadi khobar muqoddam dan kalimat مُطَالَعَةُ menjadi mubtada’ muakhkhor.

Uraian ini tentu hanya sedikit dari sekian banyak uraian yang ada di dalam Kitab Badai’ ash-Shonai’. Iika pembaca ingin mengetahui lebih lanjut isinya bolehlah mencarinya untuk dibaca-baca sekaligus menjadi koleksi perpustakaan.

Keistimewaan lain dari pada kitab ini, ia juga menghimpun nisbat-nisbat yang populer dari ulama, mulai dari halaman 197 sampai 241. Kumpulan nisbat-nisbat (al-Ansab) yang populer dari ulama ini dihimpun oleh Ustaz Musyaffa’ Siroj dari Sidogiri dan diberi nama an-Nujum az-Zahiroh fi Ma’rifati al-Ansab asy-Syahiroh.

Sungguh, mempelajari nisbat ulama ini sangatlah penting. Tak sedikit dari kalangan santri yang keliru dalam membacanya. Contoh nyata yang sering penulis jumpai, yaitu ketika ada sebagian santri membaca judul Kitab Hasyiyah al-Bujairimi dibaca Hasyiyah al-Bujairomi, padahal yang benar menurut kaidah tashghir (Tashghir sama halnya dengan Nasab, yang merupakan bagian dari pembahasan Ilmu Sharaf. Secara bahasa Tashghir berarti mengecilkan, sedangkan menurut istilah yaitu perubahan bentuk-bentuk kata dengan maksud tertentu) yaitu dibaca al-Bujairimi. Berikut ibaroh-nya:

البُجَيْرِمِيُّ بضمّ الموحّدة ثم فتح الجيم مع كسر الرّاء ومن قرأه بفتح الراء فلا أصل له لأنّها نسبة إلى بجيرم قرية بمصر مصغّرا. ومعلوم أنّ تصغير ما كان رباعيّا فأكثر ضم أوله وفتح ثانيه وزيد بعد ثانيه ياء ساكنة وكسر ما بعد الياء فتقول في دِرْهَمٌ دُرَيْهِمٌ وفي عُصْفُوْرٌ عُصَيْفِيْرٌ. قال في الخلاصة:

فُعَيلاً اجْعَلِ الثُّلاَثِيَّ إِذَا * صَغَّرتَهُ نَحوُ قُذَىٍّ فِي قَذَا

فُعَيْعِلٌ مَعَ فُعَيْعِيلٍ لِمَا * فاقَ كَجَعلِ دِرْهَمٍ دُرَيهِمَا

وممّن ينسب إليه الشيخ سليمان بن محمد بن عمر البجيرمي الشافعي له تحفة الحبيب على شرح الخطيب المسمّى بحاشية البجيرمي على الخطيب وله أيضا حاشية البجيرمي على شرح منهج الطلاب.

“Lafaz al-Bujairimi dengan dlommah ba’ –nya, kemudian fathah jim-nya, serta kasroh ro’-nya. Sedangkan, apabila ada orang yang membaca al-Bujairomi (ba’-nya dibaca fathah), maka dia tidak mempunyai dasar yang kuat dalam hal itu, karena al-Bujairimi merupakan nisbat kepada Bujairim (di-tashghir) sebuah desa di Mesir. Telah jamak diketahui bahwa tashghir isim ruba’i (empat huruf) atau lebih yaitu dengan cara huruf pertama di-dlommah-kan, huruf kedua di-fathah-kan, dan setelah huruf kedua ditambah ya’ sakinah (sukun), dan huruf setelah ya’ di-kasroh-kan.

Secara umum, wazan tashghir ada tiga sebagai berikut: Tsulatsi: فُعَيْلٌ contoh  عَبْدٌ: عُبَيْدٌ – جُنْدٌ: جُنَيْدٌ,Ruba’iy, dan seterusnya:  فُعَيْعِلٌdan فُعَيْعِيْلٌ. Contoh دِرْهَمٌ: دُرَيْهِمٌ، دِيْنَارٌ: دُنَيْنِيْرٌ. Ulama yang dinisbatkan kepada Bujairim ini adalah asy-Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi asy-Syafi’i dengan masterpiece Kitab Tuhfatul Habib ‘ala Syarh al-Khotib yang biasa kita sebut Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khotib dan Kitab Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarh Manhaj ath-Thullab.”

Itulah Badai’ ash-Shonai’ fi Gharaib Masail an-Nahwi al-Lawami’. Wallahu a’lam bisshowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan