Antusiasme Simbolik dan Masalah Pendidikan Islam

897 kali dibaca

Kasus pengeras suara masjid adalah episode lanjutan dari beberapa kasus lain soal bagaimana penduduk muslim Indonesia bereaksi terhadap isu-isu simbolik, seperti kasus Klepon, kasus Khalid Basalamah, Masjid Illuminati, kasus jendela mirip salib, dan sejenisnya.

Mengapa penduduk muslim mudah bereaksi oleh hal-hal simbolik, namun jarang bereaksi pada hal-hal substantif dan universal? Salah satu akar masalahnya terletak pada kegagalan pendidikan Islam arus utama, seperti mimbar ceramah dan televisi, dalam menyajikan wawasan sosial; dan stagnansi pendidikan Islam khusus, seperti madrasah dan pesantren, dalam menyajikan kesadaran afektif.

Advertisements

Penduduk muslim secara umum lebih dekat dengan mimbar ceramah dan televisi sebagai sumber pemahaman agama. Sementara itu, madrasah dan pesantren, keduanya memiliki posisi spesial bagi sebagian kecil penduduk muslim, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rural.

Muatan agama di mimbar masjid dan televisi memang telah lama menjadi sorotan para ilmuwan karena besarnya gurita politik partisan dan logika industri media di balik panggung dakwah. Kalangan pesantren, di lain sisi, juga menyangsikan soal kemampuan bahasa arab, kematangan ilmu fikih & mantiq, dan kualitas tasawuf pendakwah selasar dan pendakwah televisi.

Dampak yang paling terasa dari gurita itu adalah populernya sajian agama yang simplistik, fokus pada hal-hal permukaan simbolik, dan primordialis. Kritik sosial dari berbagai kalangan, baik itu ilmuan, umat non-muslim, ataupun dari intelektual muslim, terhadap mereka disanggah melalui narasi reward & punishment, kisah-kisah ajaib dan cocoklogi yang sering dilebih-lebihkan oleh pendakwah.

Hal ini tidak bisa disalahkan, karena dalam wacana keilmuan agama di mimbar masjid dan televisi jarang atau bahkan tidak memuat ajaran tasawuf yang mendalam. Sehingga pendidikan agama berhenti pada kode-kode moral instan tanpa melihat bagaimana “dapur” dan proses memasaknya.

Tasawuf memang ranah yang kontroversial karena ada beberapa sisi memuat gagasan-gagasan ‘nyeleneh’ namun arif, dan sulit diterima oleh orang awam. Di sebagian sisi lain, tasawuf juga memuat ide-ide yang sering beririsan dengan filsafat dan antropologi–sesuatu yang absurd bagi imajinasi religius yang memaknai agama mutlak soal langit.

Tetapi, melalui tasawuflah orang diajak untuk berpikir bolak-balik, teliti, mendalam dan melampaui permukaan. Tasawuf mengajak individu untuk membuka diri pada wawasan sosial, yang boleh jadi berseberangan dengan keyakinannya tanpa tersinggung. Tradisi ini jarang atau bahkan tidak cocok bagi pendidikan Islam arus utama karena pengaruh gurita tadi. Secara alamiah pun, tasawuf akan bertentangan dengan logika kapitalistis industri media televisi.

Bagi alam pikiran modern, di mana pertukaran materil menjadi basis utama kehidupan sosial, tasawuf bukanlah jawaban. Pendakwah urban memiliki jawaban lain yang berasal mutasi dari asketisme Islam, yakni kesalehan sosial. Prinsip kerjanya tetap berbasis pertukaran materil  namun dengan praktik ekshibisi kesalehan dan romantisasi kisah-kisah ajaib.

Di lain pihak, sebagian otoritas keagamaan arus utama juga memiliki pendengar yang kedap terhadap universitas Islam. Sebagian besar penduduk muslim masih menganggap ada perbedaan tegas antara otoritas ustaz dan otoritas dosen universitas Islam, sekalipun dosen itu telah lama mesantren, berkiprah di lembaga keagamaan dan studi di luar negeri.

Seseorang dengan keluasan wawasan dan kepakaran Islam sering mendapat label ‘sesat’ atau liberal bila mengutarakan pendapat soal masalah sosial-keagamaan. Islam yang umumnya dikenal adalah kode moral baku. Bila Islam tersaji secara argumentatif, lentur, dan analitik, rasanya terdengar asing bagi audiens pendidikan Islam arus utama, karena imajinasi agama yang popular adalah agama sebagai instrumen petunjuk instan, bukan instrumen yang njlimet dan bersahabat dengan filsafat.

Secara ekonomi politik, penduduk muslim Indonesia terbukti terpinggir dibanding sekelumit orang dari kalangan umum atau non-muslim dalam hal penguasaan sumber daya ekonomi dan politik strategis. Sentimen populis, narsisme primordial, dan romantisme kebangkitan umat mengendap karena keterpinggiran tadi. Hal ini juga diperdalam oleh pendidikan Islam arus utama dengan cara mengulang-mengulang imajinasi agama sebagai instrumen baku, namun secara bersamaan juga memiskinkan wawasan sosial audiensnya.

Audiens dari pendidikan Islam khusus, seperti madrasah dan pesantren, sering terusik oleh kegaduhan pendapat-pendapat yang miskin wawasan sosial. Terbiasanya kalangan pesantren dengan ‘dapur’ dan proses memasak suatu pendapat dan pandangan keagamaan membuat mereka jauh lebih tenang dan lentur dalam membaca isu sosial. Tetapi, ini bukan berarti mereka kebal untuk tidak terlibat dalam polemik simbolik atau isu-isu permukaan.

Kalangan pesantren memang memiliki khazanah sosial-keagamaan yang luas dan mapan, namun sebagian besar di antaranya terporsi pada masalah kebangsaan, nasionalisme, gender, dan sisanya soal fiqh ubudiyyah. Khazanah soal mawas diri, mindfulness, atau kehati-hatian dalam berucap dan bersosial yang revelan dengan kondisi era digital juga tidak kurang.

Akan tetapi, kemajuan zaman yang bernama digitalisasi memiliki mekanisme tersendiri dalam mengorek sentimen terdalam dan membebaskan banalitas seseorang, tanpa disadari atau disesali oleh individu yang bersangkutan. Bila audiens pendidikan Islam arus utama terpancing karena miskinnya wawasan sosial, maka kalangan pesantren terpancing karena terkecoh oleh ekologi polemik yang ada di jagat maya.

Pesantren memang mengklaim sebagai pewaris institusi pendidikan Islam klasik, namun tidak semua tradisi keilmuannya terwarisi. Salah satunya adalah tradisi translasi buku-buku asing, yang lumrah di institusi pendidikan Islam klasik, namun belum tentu di pesantren.

Ketika wacana keilmuannya banyak terfokus pada isu kebangsaan, nasionalisme dan sejenisnya, maka isu lain seperti ketenagakerjaan, peminggiran hak minoritas, eksploitasi alam dan manipulasi teknologis cenderung terspesialisasi oleh segelintir santri yang “terpapar” buku-buku asing di perguruan tinggi, namun belum tentu memberikan pengaruh pada pembaruan kurikulum pesantren. Penyebabnya bisa karena sungkan, bisa juga karena ada resistensi dari elite pesantren.

Resistensi biasanya muncul sebab adanya keyakinan bahwa pesantren adalah tempat pembekalan moral dan akhlak, bukan tempat eksperimentasi ilmu atau wawasan. Adapun, pengembangan ataupun improvisasinya diserahkan sepenuhnya pada kreativitas santri.

Sayangnya, akhlak dan moral di pesantren lebih ditanamkan sebagai doktrin mutlak, bukan sesuatu yang terbuka untuk diuji, didialektikakan, ataupun diperkaya dengan khazanah-khazanah baru.

Ketika berhadapan dengan digitalisasi, doktrin itu digunakan sebagai pedoman navigasi utama. Kalangan pesantren sadar bahwa khazanah soal digitalisasi sangat penting untuk masa kini. Tapi mereka juga sadar bahwa khazanah sosial-keagamaan mereka juga butuh dilengkapi lebih dalam bila untuk membedah digitalisasi secara tuntas.

Sebagai kalangan yang dekat dengan lingkar kekuasaan, pesantren mengadopsi khazanah digital yang dipopulerkan negara. Sayangnya, khazanah digital populer milik negara cenderung bercorak teknokratis: aktif membasmi hoaks, demagog, dan konten-konten negatif, namun melupakan bahwa digitalisasi memiliki sihir kognitif seketika saat individu berinteraksi di jagat maya.

Luapan informasi agama yang miskin wawasan sosial milik rival mereka, rupanya cukup meresahkan, dan di saat yang sama, membangkitkan gairah digital crusade. Di balik klarifikasi dan penjelasan polemik dengan seabrek wawasan sosial, kalangan pesantren menikmati antagonisme terhadap rival non-pesantren. Jagat maya memberikan konteks pembenaran semu untuk menggunakan kata-kata kasar dan pejoratif―sesuatu yang jarang digunakan oleh kalangan pesantren, namun kini mendapat konteks sosial dari iklim maya.

Jari tengah yang diacungkan sekelompok ukhty pada foto Menteri Agama, memberikan legitimasi komunal tentang persaingan idelogis yang terwakil melalui wahana simbol. Jagat maya memberikan panorama relevan untuk digital crusade. Tersinggungnya sebagian kalangan pesantren, membuat diksi-diksi pejoratif tidak lagi berkonotasi pejoratif, melainkan berkonotasi keharusan sebagai dari bagian digital crusade.

Pada titik ini, jagat maya menciptakan ilusi. Dari sudut pandang kalangan pesantren, diksi-diksi pejoratif itu tepat penggunaannya. Tapi dari sudut yang lebih luas, praktik diskursif yang perjoratif memiliki dampak pada berhentinya kesalingan dalam mendengar―sesuatu yang memundurkan demokrasi, namun kini terasa lumrah dan normal bagi masing-masing kelompok karena sihir jagat maya.

Kemampuan berpindah sudut pandang itulah yang hilang dari sebagian besar kalangan pesantren. Sekalipun, kalangan pesantren telah khatam soal masalah-masalah sosial, tapi ketika wacana publik berpusar pada polemik kebangsaan, nasionalisme, dan hal-hal simbolik, mereka sulit untuk tidak terpancing karena: pertama, adanya dorongan diskursif dari figur panutan; kedua, efek tempurung dari bias algoritma media sosial; ketiga, adanya kenikmatan ideologis.

Implikasinya, isu-isu substantif, isu-isu universal, dan isu-isu yang menyangkut hajat hidup orang-orang lebih luas (non-muslim, suku pedalaman, buruh, kaum marginal, komunitas penghayat, dll) tidak menjadi gairah utama di kalangan pesantren―kecuali ditangani oleh segelintir santri yang kebetulan memiliki aktivisme di luar pesantren.

Apa yang terjadi pada kasus pengeras suara masjid, pada dasarnya masih menjadi bagian dari buruknya komunikasi publik pejabat di Indonesia yang telah menyejarah. Adapun aneka klarifikasi di kolom-kolom, lebih merupakan dampak kasual dari figur afiliatif yang kebetulan terlibat dalam masalah yang menyejarah tadi.

Untuk memainkan penduduk muslim Indonesia, mudah. Berikan umpan polemik simbolik, maka api akan menyala lebih dulu di kalangan non-pesantren. Setelah itu baru akan merembet ke kalangan pesantren. Pilpres 2019 adalah contoh gamblang: bagaimana kedua kelompok saling berpolemik soal khilafah vs ‘NKRI Harga Mati’, dan ternyata di akhir cerita merupakan permainan oligarki.

Antusiasme pada isu-isu simbolik atau isu-isu partisan dapat dikikis bila: pertama, pendidikan Islam arus utama mulai membuka diri pada dan berorientasi wawasan sosial; kedua, pendidikan Islam khusus mulai membuka diri pada kesadaran afektif, berperan dalam menumbuhkan imajinasi yang lebih luas, dan menawarkan wacana-wacana strategis selain hal ikhwal nasionalisme.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan