Anomali di Bulan Suci

373 kali dibaca

Selalu terjadi anomali di bulan suci. Mungkin tak banyak yang menyadarinya, dan karena itu kita abai pada apa yang sesungguhnya terjadi.

Contoh yang paling dekat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, soal kenaikan harga kebutuhan bahan-bahan pokok dan makanan. Biasanya, dua pekan atau sepekan sebelum Ramadan tiba, harga kebutuhan bahan-bahan pokok mulai merangkak naik. Di pasar-pasar atau di toko-toko,  harga beras, telur, minyak goreng, daging ayam dan daging sapi, bumbu-bumbuan, buah-buahan, dan sebagainya mulai beriak. Begitu memasuki bulan suci, harga bahan-bahan pokok dan makanan itu melonjak. Dan selalu terjadi inflasi di bulan suci seperti ini.

Advertisements

Dalam teori ekonomi yang telah begitu klasik, lonjakan harga biasanya terjadi karena dua hal: tekanan dari sisi demand atau gangguan di sisi supply. Artinya, ada lonjakan kebutuhan akan bahan-bahan pokok dan makanan yang tak terimbangi dengan ketersediaan pasokan. Jika itu yang terjadi, pantaslah harga-harga bahan-bahan pokok dan makanan melompat tinggi. Harga telur, misalnya, bisa naik dari di bawah Rp 25 ribu menjadi di atas Rp 30 ribu per kilogram. Kenaikan setinggi itu seharusnya bisa menggambarkan tingginya tekanan di sisi demand dan terbatasnya pasokan.

Tapi selalu, seperti pada bulan suci tahun-tahun sebelumnya, pemerintah disibukkan oleh urusan menjamin stok pangan mencukupi untuk memenuhi lonjakan kebutuhan bahan-bahan pokok dan makanan selama Ramadan. Dua sasaran sekaligus ingin dicapai oleh pemerintah: ketersediaan bahan pokok dan makanan secara memadai dan karena itu stabilitas harga bisa dijaga. Dengan demikian, seharusnya tak ada lonjakan harga.

Tapi, sekali lagi, itulah anomali yang selalu terjadi di bulan suci seperti ini. Saya, dengan “logika yang lurus”, berasumsi seharusnya tak terjadi lonjakan harga dan supplay bahan pokok dan makanan tetap aman selama bulan Ramadan. Kenapa? Sebab, bukankah sepanjang bulan Ramadan kaum muslim harus berpuasa?

Logikanya, ketika sedang berpuasa, volume makanan yang kita konsumsi akan berkurang. Di luar bulan puasa, sesuai tradisi masyarakat kita, biasanya kita makan tiga kali sehari, yaitu sarapan, makan siang, dan makan malam. Itu yang pokok. Tradisi itu berubah selama bulan Ramadan; kita hanya makan dua kali dalam sehari, yaitu saat berbuka puasa dan sahur. Artinya, volume konsumsi makanan selama sebulan berpuasa seharusnya berkurang.

Saya berandai-andai, dengan populasi 80 persen lebih dari total penduduk Indonesia, jika seluruh kaum muslim berpuasa sebulan penuh, maka selama bulan Ramadan akan terjadi penurunan demand atau permintaan akan bahan-bahan pokok dan makanan yang sangat signifikan. Dampak ikutannya, ketika permintaan turun drastis, harga bahan-bahan pokok dan makanan juga akan mengalami penurunan. Bisa saja terjadi deflasi, dan pemerintah tak perlu-perlu repot-repot menambah pasokan.

Tapi kita tahu, yang terjadi di pasar justru sebaliknya. Banyak survei menyebutkan bahwa biasanya selama Ramadan justru terjadi lonjakan demand akan bahan-bahan pokok dan makanan atau konsumsi makanan 30 hingga 50 persen. Bahkan, pemerintah sampai turun tangan untuk memperkuat supply agar tak terjadi gejolak harga.

Bagaimana kita membaca anomali ini? Pergerakan pasar dan data survei itu bisa saja menunjukkan bahwa berpuasa ternyata tak mengurangi volume konsumsi makanan, dan justru cenderung meningkat. Yang terjadi hanya pergeseran waktu menyantap makanan, yang bisa saja volumenya lebih banyak dan jenisnya lebih beragam. Puasa akhirnya hanya tentang mengubah pola makan, bukan bagaimana mengendalikan nafsu untuk menelan semua yang bisa ditelan. Mungkin, tanpa kita sadari, apa yang tersaji di meja makan kita ketika berbuka atau sahur justru lebih banyak dan lebih beragam dibandingkan dengan hari-hari biasa.

Jika ini benar, apakah kondisi ini sesuai dengan tujuan sebenarnya untuk apa kita berpuasa? Entahlah.

Anomali lain adalah “larangan ini-itu” di bulan Ramadan. Ini semacam deklrasi bahwa yang puasa bukannya khusyuk dengan puasanya, melainkan malah sibuk mengurusi mereka yang tak berpuasa. Kita lupa bahwa banyak orang yang berhalangan untuk berpuasa. Kita lupa bahwa banyak orang yang tak terikat dengan kewajiban untuk berpuasa. Dan semua yang tak berpuasa harus menghormati dan menghargai yang berpuasa, dan tak ada yang sebaliknya.

Maka, kita mendengar seorang tukang bakso yang sedang mencari rezeki di bulan suci ini harus menutup warungnya di siang hari dan kemudian harus disanksi. Tukang bakso itu tak sendiri. Ribuan, bahkan mungkin jutaan orang yang mengalami nasib seperti tukang bakso itu. Kita yang berpuasa, tak hanya menutup pintu rezeki mereka, tapi juga menyulitkan orang-orang lain yang tak berpuasa. Dan fenomena seperti ini selalu berulang setiap tahun.

Apakah kondisi ini sesuai dengan tujuan sebenarnya untuk apa kita berpuasa? Entahlah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan