“Atlas Wali Songo” dan Fakta Historis Keberadaan Wali Songo

3,768 kali dibaca

Islam dengan segala aspek yang melingkupinya menjadi penerang serta obor peradaban. Islam yang kita pahami, di samping sebagai doktrin, akidah dan syariat yang sangat mengakar, juga bisa bermakna regulasi sosial-kemasyarakatan, mercusuar peradaban, khazanah ilmu pengetahuan, dan budaya. Islam hadir di belahan dunia mempunyai sejarah arkeologis-teologis yang bertumpu pada budaya masyarakat lokal. Pun demikian, pola maupun strategi penyebaran Islam menjadi daya tarik tersendiri, termasuk kunci rahasia sukses penyebaran Islam di bumi Indonesia.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengupas sedikit banyak buku melegenda di kalangan nahdliyin. Buku tersebut menjadi buku wajib kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mempelajari, mendalami, menganalisa, serta mencari data otentik seputar perjuangan para Kanjeng Sunan yang tersebar di berbagai wilayah di Pulau Jawa. Oleh karenanya, menjadi keniscayaan bagi pembaca semua untuk membacanya dengan serius, karena data yang disajikan merupakan data yang diambil serta diolah dari berbagai sumber sehingga nilai objektivitasnya sangat kuat, bahkan menjadi referensi bagi semua kalangan.

Advertisements

Oleh karenanya, tidak heran jika buku Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah merupakan buku pertama yang mengungkapkan bagaimana Wali Songo eksis dengan berbagai peninggalan penting yang meliputi warisan perjuangan, seperti bangunan masjid, tempat belajar, dan sebagainya. Selanjutnya, buku Atlas Wali Songo mencoba menjawab keraguan yang disampaikan beberapa kalangan tentang Wali Songo apakah mitos atau bukan.

Buku yang ditulis oleh sejarawan NU, KH Agus Sunyoto, ini mengupas sedikit tentang bangsa Nusantara, eksistensi wali dan dakwah Islam yang diimplementasikan, selayang pandang kemunduran Kerajaan Majapahit, serta hadirnya kerajaan Islam tertua di Tanah Jawa. Selain itu, Agus Sunyoto mengupas secara detail asal usul dan awal kedatangan, gerakan dakwah yang digunakan, serta pengembangan keilmuan para Wali Songo.

Dalam buku tersebut, Agus Sunyoto mengupas beberapa nama Wali Songo yang melegenda. Yaitu, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Syaikh Siti Jenar, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Raden Patah. Para Kanjeng Sunan hadir dengan nuansa rahmah, memahami budaya lokal, bijaksana dalam menuntun dan menggunakan cara ma’ruf dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Oleh karena itu, Islam yang disebarkan melalui strategi dakwah para Kanjeng Sunan ini sangat ampuh dalam menyebarkan Islam saat itu hingga sekarang ini.

Oleh sebab itu, tidak heran jika pada sambutan buku tersebut, Agus Sunyoto menyebutkan bahwa Wali Songo yang merupakan sekumpulan tokoh penyebar Islam pada abad ke-15 M hingga paro kedua abad ke-16 M adalah tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara. Mengapa demikian?

Dengan demikian, teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh saudagar muslim terbantahkan dan terpatahkan pada dekade tersebut. Terbukti, kedatangan saudagar-saudagar muslim sejak abad ke-6 M tidak serta merta diikuti oleh penduduk pribumi bahkan sampai kemunculan para penyebar Islam di Jawa datang menyebarkan Islam yang dibawa.

Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa penyebaaran Islam saat itu karena jasa saudagar atau pedagang Gujarat adalah tidak benar. Lebih tepatnya karena sentuhan dakwah para Kanjeng Sunan dalam meramu budaya lokal dengan Islam sehingga Islam dan budaya lokal mampu beriringan dengan apik.

Misalnya, seperti Kanjeng Sunan Bonang. Dalam berdakwah, Raden Makhdum Ibrahim ini dikenal sering menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat Jawa. Salah satunya dengan perangkat gamelan Jawa yang disebut bonang. Bonang sendiri adalah alat musik dari bahan kuningan berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah mirip gong ukuran kecil. Pada masa lampau, alat musik ini selain digunakan untuk gamelan pengiring pertunjukan wayang, juga digunakan aparat desa mengumpulkan warga dalam rangka penyampaian wara-wara dari pemerintah kepada penduduk. (Lihat hal 238-239).

Masih menurut penulis buku, adalah tindakan ahistoris kalau tidak boleh dikatakan naif ketika sekumpulan intelektual membincangkan tentang Islam Indonesia tanpa menyertakan Wali Songo di dalamnya dengan pertimbangan berbeda paham atau aliran. Fakta ahistoris yang naif itulah yang akan kita temukan ketika membaca Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve yang tidak satu kalimat pun menyebut Wali Songo, tokoh penyebar Islam pada zaman Wali Songo, khazanah kekayaan budaya Islam zaman Wali Songo seperti karya sastra, seni musik, seni rupa, seni pertunjukan, seni suaram desain, arsitektur, filsafat, tasawuf, hukum, tata negara, etika, ilmu falak, sistem kalender, dan ilmu pengobatan yang lahir dan berkembang pada masa Wali Songo dan sesudahnya.

Puncaknya, terbit sebuah buku karya Zainal Abidin Bin Syamsudhuha cetakan Pustaka Imam Bonjol berjudul Fakta Baru Wali Songo, yang memuat asumsi-asumsi sepihak dan tidak objektif dalam menilai Wali Songo. Dalam buku tersebut diurai bahwa Wali Songo tidak ada dengan berbagai landasan maupun argumen yang kurang bisa dipercaya. Dalam buku tersebut dijelaskan di salah satu bab tentang mengislamkan Jawa, terbentuknya komunitas muslim, agama asli Jawa, budaya dan adat Jawa, dan pada bagian akhir penulis mencoba membantah bahwa Wali Songo dengan subbab menarik: fakta baru Wali Songo!

Alhasil, kedua buku tersebut dapat dibantah dengan hadirnya buku afirmatif Wali Songo yang tidak kalah melegenda. Dalam Historiografi Jawa disebutkan bahwa pada awal dasawarsa 1440-an telah datang kakak beradik asal Champa, yang tua bernama Ali Murtadho dan yang muda bernama Ali Rahmatullah, bersama sepupu mereka yang bernama Abu Hurairah ke Jawa. Melalui bibinya, Darawati, yang dipersunting Sri Prabu Kertawijaya Raja Majapahit (1447-1451 M), Ali Rahmatullah diangkat menjadi imam di Surabaya dan kakaknya diangkat menjadi Raja Pandhita di Gresik. Berpangkal dari keluarga asal Champa inilah, penyebaran agama Islam berkembang di wilayah Majapahit, terutama setelah putra-putra, menantu-menantu, kerabat, dan murid kedua orang tokoh tersebut berdakwah secara sitematis melalui jaringan dakwah yang disebut Wali Songo. (lihat Pengantar hlm VI).

Di sisi lain, Agus Sunyoto mengutip dalam Historiograf Jawa, Cirebon, dan Banten dengan menggambarkan tokoh-tokoh Wali Songo dengan berbagai kisah keramat. Masing-masing tokoh dikisahkan memiliki kemampuan suprahuman, berupa karomah menakjubkan yang dengan cepat menarik perhatian masyarakat untuk diislamkan. Sementara itu, fakta sejarah menunjukkan bahwa setelah dakwah Islam dijalankan Wali Songo, Islam berkembang sangat pesat di kalangan pribumi. Tome Pires, ahli pengobatan, menjadi duta Raja Portugal di Cina yang mengunjungi Jawa pada tahun 1515 M dalam buku Suma Oriental mencatat bahwa wilayah di sepanjang pantai utara Jawa dipimpin oleh adipati-adipati muslim, dan fakta yang sama disaksikan oleh A Pigafetta yang berkunjung ke Jawa pada tahun 1522 M.

Oleh karena itu, di akhir tulisan ini, saya mengajak para pembaca untuk bijak dalam menelaah segala aspek historis yang berabad-abad lamanya, khususnya ketika membicarakan penyebar dan penyebaran Islam di Pulau jawa. Maka, tidak salah bila Marcus Garvey, jurnalis kebangsaan Jamaika, mengatakan orang yang tanpa pengetahuan sejarah masa lalu, asal usul, dan budaya mereka seperti pohon tanpa akar.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan