Azan Mat Cadel

2,961 kali dibaca

Mat Cadel duduk bersila di sudut ruangan masjid. Ia hanya mampu mengamati anak-anak yang berebut mikrofon masjid untuk azan. Anak-anak itu sangat bersemangat agar bisa azan. Mereka sudah berguru dengan Wak Hasyim, muazin sekaligus pemilik suara merdu di kampung ini. Untuk itulah mereka ingin membuktikan kemampuannya.

Mat Cadel tersenyum tipis. Dirinya bukan lagi anak kecil seperti mereka, tetapi ia juga sangat menginginkan untuk bisa azan. Namun karena keterbatasannya, Mat Cadel tidak bisa melakukannya. Sebab, ia tak mampu berbicara secara normal. Demikianlah, ia dijuluki Mat Cadel karena ketakbisaannya berbicara seperti orang-orang pada umumnya.

Advertisements

Pernah suatu kali Mat Cadel azan, namun setelah itu ia justru menjadi bahan pergunjingan warga. Mat Cadel dianggap menghina lafaz azan karena ia mengumandangkan azan dengan bacaan yang tidak lazim. Padahal, ia bukan mempermainkan lafaz azan, melainkan lidahnya sering kali terasa kaku ketika mengucap huruf R, S, Z, dan sejenisnya.

Meski begitu, ibu Mat Cadel tidak henti-hentinya mendukung putranya agar bisa azan. Sang ibu selalu memberikan pujian terhadap azan Mat Cadel. Tetapi, Mat Cadel telanjur tidak diperkenankan azan lagi. Bilamana ia azan hanya akan membuat kegaduhan sekaligus mengganggu gendang telinga orang yang mendengarkan, karena suaranya memang tidak enak didengar.

“Kamu tidak usah azan lagi. Biar yang lain saja. Kamu tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang muazin,” ucap imam masjid, suatu hari.

Ucapannya benar-benar menyakiti hati Mat Cadel. Namun, ia sendiri tidak dapat mengelak bahwa suaranya memang tidak semerdu Wak Hasyim. Ia pun tidak berani untuk azan lagi.

Keberadaan Mat Cadel di kampung itu selalu jadi bahan pembicaraan orang-orang. Bukan hanya karena ia cadel. Mat Cadel juga dipergunjingkan karena kaki kanannya lebih panjang lima senti daripada kaki kirinya. Ketika berjalan, tubuh Mat Cadel akan bergoyang ke kiri dan ke kanan. Ia seperti orang pincang. Bahkan, tak jarang anak-anak juga mengejeknya.

Menurut cerita ibunya, dulu ketika Mat Cadel berusia delapan tahun, ia dibawa ke tukang pijat bayi di kampungnya. Namun, menurut cerita, tukang pijat itu hanya memijat satu kaki saja, sedang satu kaki lainnya tidak. Maka begitulah kaki Mat Cadel panjang sebelah. Namun, Mat Cadel menganggap cerita itu hanyalah hiburan semata. Ia tidak terlalu menganggap serius. Baginya apa yang menjadi takdirnya hari ini, adalah yang terbaik untuknya.

Usai salah seorang menyelesaikan azannya, salat Asar segera dilaksanakan. Saf depan diisi orang-orang tua dan orang penting di kampung ini. Sedang Mat Cadel berada di saf paling belakang bersama anak-anak kecil.

Selain azan, satu lagi keinginan Mat Cadel yang tidak kalah penting adalah memakmurkan masjid. Tentulah Mat Cadel mafhum, bagaimana sifat warga kampungnya yang sulit sekali untuk sekadar diajak salat berjemaah di masjid. Hanya ada beberapa yang bersedia datang, itu pun dua atau tiga hari sekali. Di sisi lain, orang-orang itu akan mengantre ketika pembagian sembako. Lain dari itu, warga hanya datang ke masjid ketika salat Id saja. Satu lagi, kalau sedang mengadakan pengajian dan panitia menyediakan nasi bungkus, barulah mereka menyambangi masjid, meskipun hanya beberapa saja.

Selebihnya, masjid hanyalah sebagai simbol bangunan yang menandakan bahwa mayoritas warga kampung tersebut beragama Islam. Berkali-kali Mat Cadel mengingatkan warga kampung. Tetapi, tetap saja bujukannya tidak mempan sama sekali.

“Jangan urus hidup orang lain, urus dirimu sendiri.”

“Dosa saya urusan saya, bukan urusan kamu.”

“Perbaiki dulu bicaramu, baru kau menasihati orang lain.”

Demikianlah jawaban dari orang-orang kampungnya ketika dinasihati.

***

Masih dalam suasana remang-remang, Mat Cadel dilanda cemas. Sebentar lagi akan masuk waktu Subuh, namun Wak Hasyim belum juga datang. Biasanya Wak Hasyim selalu datang tepat waktu, lalu mengumandangkan azan dengan suara merdunya. Namun, kali ini belum ada tanda-tanda Wak Hasyim datang.

Mat Cadel masih menunggu. Matanya tak lekang menatap pintu utama masjid. Berharap Wak Hasyim segera datang. Paling tidak beberapa atau satu dua warga akan datang. Namun tak ada yang datang sama sekali.

“Siapa yang akan azan?” batinnya.

Pertanyaan itu semakin bergemuruh di kepala Mat Cadel. Kalau Wak Hasyim tak datang, ia tidak tahu siapa yang akan mengumandangkan azan Subuh hari ini. Tentu ia takkan berani untuk mengambil alih. Tiba-tiba hujan menyergap Subuh temaram ini. Mat Cadel semakin gelisah. Ketika hari biasa saja jarang yang mau datang ke masjid, apalagi sekarang kondisinya hujan deras disertai petir.

Waktu semakin mendekati Subuh. Mat Cadel memberanikan diri berdiri di depan mikrofon masjid. Tangannya gemetar ketika memegangnya. Ia ingin sekali azan, namun masih ragu. Tetapi, akhirnya Mat Cadel mengumandangkan azan juga. Tak ada pilihan lain. Gema azan dari pengeras suara masjid menyatu dengan gemuruh hujan. Entah suaranya sampai ke telinga orang-orang yang barangkali sedang terlelap atau tidak, Mat Cadel tetap melanjutkan azannya.

Tiba-tiba terjadi keributan di halaman masjid. Orang-orang berdatangan dalam kondisi basah kuyup. Mat Cadel menyadari itu semua, namun ia berusaha konsentrasi dengan azannya.

“Tidak mungkin,” celetuk salah seorang dari mereka.

“Cadel bisa azan?” sahut lainnya lagi.

Warga yang datang hanya tertegun di muka pintu. Mereka saling pandang. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Betapa pun, tak ada yang bisa mengelak bahwa suara azan Mat Cadel Subuh ini teramat merdu. Bahkan, mampu menggerakkan hati mereka untuk datang ke masjid. Dari belakang, ibu Mat Cadel muncul tergopoh-gopoh. Menyelinap di antara orang-orang yang lebih dulu datang.

“Sudah berani untuk azan kau, Nak?” suara ibunya memarau. Usai Mat Cadel menyelesaikan azannya, ia menoleh ke belakang sebentar. Menyimpulkan senyum, lantas melaksanakan salat qobliyah Subuh. Orang-orang mengikutinya.

***

Pacitan, November 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan