Angkasa yang Merindukan Bintang

1,137 kali dibaca

Mataku tak lepas memandangi langit yang kian kelabu. Awan-awan bergelung indah di atas sana, membuat sang surya enggan menampakkan diri. Angin berembus lembut, menggoda dedaunan untuk ikut menari menciptakan orkestra alam. Nyanyian alam selalu menyajikan keindahan, sedangkan aku terlalu sering menyenandungkan kesedihan. Kenapa aku bisa begini?

Aku menelan ludah. Sunyi sekali jalanan ini. Tidak ada satu angkot pun yang lewat. Apa memang hari ini aku ditakdirkan untuk bertemu lagi dengan hujan seperti saat itu? Ah, sungguh, aku tak menyukai suasana seperti ini. Kutendang kerikil yang teronggok tak bersalah di samping sepatuku.

Advertisements

Selintas lewatlah sebuah ingatan yang membekas di kepala. Sebuah kenangan pahit yang tak mungkin bisa kulupa. Peristiwa itu terjadi dua tahun lalu, persis saat aku masih duduk di bangku kelas satu Madrasah Tsanawiyah. Suasananya sama seperti saat ini, hujan rintik-rintik yang melankolis. Bedanya, dulu aku sedang menunggu angkot bersama saudara kembarku, Bintang Nur Calista. Dan sekarang aku sedang sendiri.

Bintang adalah gadis yang cantik. Itu dia sendiri yang bilang, walau aku tak memungkirinya. Mata coklatnya dapat menjebak siapa pun untuk menatapnya berlama-lama. Suara lembutnya mampu melelehkan hati siapa saja yamg mendengar. Canda tawanya adalah pelipur lara. Ah, aku terlalu berlebihan mendeskripsikan dia, mungkin akibat terlalu besar rinduku padanya. Dia adalah adik terbaik yang pernah ada. Peristiwa itu, ah, mengapa mesti terjadi?

Saat itu kami sedang berdiri di pinggir jalan ini, di bawah pohon rindang yang memayungi kami dari rintik hujan. Kami yang masih mengenakan seragam madrasah itu sesekali mengecek ke tengah jalan untuk memastikan ada angkot yang lewat ataukah tidak. Untuk membunuh menjengkelkannya penantian akan datangnya angkot, kami terus berbicara.

“Kak Angkasa! Kamu tahu tidak? Langit malam di luar angkasa sana akan selalu gelap kalau tanpa bintang,” cerocos si Bintang, kembaranku yang mulutnya tak mau diam itu.

Aku mengangguk. “Iya, aku tahu,” sahutku kemudian.

“Itu seperti kita. Angkasa itulah kamu, dan Bintang adalah aku. Kita ditakdirkan untuk selalu bersama. Kamu tanpaku menjadi gelap, Kak.”

“Kamu mau nembak siapa sih kok latihan ngegombal, Bin?”

Dia menyentil dahiku pelan. Aku meringis kesakitan. Hatiku begitu jengkel dibuatnya. Dan dia malah terkekeh melihat tingkahku. Tapi tiba-tiba raut mukanya berubah murung.

“Sejak bapak tiada, engkaulah penggantinya, Kak,” dia lirih berucap. Dan ucapannya itu telah menyeret perasaanku pada kesedihan yang sama, kesedihan seorang anak yang selalu merindu bapaknya.

“Ehh, Kak. Kok makin deres sih hujannya?” Bintang menyadari sesuatu. Rintik hujan ini turun semakin deras. Semakin lama butiran air itu semakin kencang menghantam aspal, membuat warnanya hitam mengilat. Aku menarik napas panjang, membiarkan aroma hujan masuk ke dalam paru-paruku. Sekilas terasa sangat sejuk. Sementara itu Bintang sudah lari terbirit-birit menuju halte bus terdekat, meninggalkanku sendirian di tengah jalan.

“Kasihan, Angkasa Rasya Alkaid, kakak yang agak ganteng ini basah kuyup,” Bintang kembali meledekku sambil terkekeh panjang saat aku menyusulnya ke Halte. Aku mendengus kesal.

“Dingin Kak Ang?” tanyanya sok prihatin, padahal tampak jelas mimik wajahnya sedang meledekku.

“Enggak Bin, gerah,” sahutku. Dia terkekeh semakin kencang di bangku halte yang dingin itu.

“Ya iyalah dingin, pakai nanya lagi.” Aku berseru ketus untuk menghentikkan tawanya menyebalkan, yang mirip suara mbak kunti di pohon beringin yang sering diceritakan kakek Rusdi itu.

“Ah, iya- iya. Maaf … aku minta maaf.”

Aku mengangguk. “Iya, jangan diulangi lagi.”

Dia tersenyum lebar setelah memasang wajah memelas untuk meredam emosiku.

“Gitu dong.” Dia mengacungkan jempolnya ke arahku. Aku mengangguk sekilas.

Saat matamya sibuk menatap jalanan sepi ini, dia tiba-tiba menyikut lenganku. “Eh, itu Rania kan?”

Matanya lantas menyipit menatap jalanan. Aku ikut menyipitkan mata, berusaha menangkap apa yang ditunjukkan oleh Bintang. Iya, di sana terlihat seseorang yang berseragam seperti kami datang mendekat. Dia berlari menembus hujan. Dan benar, ternyata dia adalah Rania, teman kami yang biasanya juga naik angkot. Demi mencari sekolah yang ada pelajaran agamanya, orang tua kami rela menitipkan kami pada angkot setiap hari.

“Raniaaa… ,” teriak Bintang, diikuti oleh tangannya yang melambai-lambai. Rania menoleh, berusaha mencari sumber suara. Akhirnya dia menemukan kami, lantas berlari menuju halte tempat kami berteduh.

“Jangan hujan-hujanan Rania, nanti kamu sakit,” sambut Bintang dengan suara lembut. Aku tersenyum melihat hangatnya sikap kembaranku itu.

“Enak kok Bin hujan-hujanan, masa kecilku kurang bahagia, ha-ha-ha,” jawabnya selengekan.

Capai ngobrol akhirnya kami terdiam semua, sibuk dengan lamunan masing-masing di bangku halte.

“Kak Angkasa, jika aku pergi, kamu nanti bagaimana?” tanya Bintang dengan suara yang samar oleh derasnya hujan. Aku mengernyitkan dahi.

“Apa maksudmu Bintang? Kamu mau ke mana?” tanyaku balik.

“Eh? Ditanya malah nanya balik.” Dia memutarkan bola mata. Tanda malas menjelaskan.

“Kamu kok jadi gak jelas gini kalau lagi lapar, Bin,” dengusku kesal, merasa dibodohi dengan tingkah anehnya.

“Bukan seperti itu, Kak. Itu hanya ‘jika’ terjadi saja.” Dia dengan santainya mengangkat bahu, tak peduli dengan emosiku yang mudah terpancing saat lagi suntuk begini. Menanti angkot yang tak kunjung datang adalah masa-masa paling membosankan dalam hidupku.

“Ini untukmu.” Dia menyodorkan sebuah amplop berwarna merah. Aku menoleh, menatap amplop itu. Aku kemudian beradu pandang dengan Rania, mencoba menerka tingkah aneh Bintang.

“Baca saja kalau sudah sampai rumah. Anggap saja itu hanya coretan-coretan adikmu yang cerewet ini.” Bintang menjawab sebelum aku sempat bertanya. Aku mengangguk, menerimanya.

“Eh, hei? Di sana ada cahaya mobil. Itu pasti angkot, kita bisa pulang,” Bintang berseru kegirangan melihat sorot lampu mobil di derasnya hujan. Lantas berlari menuju ke jalan untuk mencegatnya. Aku dan Rania ikut berdiri, namun tak kunjung melangkah demi menunggu investigasi Bintang untuk memastikan bahwa itu memang angkot yang biasa kami tumpangi.

Tiba-tiba kudengar teriakan klakson yang memekakkan telinga.

“Bin!!!” aku menjerit sekencang-kencangnya ketika melihat ada pengendara sepeda motor yang menyalip mobil angkot itu dengan kecepatan seperti pembalap. Seketika adikku terpelanting jauh ke tepi badan jalan.

“Bintang!!” seruku panik. Aku dan Rania berlari menuju Bintang, tapi terlambat. Bintang telah terkapar bersimbah darah yang ditingkahi air hujan. Sedangkan tidak jauh darinya pengendara sepeda motor itu jatuh tertindih sepeda motornya sendiri.

“Bintang!” aku tak berhenti memanggil namanya. Darah segar mengalir di hidung serta dahi Bintang. Segera tubuhnya bercampur dengan air hujan yang turun semakin deras. Seragamnya berlumuran darah. Matanya terpejam. Aku menepuk-nepuk pipinya, berharap dia sadar. Akhirnya, dia membuka sedikit matanya, lantas tersenyum.

“Bukan kita yang pulang Kak Ang, tapi aku,” ujarnya dengan suara lemah. Suaranya terbata-bata. Aku menelan ludah berkali-kali untuk menelan kecemasan. Di sampingku, Rania sudah menangis sambil memegang bahu Bintang. Air matanya bercampur dengan air hujan.

“Tidak, kamu harus bertahan.” Aku menggengam tangannya yang semakin dingin.

Dia tersenyum menahan rasa sakit. “Kamu temani emak ya, Kak. Aku akan segera menyusul bapak. Tetaplah semangat menjalani kehidupan.”

Bintang tersenyum lagi. Dan detik berikutnya deru napas gadis cantik itu hilang bersamaan dengan senyumnya yang terakhir kali. Aku menangis sejadi-jadinya. Perpisahan ini sangat aku takutkan. Semoga ini hanya mimpi. Akan tetapi ketika kucubit tanganku, aku merasakan sakit. Apa yang terjadi di depan mataku ini ternyata nyata belaka. Tapi apa hendak dikata, ternyata Allah lebih sayang kepada Bintang. Allah menjemputnya lebih dulu daripada diriku. Hancur sudah hatiku. Sang pelipur lara itu kini telah tiada. Dan tak ada lagi yang bisa kuharapkan selain pengampunan Tuhan untuknya. Semoga senyum itu menjadi bukti keridaan-Nya. Aku masih ingat kata-kata Pak Zainal saat pelajaran akidah akhlak waktu itu, bahwa senyum di ujung kematian adalah sebagian dari tanda husnul khotimah. Semoga saja. Amiin.

* * *
Setiap ingatan itu muncul aku merasakan penyesalan yang menyesakkan dada. Hal itu yang membuatku selalu merasa gundah gulana saat bertemu dengan hujan. Di halte yang sama dan suasan hujan yang sama, namun kenangan bersamanya tak mungkin lagi bisa terulang. Semua telah berubah. Tak terasa mataku tiba-tiba telah basah oleh air mata. Tanganku bergetar saat mengusapnya. Yaa Allah, mengapa peristiwa itu dulu terjadi? Hamba sangat rindu padanya. Hari-hari menjadi lebih suram tanpanya. Kusandarkan kepalaku di tiang halte, berharap ingatan tentangnya akan segera lenyap, agar jiwaku tidak lagi dirajam oleng sengsara.

Tiba-tiba kudengar kecipak air yang terinjak oleh langkah kaki seseorang. Aku segera tergeragap bangun.

“Lagi nunggu angkot Ang?” tanya orang itu, yang ternyata adalah Rania.

“Iya Ran,” tukasku singkat. Kuusap air mataku dengan telapak tangan.

“Kamu lagi nangis Ang?”

Aku biarkan pertanyaannya itu dijawab oleh rinai hujan.

“Aku tahu apa yang ada di pikirkanmu. Di tempat ini, hujan turun saat menunggu angkot untuk pulang, pasti kau ingat Bintang. Memang ini berat untukmu Ang. Tapi tak baik untukmu terus-terusan larut dalam kesedihan. Kasihanilah ibumu yang kini sendirian. Kamu harus tumbuh menjadi lelaki yang kuat. Jangan meredup walau sudah tak lagi ada bintang. Kita mesti ingat Ang, Bintang hanya hilang fisiknya di dunia. Tapi dia tidak benar-benar meninggalkan kita. Dia tidak akan pernah hilang dari hati kita.”

Aku mencoba memahami ceramah Rania, karib Bintang yang juga anak pesantren itu. Dia memang berperangai dewasa, paling bijak dalam bersikap di antara kami sekelas. Ucapan-ucapannya mampu mengalirkan ketenangan. Aku coba pahami lagi ucapannya tadi. Memang benar, Bintang tidak pernah hilang dari hatiku. Dia akan selalu ada. Dan aku masih ingat kata-kata Bu Nizmah saat mengakhiri pelajaran kala itu, “Jangan gelisah karena berpisah dengan orang yang kamu cintai dalam dunia ini, tapi bersedihlah jika nanti kalian tidak bisa saling bersua di dalam surga.”

Aku lantas membuka resleting tas. Kuambil amplop yang kini telah lusuh pemberian Bintang kala itu.
[Terima kasih, Kak. Teruslah menjadi angkasa yang gagah. Dalam jeritan-jeritan hidup dan keluh kesahku yang payah, ada lapangnya dadamu yang menjadikanku tabah. Teruslah ada Kak, tanpamu aku tak akan bercahaya. Semoga Allah mengumpulkan kita di surga-Nya. Amin.]
[Bintang.]

Multi-Page

Tinggalkan Balasan