Bacaan Agama ala Orang Kota

4,526 kali dibaca

Kejadiannya sih sebelum wabah Corona semakin masif, kurang lebih dua bulan yang lalu.

Iseng-iseng saya dan kawan main ke supermarket modern Kota Metro Lampung. Di sana ternyata cuma mondar-mandir ta jelas. Tapi tak lama kemudian, saya penasaran melihat beberapa rak buku di satu sudut ruang belanja. Saya segera menghampiri.

Advertisements

Kira-kira, di supermarket modern yang cukup besar ini, apa saja daftar bukunya? Lebih spesifik lagi, apa saja koleksi buku agamanya?

Setelah melihat-lihat beberapa buku, betapa terkejutnya saya. Hampir semua buku tentang agama yang berjejer di rak dan etalase, berisi bahasan-bahasan tentang tauhid, anti-bid’ah, anti-syirik, dan pedoman-pedoman sunnah. Cover-nya memang bagus, warnanya mencolok, dan bukunya juga tebal-tebal. Tapi, ya itu, sudah bisa ditebak, kan ? Buku-buku itulah dasar dan pedoman kaum Wahabi dalam menyalahkan amaliyah kita, kaum nahdliyin.

Memang, rata-rata golongan “minhum” banyak berbasis di perkotaan, karena beberapa hal seperti jarangnya pondok pesantren dan mobilitas yang lebih tinggi. Maka, kemudian orang-orang yang hendak belajar agama akan mencari waktu yang lebih singkat dalam belajar, ya salah satunya dengan membeli buku bacaan.

Coba bandingkan, kitab panduan fikih mereka, “panduan hidup sunah sehari semalam”, dengan fikih Taqrib ala pesantren di desa-desa. Memang beda jauh. Buku terbitan Darul Haq tentu kelihatan lebih keren, asyik dibaca; ya memang mudah karena sudah terjemahan, dan kesimpulan kesimpulan tok isinya, meskipun kaku dan kayak paling benar sendiri.

Beda jauh dengan kitab kuning pesantren. Sudah cover-nya tak menarik, baunya sengak-sengak, apalagi isinya yang sudah dimaknai dengan pegon. Benar-benar seperti serondeng. Lebih susah dipahami juga lantaran harus bersanad pada guru.

Pantas saja, rata-rata di masjid bila perkotaan adzan jumatnya cuma satu. Bakda adzan sholat maktubah tak ada puji-pujian, apalagi majelis-majelis yasin, tahlil, manaqib, berjanjen, peringatan nuzulul quran, isro miroj, mauludan rajab, syaban, muharam; jarang kan yang ada?

Juga, iklim perkotaan yang masyarakatnya kurang guyup dan hidup secara “nafsi-nafsi”, ibarat tetangga kanan-kiri saja tak kenal siapa namanya. Ya pasti susah membentuk komunitas jamaah yasinan.

Apalagi, ditambah daftar literasi yang judul kitabnya saja “menjaga tauhid”. Narasinya dimulai dari “menjaga tauhid” -mengesakan Allah- tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah-menyembah selain Allah dosa- meminta selain Allah musyrik- berdoa di kuburan wali syirik-berdoa tawasul bidah- maka kemudian kesimpulannya adalah “yasin tahlil berjamaah hukumnya kafir, murtad, ziarah kubur itu amalan ahli syirik dan ahli bidah. Seperti itu.

Orang awam tentu tak akan bisa membantah tuduhan tuduhan keji tersebut, apalagi kalau ditanya amalan ini apa dalilnya? Apa pernah dicontohkan Nabi? Kalau tak ada berarti bidah! Kalau bidah berarti sesat! Neraka!

Harapannya, sih, ke depan buku-buku itu bisa ditandingi dengan kehadiran karya Gus Mus, Buya Husein, Haidar Bagir, Prof Quraisy, KH Marzuki Mustamar, Ahmad Sarwat, dan ulama serta kiai-kiai pesantren lainnya, yang keilmuannya sudah mumpuni dan moderat dalam khazanah pemikirannya. Kitab-kitab beliau juga harus bisa mengisi etalase buku-buku di supermarket modern, jangan sampai kalah dengan golongan “minhum”.

Ya sudah, karena tak ada satu pun yang cocok, saya akhirnya beli buku iqra saja, penasaran dengan maqolah “qorona khalaqa kadzaba”, yang kata kaum cocoklogi terjemahannya adalah “virus corona tercipta pada zaman penuh dusta”.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan