Aswaja dan Radikalisme

923 kali dibaca

Term ahlus sunnah wal jamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad Saw maupun di masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin. Bahkan tidak dikenal pula di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H/ 611-750 M).

Term ahlus sunnah wal jamaah pada dasarnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat. Ahlus sunnah wal jamaah sebagai terminologi baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Muhammad Saw oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan al-Asy’ari) seperti al- Baqillani (w. 403 H), al-Baghdadi (w. 429 H), al-Juwaini (w. 478 H), al-Ghazali (w. 505 H), al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w.606 H).

Advertisements

Sekalipun harus diakui, bahwa jauh sebelum itu kata sunnah dan jamaah sudah lazim dipakai dalam tulisan-tulisan Arab, meski bukan sebagai terminologi terlebih sebagai sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan. Ini misalnya terlihat dalam surat-surat al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218 H, sebelum al-Asy’ari sendiri lahir. Tercantum kutipan kalimat wa nasabu anfusahum ilas sunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq wad din wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jamaah).

Secara umum, pakar menyatakan bahwa pada dasarnya, term Ahlus sunah wal jamaah (Aswaja), terkait erat dengan salah sah satu hadis Nabi Muhammad Saw yang menyatakan: “Umatku akan terpecah menjadi 73 aliran. Semua aliran itu akan masuk neraka kecuali satu.” (Kemudian sahabat bertanya) Wahai Rasul, siapa golongan tersebut? (Nabi Saw menjawab): “Kelompok yang menjaga apa yang saya dan sahabat saya jaga.”

Maksud dari pernyataan Nabi dalam hadis, “Kelompok yang menjaga apa yang saya dan sahabat saya jaga,” adalah al-jamaah atau ahlus sunah wal jamaah (Aswaja). Dengan kata lain, untuk orang-orang inilah, istilah ahlus sunnah wal jamaah ditujukan. Yakni, orang- orang yang berpegang teguh sunnah Rasulullah Saw dan ajaran para sahabat, baik dalam masalah akidah, ibadah, maupun etika batiniah (tasawuf). Sehingga tidaklah mengherankan jika sejak zaman para sahabat sampai sekarang, banyak orang atau kelompok yang mengaku dirinya termasuk golongan Aswaja. Bahkan tidak sedikit yang menggunakan dalil Al-Qur’an dan hadis untuk menghujat golongan lain yang mereka anggap praktik ibadahnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan tidak termasuk golongan Aswaja.

Dalam sejarah pemikiran Islam, ada yang berpendapat bahwa Aswaja pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru yang timbul sebagai reaksi dari timbulnya beberapa aliran yang “menyimpang” dari ajaran yang murni seperti Syiah Khawarij atau Muktazilah. Aswaja sudah ada sebelum adanya aliran-aliran tersebut. Justru, aliran-aliran itulah yang merupakan “gangguan” terhadap kemurniaan Aswaja. Aswaja dipopulerkan oleh kaum muslimin yang tetap setia menegakkan assunnah wal jamaah dari segala macam rongrongan dan gangguan, lalu mengajak seluruh pemeluk Islam untuk kembali kepada assunnah wal jamaah.

Secara umum, ahlus sunah wal jama’ah diartikan sebagai golongan orang-orang yang ibadah dan tingkah lakunya selalu berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadis, serta pengambilan hukum Islamnya mengikuti mayoritas ahli fikih (sebagian besar ulama ahli hukum Islam). Dalam menjalankan ritual keagamaanya mengikuti atau menganut salah satu dari satu mazhab mempat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Sementara itu, dalam bidang akidah mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Keduanya dipandang sebagai ulama besar yang telah berjasa mengibarkan bendera ahlus sunah wal jamaah dan menyatakan diri keluar dari paham Muktazilah. Tidaklah mengherankan jika term ahlus sunah wal jamaah (Aswaja) dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/936 dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944M).

Imam Asy’ari-lah yang memformulasikan konsep-konsep al-sunnah dalam kaitanya dengan persoalan-persoalan teologis secara berbeda. Paradigma dari pemikiran Asy’ari tersebut dan para pengikutnya lalu diklaim sebagai ahlusunnah dan dikonotasikan seperti yang dimaksudkan oleh hadis Nabi Saw. Pengklaiman para pengikut Asy’ari secara politis sangat berhasil.

Pemikiran-pemikiran teologis Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi berhasil mempengaruhi pemikiran banyak orang dan mengubah kecenderungan dari berpikir rasionalitas ala Muktazilah kepada berpikir tradisionalis, dengan berpegang pada sunnah Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, Aswaja sering diidentikkan dengan Asy’ariisme-Maturiidisme. Aswaja akhirnya menjadi sebuah doktrin keagamaan yang berhadapan secara tajam dengan kelompok-kelompok lain seperti, Syiah, Khawarij, dan terutama Muktazilah.

Di sisi lain, ahlus-sunnah dengan pengertian Ahli hadits juga telah muncul mendahului Asy’ari, seperti Ahmad Hanbal. Para pengikutnya mengklaim pihaknya sebagai pembela hadis Nabi Muhammad Saw yang paling kosisten. Sehingga Ahmad Hanbal muncul untuk mengadang ahl al-ra’yu (rasionalis), baik dalam lapangan kalam maupun fikih. Kemudian hari kelompok ini lebih popular sebagai golongan salaf, yakni suatu kelompok yang mengajak kepada cara hidup Nabi Saw dan para sahabatnya secara tekstual, suatu cara pemahaman tanpa takwil (penafsiran).

Dalam dirkursus sosial budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri substansinya bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan Islam dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Oleh karena itu tidak mengherankan dalam tradisi kaum sunni terkesan wajah kultur Syiah atau bahkan Hinduisme. Inilah sebabnya mengapa Aswaja sering dikecam oleh kelompok salafiyyun semenjak dari pengikut Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah, sampai Muhammad bin Abdul Wahab, sebagai ahli khurafat, kaum bidah, atau kelompok “quburiyyun”.

Sikap toleran Aswaja yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas, serta hal inilah yang membuat pula menarik banyak perhatian di berbagai wilayah dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan yang akan mengantarkan pada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah prinsip ketuhanan Yang Maha Esa.

Menangkal Radikalisme

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi di garda terdepan dalam menangkal isu radikalisme senantiasa mengedepankan pendekatan-pendekatan yang selalu bisa diterima oleh semua kalangan. Pendekatan-pendekatan sikap sebagaimana dimaksud merupakan nilai-nilai dasar NU di antaranya adalah menggunakan sikap-sikap: Pertama, tawasuth dan i’tidal (moderat, adil, dan tidak ekstrem). Kedua, tasamuh (toleransi, lapang dada dan saling pengertian). Ketiga, tawazun (seimbang dalam pertimbangan pengambilan keputusan).

Yang jelas dalam kehidupan bermasyarakat sikap moderat, toleran, dan keseimbangan adalah sangat sesuai dengan kultur masyarakat yang ada. Hal tersebut tiada lain dikarenakan budaya yang ada pada masyarakat Nusantara yang penuh dengan tatakrama (sopan santun) menuntut adanya etika dan sopan santun, sehingga nilai-nilai NU ini dapat diterima oleh semua lapisan semua elemen masyarakat.

Salah satu strategi NU, misalnya dalam menangkis dan menangkal radikalisme adalah upaya penanaman nilai-nilai keindonesiaan serta nilai-nilai nonkekerasan. Dalam prosesnya, strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun nonformal, yang diarahkan kepada masyarakat umum khususnya warga nahdliyin melalui kerja sama dengan berbagai lembaga yang ada.

Hal ini merupakan bagian dari upaya deteksi awal untuk menangkal radikalisme dari berbagi lapisan yang berpotensi menjadi sasaran kelompok radikal. Sehingga deradikalisasi dipahami sebagai upaya sistematis untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa fanatisme sempit, fundamentalisme, dan radikalisme berpotensi membangkitkan terorisme.

Tak hanya itu, deradikalisasi juga bisa dipahami sebagai upaya menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan bidang studi, seperti agama, psikologi, hukum serta sosiologi, yang ditujukan bagi mereka yang dipengaruhi paham radikal. Upaya NU dalam deradikalisasi Islam Indonesia dilakukan dengan dua pendekatan, antara lain pendekatan struktural dan kultural.

Pendekatan struktural adalah dengan cara melakukan pengembangan dakwah melalui struktural kepengurusan NU, menginstruksikan pimpinan cabang NU hingga ke ranting-ranting untuk meneguhkan dan memperkuat ideologi keislaman, terlebih juga melakukan gerakan-gerakan dalam media sosial. Dari pendekatan pendekatan kultural ini NU wajib dan harus mengadopsi konsep Islam Nusantara dan konsep yang lain. NU yang terkenal dengan ajaran tasammuh dan penghargaannya terhadap nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat, menjadi strategi penting dalam mengatasi masalah radikalisasi agama dalam masyarakat. Konsep tasammuh dan tawazun yang diusung oleh NU merupakan bentuk ajaran toleransi yang menghargai nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat.

Akhirnya, satu nilai sebenarnya yang harus dipegang, yaitu ahlus sunnah wal jamaah, khusunya bagi NU senantiasa menjaga dan melestarikan tradisi lama yang masih baik.

اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيمِ الصَّالِحِ وَالَأَخْذُ بِالْجَدِيدِ الْأَصْلَح

“Menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil pembaharuan yang lebih baik, dan melakukan perbaikan umat pada kondisi yang lebih baik, semakin lebih baik dan semakin lebih baik lagi”.

Prinsip melestarikan tradisi dan budaya lama yang masih baik, dan mempertahankan sesuatu yang sesuai dengan keadaan masyarakat, seperti inilah cara dan strategi NU dalam menghalau, mengadang, dan mengobrak-abrik radikalisme yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan hal hal berbau radikal.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan